Di Balai Bini, Nyai Ratu Aminah sedang merajut kain namun melihat gelagat Dayang Fatimah agak aneh. Dia pun berhenti kemudian duduk di sampingnya. “Ada apa, Dayang Fatimah? Kenapa kamu masih gelisah, padahal tabib kerajaan telah fokus merawat Uma-mu?”
“Hamba masih tidak merasa nyaman, Nyai Ratu.” Dayang Fatimah menunduk.
“Kenapa? Kisahkanlah. Aku sedia mendengarkannya.”
“Hamba ingin meminta maaf dan ampun kepada Nyai Ratu.” Nyai Ratu Aminah hanya diam sebagai bukti terus mendengarkan Dayang Fatimah. “Nyai Ratu telah berusaha sebaik mungkin untuk menghindari Baginda Sultan terkena fitnah, namun karena hamba, beliau jadi terancam.”
“Karena dia mengikuti engkau sepulang dari masjid bahkan masuk ke rumah?” tanya Nyai Ratu Aminah.
“Bagaimana Nyai Ratu tahu?” Nyai Ratu Aminah hanya tersenyum.
“Apa yang dia bicarakan ketika di dalam? Suaranya terdengar nyaring, yang menandakan dia sedang marah.” Dayang Fatimah memandang Nyai Ratu Aminah kebingungan. “Aku juga minta maaf karena telah mengikuti engkau dari masjid sampai ke rumah. Ketika Sultan tidak ada di rumah saat subuh, aku sudah menduga dia pergi ke masjid. Tapi aku tidak menyangkanya akan pergi ke rumah engkau.” Nyai Ratu Aminah menggenggam tangan Dayang Fatimah. Dayang Fatimah mengangguk paham.
“Jadi, apa yang Sultan bicarakan?” Nyai Ratu Aminah mengulang pertanyaannya.
“Hamba rasa Sultan tidaklah marah. Sultan hanya kesal karena hamba tidak melaporkan sakitnya Uma.”
“Apakah menurut engkau, ada alasan lain kenapa Sultan kesal?”
“Aku telah mendengarnya langsung. Uma-ku juga Nyai Ratu, yang berarti dia keluarga kerajaan. Jika ada yang mengetahui bahwa keluarga kerajaan dibiarkan sakit, fitnah pasti segera menyebar.”
“Menurut engkau begitu?” Nyai Ratu Aminah menatap Dayang Fatimah dengan serius. “Bukankah Sultan terlihat seperti lebih memedulikan takhtanya?” Dayang Fatimah hanya diam.
Nyai Ratu Aminah menghela napas kemudian berdiri setelah melepas genggaman tangan.
“Nyai Ratu hendak ke mana?” tanya Dayang Fatimah.
“Aku hendak bertemu dengan Sultan.”
“Maka hamba harus menemani.” Dayang Fatimah turut berdiri dan menggenggam tangan Nyai Ratu.
“Kamu tinggal di sini saja.” Nyai Ratu melepas genggaman tangan itu. “Dayang Ruqayyah!” Dia memanggil dayang lain.
“Siap, Nyai Ratu,” sahut Dayang Ruqayyah berdiri mendekati Nyai Ratu sambil memandang Dayang Fatimah.
“Baginda Sultan,” panggil Mangkubumi.
“Ada apa, Mangkubumi?” tanya Sultan melihat Mangkubumi berbicara dengan seseorang.
“Sarabraja mengatakan Nyai Ratu ingin bertemu Baginda.”
“Sarabraja menjagakan pintu?” Mangkubumi pun menyampaikan pertanyaan dari Sultan kepada Sarabraja.
“Dia mengantarkan Nyai Ratu.”
“Biarkan Nyai Ratu masuk, tapi hanya dia sendiri,” ucap Sultan Abdullah. Pintu pembatas pun dibuka secara lebar oleh Sarawasa. Dayang Ruqayyah diminta menunggu di luar saat pintu ditutup kembali. Sultan Abdullah turun dari takhta untuk mendekat. Namun dia melihat wajah Nyai Ratu Khadijah begitu kesal dengan hanya berdiri di tengah ruangan. “Ada apa, Aminah?”
“Ke mana engkau subuh tadi?” tanya Nyai Ratu Aminah seolah tidak tahu dengan nada marah. “Kenapa engkau tidak membangunkanku?”
“Kenapa engkau membicarakannya di sini?” sahut Sultan Abdullah kebingungan.
“Jawab pertanyaanku!”
Sultan Abdullah berusaha tenang kemudian memandang Mangkubumi. Seolah paham, Mangkubumi menunduk dan pergi keluar melalui pintu belakang.
“Aku tidak mau mengganggu tidur nyenyak engkau, karena biasanya kita bangun di waktu yang hampir bersamaan. Jadi, aku salat Subuh di masjid.”
“Bagaimana setelahnya?” tanya Nyai Ratu Aminah. Sultan Abdullah hanya tersenyum. Dia langsung menyadari bahwa istrinya telah mengetahui tanpa perlu dikisahkan. Namun tetap saja, pertanyaan itu harus dia jawab.
“Pulang dari sana, aku bertemu dengan Dayang Fatimah. Aku masih ingat ketika engkau mengisahkannya begitu gelisah. Karena dia perempuan, aku yang laki-laki juga tidak tahu di mana rumahnya, jadi kuputuskan untuk mengikuti dengan izinnya. Di rumahnya, aku melihat Uma-nya, Khadijah sedang sakit. Tabib kerajaan sudah kukirim ke sana dan Dayang Fatimah mengabarkan bahwa Uma-nya sekarang lebih baik.”
