arrow_back

Konsep

arrow_forward

“Mangkubumi.” Sultan Abdullah yang duduk di singgasana memanggil.

“Ya, Baginda Sultan?” sahut Mangkubumi. Hanya mereka berdua di dalam keraton.

“Bagaimana kabar Nyai Ratu?”

“Apakah maksud Baginda Nyai Ratu Aminah, istri Baginda?” tanya Mangkubumi memastikan.

“Siapa lagi?” Nada Sultan Abdullah terdengar marah.

“Maaf telah bertanya.” Mangkubumi menunduk. “Kabar beliau baik-baik saja. Dayang Fatimah merawatnya dengan baik.”

“Tidak bisakah aku bertemu dengannya sekarang?”

“Belum, Baginda.” Mangkubumi menunduk lagi. “Siapa tahu surat yang memerlukan cap Baginda akan datang lagi.”

“Bersabarlah sampai malam tiba.”

Sultan Abdullah terdiam sejenak. “Bukankah malam ini aku memiliki agenda?”

“Ya, itu benar. Baginda dijadwalkan berhadir di Masjid Sabilal Muslimin dalam rangka tahlilan sekaligus haul wafatnya Ayah Baginda, Sultan Ansarullah.”


“Wah, itu Sultan Abdullah.” Masyarakat begitu heboh ketika Sultan Abdullah tiba di Masjid Sabilal Muslimin saat menjelang salat Magrib. Mangkubumi menghalangi semampunya para masyarakat yang mencoba mendekat. Begitu juga dengan Sultan, dia memberikan isyarat agar masyarakat tetap duduk.

Qadi Abdurrasyid yang dari tadi berdiri menyambut kedatangannya. “Assalamu ‘alaikum, Sultan.” Dia mengulurkan tangannya.

“Wa ‘alaikumussalam warahmatullah,” jawab Sultan Abdullah dan menyambut tangannya.

“Anda terlihat berbeda dari biasanya.” Sultan Abdullah hanya tersenyum mendengar ucapan tersebut.


Mangkubumi dan Sultan sedang bersiap untuk pergi. “Apakah Baginda hanya berpakaian seperti itu? Tanpa maskat?” Sultan saat itu hanya memakai busana muslim dan sarung dengan peci hitam.

“Bukankah aku dulunya selalu berpakaian seperti ini? Engkau melihatnya sendiri. Tanya juga Nyai Ratu.” Mangkubumi hanya diam karena mereka pernah salat berjamaah di anjungan.


“Kami meminta Baginda untuk menjadi imam di malam ini,” pinta Qadi Abdurrasyid.

“Engkau saja, karena sudah menjadi imam tetap, bukan?” sahut Sultan tersenyum.

Sultan Abdullah hanya rendah diri padahal dialah yang menjadi imam salat jenazah bagi ayahnya. Malam itu, setelah jamaah salat Isya membacakan surah Yasin dan tahlil, beliau juga yang ditunjuk untuk membacakan doa. Dia bersama Mangkubumi pulang tidak lama setelah acara selesai.

Di halaman masjid, Sultan Abdullah berbicara dengan Mangkubumi. “Bagaimana menurut engkau jika kita berpisah di sini? Aku akan pulang sendiri.”

“Bukankah lebih baik jika hamba mengantar Baginda? Apalagi hamba khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Jika Baginda mengizinkan, paling tidak hamba ingin mengantar sampai di halaman.”

“Baiklah, jika itu kemauan engkau.”

Mangkubumi benar-benar mengantarkan Sultan Abdullah sampai ke halaman. Dia menunggu sampai Sultan benar-benar masuk ke dalam baru meninggalkannya.


“Aminah.” Abdullah memeluk istrinya. “Engkau tahu betapa rindunya aku di Keraton?”

“Ya, aku tau.”

“Aku dengar dari Mangkubumi, Dayang Fatimah merawat engkau dengan baik.”

“Itu benar.”

“Alhamdulillah.” Abdullah terlihat lega. “Di mana dia sekarang?”

“Tentu saja di rumahnya. Dia juga punya keluarga.”

Abdullah mulai berbaring. “Bagaimana keluarganya?”

