arrow_back

Kesederhanaan Cinta

arrow_forward

Salat subuh telah selesai dilaksanakan. Sang surya mulai menunjukkan cahayanya perlahan. Jamaah mulai pulang satu per satu, termasuk Fida dan Ani.

Fida selalu menanyakan apa yang dilakukan Ani saat dia pergi. Ani tidak mau menjawabnya dan itu terulang terus, sampai ke parkiran.

“Hei, namamu Fida Nurhalisa ‘kan?”

Mereka terkejut. Rupanya Ali sudah menunggu di sana. Di samping sepeda Fida.

“Siapa? Aku?” tanya Fida sambil menoleh ke arah lain.

“Ya pasti kamu!” ucap Ani kepada Fida. “Aduh, aku kok kesel ya?”

“Aku? Ya aku Fida. Memangnya ada apa?” Ani hanya tertawa kecil.

“Kemarin aku ingin minta maaf namun terganggu. Sekarang, mungkin waktu yang tepat mumpung kamu juga ada disini.”

“Minta maaf untuk apa?” Fida yang sedang memeluk sajadah berisi mukenanya kebingungan atas pertanyaan itu.

“Sepertinya aku juga perlu minta maaf,” ucap Ani dengan suara pelan.

“Aku dulu ya, Ani.” Ani mengangguk tanda paham.

“Ingat ketika kamu melewati kami ketika hujan itu?”

“Ya, aku masih ingat. Nampaknya kalian marah. Seharusnya aku yang minta maaf atas itu. Mungkin seharusnya aku berhenti sejenak di sana sebelum persimpangan.”

“Tidak, kamu tidak perlu. Ucapan maafmu yang sebentar itu sebenarnya sudah cukup. Hanya saja aku dikuasai oleh rasa kekesalanku. Setelah itu aku mengejarmu dan akulah yang mendorongmu dengan kakiku ke mobil itu.”

“Itu kamu? Kamu yang melakukannya? Untung kamu gak ketabrak lo. Khawatir banget aku.” Ali cukup terkejut karena ternyata Fida mengkhawatirkannya. “Tapi tidak apa-apa kan?”

“Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Ali dengan tenang. “Sekarang, giliranmu Ani,” ucap Ali.

“Baiklah, kurasa aku harus jujur juga.” Ani mengangkat bahunya. “Pada suatu malam, orang ini meneleponku. Awal mulanya dia hanya bertanya alamatmu. Tapi aku malah memberitahukan segalanya tentangmu.” Fida memandang Ani. “Aku minta maaf banget.” Ani memeluk Fida.

Fida mengusap-usap bagian belakang Ani. “Tidak apa-apa.”

“Setelah mendengar itu, aku sangat menyesal. Cerita dari kehidupanmu itu Fida, itu yang membuatku berubah.”

“Pertama kali aku melihatmu di tongkrongan kami itu, ketika kamu lewat itu. Aku merasakan sesuatu yang berbeda di hatiku.”

“Apakah itu cinta?” potong Ani kemudian tertawa kecil.

“Jika kamu berubah menjadi lebih baik karena ceritaku, aku menerima maafmu. Tetapi jika kamu berubah karena aku, Ali?” Fida memandang Ali. “Cukuplah Allah bagimu.” Fida meletakkan sajadah berisi mukenanya itu ke dalam keranjang kemudian menaiki sepedanya.

“Berarti kamu menolak pernyataanku?”

“Biarkan aku memikirkannya selama beberapa saat. Kamu seharusnya melakukan ‘cara yang lebih berani’ daripada hanya menyatakan seperti ini.” Fida terdiam sebentar sebelum menaiki sepedanya. Fida terlihat sedikit kesal. “Aku akan membuatmu memikirkannya juga. Ani menyukaimu saat di SMA.”

“Tunggu, apa maksudnya?” tanya Ali. Ani mundur sambil tertunduk canggung.

“Ali, kamu sudah lupa bagaimana bisa mendapat nomor Ani?” tanya Fida.

“Kalau diingat, kamu yang mendatangiku dan mengatakan nomornya kan? Kamu bilang bahwa Ani ingin minta nomorku maka kamu beri juga nomornya.”

