arrow_back

Kesederhanaan Cinta

arrow_forward

Sabtu malam, waktu bebas bagi banyak orang termasuk Fida. Pada malam itu, Fida diperbolehkan untuk pergi ke masjid menghadiri pengajian mingguan yang diadakan disana.

Namun, malam itu berbeda dari yang biasanya. Di lorong kecil itu, sudah ada orang yang menunggunya. Dengan sebotol miras ditangannya, orang itu menghadangnya.

Ali, orang yang mencelakai dia kemarin siang sudah ada di hadapannya.

“Apa yang kamu mau?”


Ani terpojok di kamarnya, menekuk lututnya dan memegang kepalanya.

“Apa yang kulakukan malam tadi? Bagaimana jika dia melukai Fida? Ah sial! Seandainya aku tidak memberitahukannya malam itu. Aku lupa bahwa Ali sudah berbuat jahat kepadanya dulu di SMA.”

“Aku ingin memberitahu Fida tapi aku tidak bisa pergi sekarang. Dia juga tidak punya hape.” Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan akibat penyesalan. “Mengapa aku melakukannya?”


Ali melempar botolnya ke belakang dan mulai mendekati Fida. Fida yang sebenarnya ingin pulang mulai ketakutan, mulai mundur.

Fida terus mundur, sampai terhenti di depan sebuah kios. Buntu. Tidak tahu ke mana tujuan lagi.

“Mundurlah!” Fida mulai mengayunkan kantong plastik berisi sajadah dan mukenanya. Tidak ada alat pembela lain.

Fida benar-benar merasa terancam. Dia mulai berteriak minta tolong.

“Tenanglah!” Fida berhenti berteriak. “Aku hanya ingin minta maaf!”

Masyarakat mulai berdatangan, Ali melihat mereka dan mulai melarikan diri sementara Fida terdiam kebingungan.

“Kamu tidak apa-apa ‘kan?”

“Ya, saya tidak apa-apa.” Fida terdiam kebingungan.


Hari itu hari Ahad, begitulah cara Fida menyebutnya sesuai yang diajarkan oleh ayahnya. Dia sudah meminta izin kepada ibunya untuk bepergian hari ini, dia juga membawa tulisannya yang sebenarnya sudah jadi beberapa hari yang lalu namun baru sekarang kesampaian untuk mengirimnya.

Hari terlihat cerah kali ini, dia pergi ke taman sesuai janji dengan sepeda kesayangannya itu.

Di tengah jalan, tepatnya di jembatan. Fida melihat seseorang berdiri di pegangan jembatan itu, memandang sungai kecil mengalir. Orang itu adalah Jamaluddin, bupati kabupaten ini. Nampaknya ada yang berbeda dengan beliau hari ini, bahkan dengan jalanan yang cukup ramai ini, tidak ada yang menyapa beliau.

Lantas, Fida berhenti sejenak disana. Turun dari sepedanya dan mendekati beliau secara perlahan agar tidak mengejutkan.

“Oh, hai Fida!” Jamaluddin menyadari kehadirannya.

“Apa yang Bapak lakukan disini?” tanya Fida.

Jamaluddin mulai menceritakan apa yang terjadi, dari perginya sang istri sampai durhakanya sang anak. Fida menjadi pendengar yang baik.

“Ayah saya pernah mengajari saya, bahwa cukuplah Allah bagi kita. Jika bapak berpikir hidup ini susah, semua orang merasakannya. Tapi jika kita ingat bahwa Allah adalah sebaik-baik tempat untuk kembali, semua itu terlupakan.”

Jamaluddin tersenyum. Dia mulai bangkit, mengurungkan niatnya yang tidak baik dengan berdiri di jembatan itu.


Zia duduk di salah satu bangku taman itu. Menunggu kedatangan Fida. Dia bertanya, “Apakah Fida ingat?”

Dia kembali berpikir, kalau hari Jumat yang lalu Fidalah yang mengingatkannya. Seandainya Fida tidak mengingatkan mungkin dia tidak akan ada di taman ini.

Dari kejauhan, terlihat seseorang berlari. Mengingatkan masa lalu Zia yang seolah pernah melihat ini terjadi. Itu Fida. Peraturan pemerintah tidak memperbolehkan orang bersepeda di taman.

“Maaf, aku telat,” ucap Fida ngos-ngosan. Dia duduk di samping Zia.

“Dimana Ani?” tanya Fida langsung.

“Astaghfirullāh, aku lupa mengajaknya. Tunggu sebentar.”

Zia menelepon Ani dengan ponsel yang dia pegang sejak tadi. Dia menunggu cukup lama, namun Ani tidak mengangkatnya. Fida mulai gelisah, dia merasa ada sesuatu yang salah.

Dia mengajak Zia untuk ke rumah Ani. Zia langsung menyetujuinya. Mengingat sudah lama mereka tidak berkunjung ke rumahnya.

Fida bersepeda dengan berpegangan ke motor Zia. Menghemat energinya dalam menginjak pedal. Jalanan saat itu cukup mendukung hal tersebut.


“Assalāmu ‘alaikum. Ani?” ucap Fida mengetok pintu rumah Ani. Dia mengulanginya sampai tiga kali, namun tidak ada jawaban dari Ani. “Wah, ada apa ini?” tanya Fida. Fida berpaling dan memegang bahu Zia. Hal itu mengejutkan Zia. “Aku gak mau tau. Pokoknya kita harus ketemu Ani!”

Mereka bertanya ke tetangga Ani. Satu per satu ditanyai namun tidak ada yang tahu kemana dia pergi.

Komentar