“Dia tidak membahasnya hari ini, tapi aku bisa melihat wajahnya terus gelisah.”

“Bagaimana kalau kita pergi ke rumahnya besok? Aku akan memberitahukan Mangkubumi bahwa akan meninggalkan Keraton. Jika keadaannya buruk.”

“Aku bisa mengunjunginya sendiri dengan dayang lain, jadi engkau tidak harus meninggalkan istana.”

“Tapi….” Abdullah terlihat sedih. “Bukankah sudah lama kita tidak berjalan bersama? Sebagai suami-istri?” Dia memandang istrinya. “Baiklah. Engkau boleh ke sana dengan dayang lain.”

“Aku hanya iri karena hampir semua orang selalu melihat kalian bersama, tapi tidak dengan kita. Engkau selalu berada di Balai Bini.” Abdullah mulai tidur perlahan. Aminah mulai berbaring di samping Abdullah.

“Maafkan aku.” Aminah membelai baju Abdullah. “Aku takut engkau akan menunjukkan kemesraan di hadapan umum, yang membuat orang akan membenci engkau. Wibawa engkau sebagai Sultan sangat berharga, agar masyarakat selalu mendengarkan keputusan-keputusan baik engkau.” Dia pun mulai tidur dengan wajah menghadap suaminya.

Aminah terbangun di dini hari dan melihat Abdullah sudah tidak ada di sisinya. Kali itu, dia panik. Biasanya Abdullah selalu membangunkannya dengan lembut sampai dia yakin mata Aminah terbuka dan duduk di kasur baru meninggalkannya. Aminah bergegas untuk mencari ke anjungan, tempat Abdullah biasa menunggunya, tapi dia tidak ada di sana. Dia berusaha untuk tenang dengan bersiap untuk salat.


“Sultan Abdullah?” Sultan Abdullah datang sendiri, tanpa Mangkubumi yang mengawani kemudian duduk di samping Qadi Abdurrasyid yang duduk sendirian di belakang mihrab Sabilal Muslimin.

“Bisakah engkau memanggilku Abdullah, sekali saja?”

“Tidak akan. Engkau adalah orang yang terhormat di Kesultanan ini. Kemanapun engkau pergi, semua orang akan tunduk kepadamu.”

“Kecuali di tempat ini.” Abdullah tersenyum ringan. “Sudah lamakah engkau di sini?”

“Tidak juga. Waktu Subuh sekarang telah tiba. Izinkan saya untuk mengumandangkan azan.”

“Lakukan saja. Kenapa harus minta izin?”


Masyarakat telah pulang dari masjid dan hanya tersisa Sultan dan Qadi. Sultan mendekati Qadi lagi. “Bayangkan jika aku tidak mengizinkan engkau Subuh tadi.” Sultan menepuk bahu Qadi. “Jangan pernah meminta izin dariku lagi untuk hal seperti itu. Aku tidak menyukainya.” Sultan tersenyum.

“Tapi, kenapa jamaah lebih sepi dibanding Magrib dan Isya tadi malam?”

“Mungkin mereka kelelahan setelah menyiapkan acara?” Qadi mencoba berpikir positif.

“Bagaimana jika menurut engkau kedatanganku Subuh ini diumumkan? Apakah akan seramai itu?” Sultan terus berpikir. “Bagaimana jika aku menerima tawaran engkau malam tadi untuk menjadi imam tapi untuk Subuh ini?”

“Ya, mungkin mereka hanya kelelahan.” Sultan tersenyum. “Sepertinya, kamu juga. Aku pulang lebih dulu. Assalamu ‘alaikum.” Sultan pun meninggalkan Qadi berjalan.

“Wa ‘alaikumussalam.” Qadi tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, seorang gadis yang memeluk lipatan sajadah berisi mukena itu memandang Sultan untuk waktu yang cukup lama. Seakan mengenalnya, dia langsung tunduk dan bergegas pergi. Tentu saja, Sultan menyadari hal itu.

“Engkau Dayang Fatimah bukan?” tanya Sultan menghentikan jalan gadis itu meski harus mengucap gelarnya. Hal itu seolah menjawab pertanyaannya. Sultan mulai mendekat namun berhenti karena teringat sesuatu.