“Itu caraku untuk mendekatkan kalian. Ani pernah memberitahuku bahwa dia menyukaimu dari cara berjalan dan masih banyak lagi.” Fida tersenyum kecil. “Tapi aku harus pergi dulu karena banyak yang harus di kerjakan di rumah.” Fida menginjak pedal sepedanya dan pergi.

“Ani?” tanya Ali saat Fida tidak terlihat lagi.

“Y-Ya?” Ani sangat gugup saat itu.

“Apa maksud Fida dengan cara yang lebih berani?

“Mungkin datang ke rumah, meminangnya agar ibunya juga tahu.”

“Apakah yang dikatakannya benar? Aku tidak pernah melihatmu mendekatiku.”

“Tentu saja aku tidak mendekatimu—” Ani hampir mengumpat. “Kamu selalu bersama teman laki-laki lainnya dan aku tidak percaya betapa mudahnya kamu didekati oleh perempuan seperti Fida.”

“Tapi menurutku caranya tadi sedikit kasar. Apakah kamu marah?”

“Tentu saja tidak. Kamu saja sudah terenyuh oleh kelembutan hatinya walau hanya tahu namanya di SMA, apalagi aku yang sudah berteman dengannya sejak SD.” Ani sebenarnya berbohong untuk kalimat pertama. “Baiklah kurasa aku juga mau pulang. Dia sudah membantuku. Jadi Ali! Datanglah ke rumahku dengan ayahmu.” Ani mengucapkannya dengan tegas agar menghilangkan kegugupannya kemudian diakhiri dengan senyuman.

Ani memasang helm dan menaiki motornya kemudian pulang. “Kurasa aku pulang juga, memberi tahukan ini kepada ayahku.”


Waktu menunjukkan jam delapan di rumah Fida. Seseorang mengetuk pintu rumahnya. Seperti biasa, Fida yang membukakannya.

“Jayyid? Silahkan masuk.”

Setelah diizinkan, Fiqri memasuki rumah itu. Namun dia tidak sendirian, dia bersama ibunya. Pasti ada sesuatu yang dia ingin lakukan.

“Silahkan duduk. Maaf hanya lesehan.” Kursi di rumah itu hanya ada satu, itupun terletak di lantai dua, di kamar Fida tepatnya sepasang dengan meja belajarnya.

Kebetulan sekali, ibu Fida juga ada disana. Ibu Fiqri mendekatinya dan berbisik. “Saya saja bu.”

“Bismillāh,” lirih Fiqri.

“Jadi, maksud kehadiran saya kesini adalah ingin menjadikan Fida sebagai istri saya. Saya meminta izin kepada Anda sebagai ibunya, dan Fida, apakah kamu mau menerima?”

Fida hanya diam saat itu, kemudian ibunya bertanya, “Apa pekerjaanmu sekarang?”

“Pekerjaan saya sekarang adalah pemilik perusahaan Makmur Abadi di kabupaten sebelah.”

Ibu Fida menjawabnya dengan menangguk. “Alhamdulillāh.” Ucapan Fiqri terdengar di telinga Fida.

“Kalian sudah mengenal sejak TK kan? Seharusnya itu sudah cukup.”

“Ya, itu sudah cukup sehingga Insya Allāh, akad nikah kita akan dilaksanakan Jum’at ini di masjid yang didanai ayahmu itu.” Fiqri Jayyid memandang Fida. “Baiklah, saya rasa maksud kehadiran saya sudah terpenuhi, sekarang ini sedikit hadiah untuk Fida.”

Fiqri menyerahkan sebuah kotak kecil. “Te-Terima kasih,” jawab Fida malu-malu.

“Kami pulang ya, Assalāmu ‘Alaikum.”

“Wa ‘alaikumussalām,” jawab Fida dan ibunya bersamaan.

“Tidak ibu sangka hari ini akan datang. Fida, ibu juga menyukai anak itu bahkan tanpa memandang pekerjaannya. Ibu masih ingat dia membantumu dulu.”

Fida hanya tersenyum, pergi ke kamarnya, membuka kotak kecil yang diberikan oleh Fiqri itu. “Cincin.” Dia pun memasangkannya ke jari manisnya dan ternyata pas.

Komentar