arrow_back

Kesederhanaan Cinta

arrow_forward

Singkat cerita, mereka mencari Ani sampai waktu senja ke tempat yang dimana mereka tahu bahwa dia akan di sana seharusnya, namun tidak ada. Fida di saat itu mulai gelisah.

“Aku yakin dia pasti pulang kok.” Zia mencoba menenangkannya.

Waktu memisahkan mereka, pulang menjadi tujuan pertama di saat matahari mulai terbenam itu.

Malam itu, setelah waktu salat Isya dan sebelum Fida ke kamarnya, pintu rumah Fida diketuk. Fida berharap itu adalah Ani. Dia membukakan pintu.

“Eh, bapak bupati. Silahkan masuk pak!”

“Tidak, bapak tidak masuk dulu. Bapak hanya ingin memberi ini,” ucap Jamaluddin sambil menyerahkan sebuah amplop.

“Apa ini?”

“Masih ingat ketika bapak bilang menguruskan karyamu itu?” Fida menjawabnya dengan mengangguk.

“Dan kamu juara satu saat itu. Bapak tidak sadar mulai saat itu, kabupaten kita harum namanya. Namun bapak mengambil sedikit uang dari hadiahmu karena saat itu masih tidak tahu hukum korupsi.”

“Ambil saja pak. Saya terima kok. Uang yang saya terima saat itu sangat lebih dari cukup bahkan masih bisa kami gunakan sampai sekarang.”

“Tapi bapak merasa ini bukan hak bapak.”

“Itu hak bapak, karena bapak telah membantu saya. Jadi kalau mengambil sedikit, itu hasil dari kerjaan bapak. Tanpa bapak tidak mungkin juga ‘kan?”

“Terima saja itu. Kalau kamu tidak mau, mungkin ibumu mau. Sebut saja santunan dari bupati.”

“Baiklah kalau ini yang Anda mau. Saya terimakan atas ibu saya. Semoga berkah. Terima kasih Pak.”

Setelah Fida mau menerima amplop itu, barulah Jamaluddin pulang yang ternyata beliau hanya menaiki motor pribadi. Fida menutup pintu dan pergi ke kamar tanpa melihat isi amplop itu.

“Aku akan menceritakannya besok pagi, Insya Allah.”

Dalam perjalanan pulang, Jamaluddin hanya tersenyum dengan sedikit meneteskan air mata. Dia terharu. Dia merasa sudah melakukan kejahatan, ingin menebusnya namun Fida memaafkannya.

Dia berkendara dengan kecepatan pelan. Bersebelahan dengan seorang gadis yang juga menggunakan motor.

Gadis itu menyadari kehadiran Jamaluddin. Rupanya itu Ani.

“Apa yang bapak lakukan malam-malam?” tanya Ani.

“Seharusnya bapak yang bertanya sebaliknya.”

“Aku hanya jalan-jalan, mencari Ali.”

“Bapak juga demikian.” Ani terkejut.

“Apa alasan bapak mencari Ali?”

“Setelah kami bertengkar hebat di rumah itu, dia pergi entah kemana dan sampai sekarang bapak tidak pernah melihatnya lagi. Sekarang apa alasan kamu mencari Ali?”

“Aku takut dia melakukan sesuatu yang buruk kepada sahabatku Fida. Aku tidak sengaja memberitahu segala tentangnya karena aku lupa bahwa itu Ali dan dia terkenal dengan kejahatannya.”


Sebelum waktu salat Subuh, akhirnya Fida menceritakan kejadian malam tadi kepada ibunya. Ternyata ibunya juga menolak, meski itu atas nama bupati. Dia bingung kemana lagi ingin menyerahkan uang itu, dan dia memilih masjid.

Ibu Fida setuju atas hal tersebut. Sehingga pada subuh itu, Fida akan salat di masjid. Fida yang sudah siap, izin pergi kepada ibunya dan mulai menaiki sepedanya.

Setibanya di masjid, dia langsung mencari pengurusnya. Terjadi sedikit perbincangan karena Fida menjelaskan dari mana asal uang itu, dan pengurus masjid memilih menerimanya.

Saat waktu menyerahkan, tangan Fida tidak sengaja menyentuh tangan pengurus itu dan membatalkan wudhu keduanya. Sedangkan waktu subuh telah tiba. Fida meminta maaf karena mengakui bahwa itu kesalahannya, dan pengurus itu menjawab tidak apa-apa.

Menjadi pertanyaan siapa yang akan menggaungkan azan. Ketika Fida berjalan ke arah tempat wudhu, terdengarlah seseorang yang melantunkan azan. Dia memalingkan wajahnya untuk mengetahui siapa itu.

Mengejutkan sekali bahwa itu adalah Ali. Dengan memakai baju koko dan sarung, Fida tidak percaya itu Ali.


“Ali?” Tidak hanya Fida yang terkejut.

Rupanya hampir semalaman dia mencarinya. Ani singgah di masjid itu, menaruh motornya di parkiran dan menyadari ada sepeda Fida.

Dia sangat dilema saat itu. “Ke sana atau tidak?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Dia memilih untuk memberanikan diri pergi kesana.

Tepat di saat Fida memasuki masjid, di saat itu Ani memasuki tempat wudhu. Mereka belum melihat satu sama lain.

Di jamaah perempuan, setelah shalat sunat dua rakaat sebelum subuh. Ada saja yang membicarakan hal “di luar masjid”. Fida berusaha keras untuk tidak mendengarkan mereka namun apa daya dia duduk bersebelahan sehingga suara mereka dengan jelas terdengar.

Mereka membicarakan Ali yang azan barusan.

“Bukankah dia anak genk itu?”

“Iya.”

“Kok bisa ya dia berubah?”

Fida sangat ingin menghentikan pembicaraan mereka dengan cara yang baik, namun dia takut terkena fitnah. Dia memilih mundur perlahan dari shafnya kemudian bersandar dekat lemari sajadah dan mukena yang bisa jamaah perempuan minjam.

Seseorang mendekati lemari itu. Sementara Fida mulai menutup matanya karena mulai mengantuk. Suara lemari terbuka membangunkannya. Orang itu mengambil satu set sajadah dan mukena.

“Ani!” Jamaah perempuan yang di depan terkejut karena itu.

Fida langsung berdiri dan memeluknya. “Ke mana saja kamu?” tanya Fida. Air matanya mulai menetes. Ani hanya menjawabnya dengan senyuman.

“Fida-Fida, kamu tidak akan pernah berubah.” Hanya itu suara yang keluar dari mulut Ani karena pembicaraan mereka dihentikan oleh iqamah.

Fida kembali menuju shafnya. Ani menghamparkan sajadah di sampingnya dan mulai memasang mukena.

“Ya, itu memang Ali.” Ani mengenal suara iqamah itu.

Komentar