“Engkau akan pulang ke rumah?” Sultan hanya memastikan. Dayang Fatimah mengangguk pelan.

“Aku belum tahu di mana rumah engkau, jadi akan ikut.” Dayang Fatimah sontak memandang Sultan dan terlihat gelisah. “Tenang. Untuk menghindari fitnah, aku akan mengikuti engkau jauh di belakang. Berjalanlah sebagai mana biasa. Jika engkau bersikap seperti itu, orang akan berpikir aku tidak baik. Hal itu tidak mungkin terjadi, bukan?”


“Assalamu ‘alaikum.” Dayang Fatimah mengucapkan salam sambil membuka pintu.

“Assalamu ‘alaikum.” Sultan Abdullah turut mengucapkan salam.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” sahut seorang wanita tua dengan suara lemah. “Dengan siapa kamu pulang?” Pertanyaan itu dari ibu Dayang Fatimah, Nyai Ratu Khadijah.

“Sultan Abdullah, Ma.”

Mendengar nama tersebut, Nyai Ratu Khadijah berusaha bangkit dari pembaringannya. Sultan Abdullah melihat hal itu karena beliau hanya berbaring di ruang tengah.

“Jangan paksakan diri engkau, Uma-nya Fatimah. Tetaplah berbaring.” Sultan Abdullah mendekat dan duduk di samping beliau.

“Inikah alasan engkau begitu gelisah, wahai Fatimah?” tanya Sultan Abdullah. Dia mulai meneteskan air mata. “Engkau seharusnya melapor kepadaku atas hal ini, wahai Fatimah. Andai kami tahu, pihak kesultanan akan menanggung atas perawatan ibumu.”

“Aku malu sekaligus segan.”

Sultan Abdullah berpikir sejenak. “Apakah karena aku dan Mangkubumi?” Dayang Fatimah hanya diam.

“Kalau begitu, dengan Nyai Ratu Aminah kamu harus melapor. Bukankah kalian selalu bersama?” Dayang Fatimah masih hanya diam. “Kesempatan engkau untuk berbicara bahkan berjalan beriringan dengannya bahkan lebih banyak dariku, Fatimah!”

Karena Dayang Fatimah masih hanya diam, Sultan Abdullah mulai berdiri. “Fatimah, engkau lebih baik libur hari ini. Masih banyak dayang lain yang akan mengawani Nyai Ratu.”

“Aku akan pulang. Mangkubumi semalam memperingatkan bahwa hari ini akan agak lebih susah dibanding lainnya.” Sultan Abdullah akan meninggalkan rumah. “Semoga Allah segera menyembuhkan engkau, Uma-nya Fatimah.”


“Sultan, Baginda terlihat begitu berbeda hari ini.”

“Tidak hanya Qadi, sekarang engkau yang mengucapkan hal itu. Apa yang sebenarnya kalian inginkan?”

“Itu dia. Baginda lebih mudah marah.” Mangkubumi menatap Sultan dengan serius. “Ada apa Baginda? Maukah mengisahkannya pada hamba?”

Sultan Abdullah berusaha tenang. “Uma-nya Dayang Fatimah sedang sakit. Aku belum tahu sudah berapa hari, tapi karena dia tidak melapor….” Sultan Abdullah menahan tangisannya. “Kita harus menanggung perawatan sebelum sakit beliau semakin parah.”

“Beritahukan Pamarakan dan Rasajiwa, agar menyiapkan tabib di Keraton untuk didatangkan ke rumah Dayang Fatimah. Segera!”

“Baiklah, Baginda.” Mangkubumi tunduk kemudian meninggalkan Keraton untuk menuju Balai Laki dan mengabarkan kepada mereka yang dimaksud.

Sekarang, Sultan sendirian di keraton. Dia memilih turun ke halaman untuk menghibur diri. Sultan mendengar suara tangisan anak-anak dan mendekat.

“Kenapa ini, wahai Sarabumi?”

“Anak-anak ini ingin menggunakan halaman keraton untuk bermain. Tapi bukankah tidak boleh, Baginda?”

“Apa yang kalian ingin mainkan?”

