Pagi Senin itu seolah menjadi berkah bagi semuanya. Ali pulang ke rumah setelah meninggalkannya. Jamaluddin -ayahnya- terkejut dengan pakaian yang Ali pakai.
“Tumben pakaianmu gitu.” Ali hanya tersenyum kemudian mencium tangan ayahnya.
“Aku minta maaf atas apa yang telah kulakukan selama ini.”
“Tidak apa-apa. Kamu tetap anakku.” Jamaluddin menepuk pundak anaknya. “Tapi tidak mungkin kamu langsung berubah begitu saja, ya kan?”
“Gadis itu benar-benar merubahku dengan kelembutan hatinya.”
“Siapa? Fida?” Ali menjawabnya dengan senyuman.
“Bagaimana caranya merubahmu?”
“Cukuplah Allah bagiku.”
“Mengapa ucapan sesederhana itu bisa mengubah banyak orang?”
“Ada apa yah?”
“Setelah tindakanmu yang semakin menjadi-jadi itu, ayah sempat berpikiran untuk bunuh diri. Ayah merasa menyesal atas apa yang ayah lakukan selama ini. Ayah sudah menyiapkan diri, berdiri di dekat jembatan, dia menghentikan ayah dengan mengucapkan hal yang sama.”
“Ayahnya meskipun pengusaha, rupanya mengajari hal-hal yang tidak aku tahu. Itulah kenapa aku membenci ayah. Kenapa ayah tidak mengajarkan dari dulu? Malah memasukkanku ke sekolah umum?”
“Untuk apa aku diberi nama Munajat Ali? Jika kelakuanku jauh dari kedua orang itu?”
“Itulah penyesalan. Ayah juga meminta maaf.”
Pintu rumah mereka terbuka. “Ada apa ini berkelahi?!”
“Ibu!” Ali hanya berlari dan memeluknya.
“Jangan dulu. Ibu ada yang ingin diberi tahu.”
Mereka duduk di sofa. Ibu Ali menaruh kopernya di atas meja kemudian membukanya.
“Ini adalah sedikit hasil dari perusahaan yang aku kelola di kabupaten sebelah. Membantu sedikit kehidupan kita.”
Ali dan ayahnya terkejut. “Jadi selama ini?” tanya Jamaluddin.
“Uangmu kupakaikan untuk usaha disana. Tapi selalu habis entah kemana, makanya aku minta terus. Sampai datang seorang pemuda memberi sebuah solusi dan hasilnya ya … ini.”
“Siapa pemuda itu?”
“Fiqri Jayyid namanya. Setelah tindakannya itu, aku memilih berhenti dan mengangkatnya menjadi pemilik perusahaan kita itu. Aku juga merindukan kalian.”
“Fiqri Jayyid? Pantesan Fida nolak aku,” gumam Ali. Ali mengenal Fiqri Jayyid, dia melihat kedekatannya dengan Fida selama di SMA.
“Fida menolak kamu?” tanya ayahnya.
“Ya, subuh tadi aku menyatakan perasaanku kepadanya. Tapi kurasa dia menolakku dengan cara halus.” Ali menunduk sebentar. “Paling tidak dia dapat yang lebih pantas dari aku. Fiqri itu selalu melindungi Fida sehingga selama di SMA aku bahkan tidak dapat mendekatinya.”
Jumat. Hari yang luar biasa. Pernikahan Fida benar-benar dilaksanakan hari itu
Semenjak hari Senin, pengurus masjid nampaknya menyukai lantunan azan dari Ali sehingga membiarkannya untuk azan.
Juga, Fiqri secara mengejutkan dipilih menjadi imam salat subuh. Dengan hapalan surah as-Sajdah dan al-Insan yang dia lantunkan, mengagumkan jamaah yang hadir di sana.
Akad dilaksanakan setelah salat subuh. Jamaah dimohon menetap sebentar untuk menyaksikan acara tersebut.
Ali mendekati Fiqri. Dia tahu bahwa Fiqri akan menikahi Fida.
“Fiqri, aku tahu kamu adalah orang yang tepat untuknya. Kamu adalah pelindung yang sempurna baginya. Mulai akad itu, jagalah terus dia dari orang-orang jahat sepertiku.”
“Tapi sekarang kamu tidak jahat lagi ‘kan?” Fiqri juga mengenal Ali. Mereka hanya tertawa kemudian berjabat tangan dan Ali kembali duduk bersama jamaah yang lain.
Sesuai sunnah, Fida menetap di jamaah perempuan. Terdinding oleh kain yang membatasi jamaah laki-laki dan perempuan.
Selama beberapa hari itu, rupanya Fiqri sudah menyiapkan segalanya. Wali nikah didatangkan dari KUA.
Meja sudah siap di tengah masjid itu. Mereka mulai duduk berhadapan. Wali nikah dan Fiqri.
“Dengan mengucap Bismillāhirrahmānirrahīm, saya nikahkan Fiqri Jayyid bin Muhammad Ibrahim dengan Fida Nurhalisa binti Abdul Majid dengan maskawin emas murni seberat sepuluh gram dibayar tunai.”
“Bismillāhirrahmānirrahīm, saya terima nikahnya saya dengan Fida Nurhalisa binti Abdul Majid dengan maskawin emas murni seberat sepuluh gram dibayar tunai.”
“Sah?”
“Sah!”
“Alhamdulillāh.” Penghulu kemudian membacakan doa.
“Ya, kepada mempelai wanita, harap mendekat karena Anda perlu menandatangani buku nikah ini.”
Fida keluar dari jamaah perempuan, mendekati meja kecil itu. Dia terlihat gugup. Saking gugupnya, dia menandatangani buku nikahnya berjauhan dengan Fiqri dan tangannya gemetaran.
“Oke, terima kasih. Sekarang, kepada kedua mempelai dimohon berdiri untuk prosesi memasang cincin dan doa dari mempelai pria.”
Gugupnya Fida nampaknya menular kepada Fiqri.
“Eee, kalian bisa deketan gak? Udah sah kok.” Ucapan penghulu sebagai wali nikah ini nampaknya menghibur jamaah.
Fiqri memberanikan diri. Membatalkan wudhunya dengan memegang tangan Fida untuk memasangkan cincin. Memegang ubun-ubunnya dan mendoakan kebaikan.
Pada akhirnya, pernikahan itu berjalan dengan lancar.
“Nampaknya mereka saling mencintai,” ucap salah satu jamaah yang terdengar di telinga Ali.
“Cinta…. Terlihat sederhana namun dapat mengubah segalanya.”