“Gasing,” jawab salah satu anak itu sambil terisak.

“Gasing?” Sultan terlihat tertarik. “Silakan masuk. Kalau ingin, mainlah di pelantar keraton. Nanti Sultan lihat, siapa dari kalian yang gasingnya lebih lama berputar. Pergilah lebih dulu. Kalau Sarabraja menghalangi, beritahu saja, Sultan telah mengizinkan. Bersenang-senanglah!”

“Baginda terlihat senang dengan anak-anak. Kapan Baginda memilikinya?”

“Apa yang engkau inginkan? Penerus kerajaan ini karena tidak suka padaku? Bukankah sudah ada Pangeran Tahir Lillah yang jelas disukai masyarakat?” Sultan Abdullah terlihat kesal dan langsung meninggalkan Sarabumi. Namun dia memandang sebentar. “Jangan bilang kamu lebih memilih Pangeran Takbirullah.”

Dari kejauhan, Sultan Abdullah sudah bisa melihat kebahagiaan di wajah anak-anak yang sedang bermain gasing di pelantar keraton. Sarabraja memanggil dengan matanya tanpa perlu bicara. Sultan Abdullah memahami maksudnya dan mendekat.

“Benarkah Baginda mengizinkan mereka untuk bermain di sini?”

“Tentu saja. Kenapa memangnya?”

“Lihatlah lantai ulin ini. Kotor sekali.”

“Aku akan membersihkannya jika engkau tidak mau.” Sultan Abdullah memandang Sarabraja kemudian menepuk bahunya. “Biarkan mereka bahagia dan jaga baik-baik. Aku harus masuk palindangan untuk melihat apakah Mangkubumi sudah pulang.”

“Mangkubumi belum terlihat masuk.”

“Benarkah?” tanya Sultan tidak percaya. “Jika dia mencariku, sebut Balai Laki. Aku akan ke sana sebentar dan kembali ke sini.”


“Assalamu ‘alaikum,” ucap Sultan Abdullah di depan

“Wa’alaikumussalam warahmatullah.” Pangeran Tahir Lillah menyambut. “Aba.” Meski Pangeran Tahir Lillah bukanlah anak kandung sultan, dia tetap menganggapnya ayah. Bahkan, dia langsung mencium tangan Sultan. “Masuklah.”

“Tidak. Di pelantar saja.” Sultan langsung duduk.

Pangeran menerima keputusan itu dan langsung duduk. “Ada apa, Ba?”

“Sudahkah engkau mendengarnya?”

“Aku tidak tahu yang Aba maksud.”

“Bagaimana jika Pangeran Takbirullah, bukannya engkau yang melanjutkan duduk di takhta kerajaan?”

“Tidak apa-apa. Aku akan menerimanya. Lagipula, aku masih perlu belajar bagaimana untuk pantas duduk di sana.”

“Tahir, dengarkan aku.” Sultan meletakkan tangannya di bahu Pangeran. “Usia tidak ada yang tahu. Masyarakat, termasuk aku menginginkan engkau yang duduk di sana. Mereka lebih bahagia jika engkau yang menjadi Sultan selanjutnya.”

“Tapi jika engkau memang menganggap Takbirullah yang harus menempatinya, tidak apa. Aba juga tidak mau memaksa. Tapi hanya satu, teruslah belajar karena menjadi pangeran pun, sudah susah bukan? Pernahkah kamu merasa kebebasanmu direnggut?”

“Itu saja yang ingin Aba bicarakan denganmu. Aba harus kembali ke keraton.” Sultan Abdullah mulai berdiri dan pergi.


Sultan Abdullah menyadari anak-anak telah pergi dari pelantar keraton karena Sarabraja sedang menyapu lantai sendirian.

“Sini, aku yang menyapunya.” Tangan kanan Sultan siap menyambut sapu ijuk itu.

“Hamba saja.” Sarabraja memegang dengan erat. Hal itu membuat Sultan tersenyum.

“Baiklah, jika itu maumu. Padahal, aku sudah menawarkan diri.” Sultan berlagak untuk bercanda. “Ke mana anak-anak?”

“Mereka bersepakat pulang karena ingin tidur siang.”

Sultan terlihat kecewa. “Engkau tidak mengusirnya bukan?”

“Hamba menjaga mereka sesuai perintah Baginda. Mereka sangat bersenang-senang.”

“Bagaimana menurutmu jika mereka datang lagi? Akankah Sarabumi melarangnya lagi, atau malah semakin banyak yang ke sini?” Sarabraja hanya diam. “Aku akan menanyakan hal yang sama kepada Mangkubumi, juga masing-masing dari mereka. Jika engkau berbohong, bersiaplah akan Sarabraja yang baru.”

Sarabraja mulai menunduk. “Tapi Mangkubumi, Sudahkah dia pulang?” tanya Sultan.

“Ya, dia sudah tiba dan menunggu Baginda,” jawab Sarabraja pelan. Sultan langsung memasuki keraton dan Sarabraja melanjutkan tugasnya yakni membersihkan lantai pelantar.


“Mangkubumi.” Sultan langsung menyapa saat menuju singgasana.

“Ya, Baginda?”

“Apakah engkau sudah lama menunggu?”

“Baru saja, Baginda. Jika menurut hamba lebih lama, maka hamba pasti akan mencari Baginda di Balai Laki sesuai keterangan Sarabraja.” Sultan tersenyum sambil terus berjalan.

“Bagaimana keadaan Uma-nya Dayang Fatimah sekarang?” tanya Sultan sambil duduk.

“Beliau sekarang lebih baik. Dayang Fatimah sekarang tidak perlu khawatir lagi sehingga dia dapat kembali mengawani Nyai Ratu Aminah.”

“Alhamdulillah.” Sultan terlihat lega dan Mangkubumi pun tersenyum. “Bayangkan jika masyarakat tahu bahwa Nyai Ratu Khadijah sedang sakit dan kita tidak terdengar merawat beliau. Bisa-bisa fitnah semakin merebak dan Kesultanan dipandang buruk. Bukankah kita tidak mau hal itu terjadi?” Dia diam sebentar.

“Mangkubumi.” Sultan memulai topik baru.

“Ya, Baginda?” sahut Mangkubumi.

“Kapan kamu tiba di Keraton?”

“Baru saja, Baginda.”

“Apakah kamu sempat melihat anak-anak bermain gasing di pelantar?”

“Ya. Mereka terlihat sebagai bahagia Baginda, sampai kelelahan. Akhirnya, mereka memutuskan pulang untuk tidur siang.”

“Kamu tidak bekerja sama dengan Sarabraja bukan?”

“Apa maksud Baginda?”

“Sebelumnya, Sarabumi menghalangi mereka untuk bermain di halaman. Aku takut kalian sebenarnya mengusir anak-anak itu.”

“Hamba dapat memahami alasan Baginda tidak percaya. Maka, maafkanlah hamba.” Mangkubumi meminta ampun.

“Bagaimana menurut engkau jika mereka datang lagi? Akankah Sarabumi melarangnya lagi, atau malah semakin banyak yang ke sini?” Sultan benar-benar menanyakan hal yang sama.

“Jika memang itu keinginan Baginda. Hamba akan memastikan Sarabumi tidak akan melarang mereka lagi selama tidak ada yang dirusak. Jika semakin banyak, bukankah Baginda begitu bahagia melihat mereka?”

Sultan hanya diam sambil memandang Mangkubumi. “Hamba ingin selalu melihat kebahagiaan itu. Bahkan saat hamba pergi mencarikan tabib, hamba selalu teringat senyuman Baginda.” Sultan mulai terenyuh tapi tepat di saat itu, Dayang Fatimah memasuki keraton sendirian.

“Ada apa, Dayang Fatimah?”

“Hamba hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah membantu dalam merawat Baginda.”

“Sudah menjadi kewajibanku.” Sultan Abdullah sadar atas satu hal. Dia mulai menulis sebuah surat dan tanpa ragu memberikan cap.

“Mangkubumi.” Sultan memanggil untuk menyerahkan surat itu.

“Ya, Baginda?”

“Kabarkan kepada semua Lalawangan dan bawahannya agar turut menanggung perawatan yang sakit di daerah mereka.” Mangkubumi pun menyambutnya. Dia sudah memahami tugasnya. Menggandakan surat itu agar bisa dibagikan dengan rata.

“Hamba akan bekerja sama dengan Singabana untuk menyampaikan ini.” Mangkubumi belum pergi dari keraton sehingga pandangan Sultan kembali beralih ke Dayang Fatimah yang masih berdiri di sana.

“Bagaimana kabar Nyai Ratu?” Sultan tersenyum. Dia membuktikan masih ingat dengan istrinya ketika memandang Dayang Fatimah yang menjadi dayang kehormatan di kerajaan.

“Baik-baik saja,” jawab Dayang Fatimah singkat.

“Alhamdulillah.” Sultan tersenyum.

“Padahal hamba ingin meminta maaf kepada Baginda karena masih ingin bekerja, bukannya libur seperti yang Baginda sarankan.”

“Tidak apa. Itu adalah keputusan engkau dan tidak ada yang boleh menganggunya.” Sultan mencoba menghibur. “Oh iya, apakah engkau mendengar hal yang buruk, setelah aku mengikuti sepulang Subuh tadi?” Mangkubumi agak terkejut mendengar pertanyaan dari Sultan kepada Dayang Fatimah.

“Tidak ada.”

“Baiklah, kamu boleh pergi sekarang,” ucap Sultan. Dayang Fatimah mulai berpaling. “Tunggu dulu.” Dayang Fatimah berhenti. “Sebelum engkau pergi, aku titip salam kepadanya. Kalian pasti bersenang-senang di Balai Bini. Andai dia juga melihat betapa bahagianya anak-anak itu saat bermain gasing.” Setelah dirasa selesai bicara, Dayang Fatimah mulai meninggalkan keraton.

Pandangan Sultan kembali kepada Mangkubumi. “Apakah engkau akan pergi untuk bertemu Singabana?”

Mangkubumi baru saja melangkahkan kaki kanan namun berhenti. “Hamba baru saja akan melakukannya. Ada apa, Baginda?”

“Tunggu sebentar. Ada dua hal yang ingin aku bicarakan?”

“Apa itu, Baginda?”

“Tahir Lillah atau Takbirullah. Siapa pangeran yang engkau pilih untuk duduk di sini?”

Mangkubumi sempat terkejut dengan pertanyaan itu. “Siapapun dia. Hamba akan selalu mendukung, bahkan jika sudah bukan Mangkubumi lagi.”

“Baguslah.” Sultan tersenyum. “Engkau terkejut bukan, saat aku memberitahukan bahwa aku mengikutinya sepulang Subuh?” Mangkubumi hanya diam. “Jika aku salat di masjid lagi, kamu boleh ikut. Kecuali jika aku salat di anjungan.”

“Sekarang, engkau boleh pergi.” Mangkubumi pun menunduk kemudian pergi. Sultan mulai bersandar di singgasana. Mangkubumi menganggap Sultan mulai tenang kemudian teringat sesuatu.

“Bagaimana dengan yang satunya?”

Sultan terlihat murung. Mangkubumi menyadari ada yang salah dengan pertanyaannya. “Baginda tidak perlu menjawabnya. Hamba akan pergi sekarang.”

“Tahukah kenapa aku bertanya kepada engkau tentang kedua pangeran tadi?” Mangkubumi hanya diam.

“Tadi, saat Sarabumi melarang anak-anak itu namun aku mengizinkannya bahkan meminta mereka main di pelantar. Dia mengucapkan satu hal. Dia berkata bahwa aku terlihat bahagia melihat anak-anak dan menanyakan kapan aku memilikinya?”

“Aku berusaha keras menahan kemarahanku dengan mengatakan bahwa sudah ada Pangeran Tahir Lillah yang akan melanjutkan. Namun aku lupa juga ada Pangeran Takbirullah. Sekarang, aku benar-benar ingin Tahir yang menjadi Sultan selanjutnya. Bagaimana menurut engkau?” Memandang Mangkubumi yang masih diam, Sultan melanjutkan pembicaraannya. “Engkau tidak perlu menjawabnya, Mangkubumi. Segeralah selesaikan urusan tadi.”

Komentar