Sultan Abdullah telah menjelaskan cerita dengan rinci. Tapi wajah Nyai Ratu Aminah terlihat masih kesal.
“Tidakkah engkau tahu bahwa masyarakat akan menyebarkan segala fitnah jika melihat hal itu? ‘Sultan mengikuti dayang ke rumahnya.’ Mereka bisa saja berpikir macam-macam! Bukankah engkau sangat tidak suka hal itu?”
“Makanya, aku sudah mengajak engkau untuk jalan bersama ke sana setelah mencurigai kegelisahannya, tapi engkau menolaknya dengan menyahut akan pergi dengan dayang lain saja.” Nyai Ratu Aminah terdiam dan membuat keraton hening. Sultan Abdullah memikirkan cara untuk menenangkan istrinya. “Sudahkah Dayang Fatimah menyampaikan salamku kepada engkau, wahai Aminah?” Nyai Ratu Aminah tidak menyahut dan langsung meninggalkan ruangan itu.
Saat pintu terbuka, dia langsung memanggil. “Dayang Ruqayyah.”
Dayang Ruqayyah yang bersandar di pintu terlihat terkejut dan langsung menunduk.
“Apakah engkau mengintip dan menelinga kami?” tanya Nyai Ratu Aminah.
Dayang Ruqayyah hanya diam sambil terus menunduk. Nyai Ratu Aminah yang masih kesal langsung meninggalkan Dayang Ruqayyah dengan cepat kemudian Dayang Ruqayyah mengejarnya.
Setibanya di Balai Bini, dia melihat melalui pintu yang terbuka, Dayang Fatimah dianiaya oleh seorang yang tidak dikenal. Dayang Fatimah berusaha keras untuk melawan. Nyai Ratu pun marah dan bergegas masuk. Kehadiran Nyai Ratu Aminah disadari oleh orang itu sehingga dia langsung kabur melalui pintu belakang.
“Engkau tidak apa-apa, Fatimah?” tanya Nyai Ratu Fatimah sambil memeriksa keadaan Dayang Fatimah. Sementara, Dayang Ruqayyah yang merasa bersalah atas tindakannya di keraton tadi mencoba menebus dengan mengejar orang itu.
Dayang Fatimah memandang. “Aku baik-baik saja.”
“Engkau bohong lagi, Fatimah.” Nyai Ratu melihat memar di kening Dayang Fatimah.
“Di mana engkau, Sarawasa?” Tidak ada yang menyahut. Nyai Ratu berusaha tenang.
“Fatimah, berdiri!” suruh Nyai Ratu. Dayang Fatimah berdiri perlahan. “Engkau harus ikut denganku.”
“Dayang Ruqayyah!” Dayang Ruqayyah yang baru saja kembali dari pintu belakang karena tidak menemukan siapa-siapa, tersentak mendengar suara Nyai Ratu Fatimah yang lebih nyaring dari biasanya. “Sekarang giliran engkau tinggal di sini. Awas, jika aku melihat engkau berada di luar.” Dayang Ruqayyah tidak bisa berkata-kata. Dia langsung duduk sambil menahan tangisannya.
Nyai Ratu Fatimah kembali berada di ruang takhta Sultan Abdullah. Sementara itu, Dayang Fatimah hanya bersembunyi di balik punggung Nyai Ratu.
“Wajah engkau yang gelisah, menunjukkan sesuatu yang buruk sedang atau sudah terjadi. Ada apa, Aminah?”
Karena merasa pembicaraan ini akan bersifat pribadi lagi, Mangkubumi bersiap untuk pergi.
“Tetaplah di sini. Aku percaya pada engkau kali ini.” Sultan memandang Mangkubumi sebentar sebelum kembali kepada Nyai Ratu Aminah.
Menyadari Sultan memandang mereka lagi, Nyai Ratu Aminah pun berucap, “Mari, Fatimah. Menghadaplah kepada Sultan.”
“Wah, dia pasti sangat istimewa bagi engkau wahai Aminah, bahkan tidak memanggil gelarnya.” Ucapan itu membuat Nyai Ratu Aminah tersenyum kecil.
“Aku rasa demikian. Dayang Ruqayyah yang mengikutiku ternyata menelinga pembicaraan kita di sini. Aku menghukumnya dengan menyuruhnya tidak keluar dari Balai Bini meski Sarawasa yang menjaga di sana tidak ada.”
“Masih yakin mengajak dayang lain?” tanya Sultan sambil tersenyum.
“Engkau jangan seperti itu, wahai Fatimah. Nyai Ratu telah menaruh kepercayaan besar kepada engkau,” ucap Sultan kepada Fatimah yang disambutnya dengan anggukan. Nyai Ratu terdiam.
“Itu hukuman yang cukup bagus. Laporkan saja terus, seperti ini. Jika dia ketahuan menelinga lagi, aku yang akan menghukumnya.” Sultan terdiam sejenak. “Apa ujar engkau tadi? Sarawasa tidak ada?” Sultan mulai curiga.
Karena Dayang Fatimah tidak kunjung mau menampakkan dirinya, Nyai Ratu Aminah pun harus mengatur posisi agar dia berada di belakang sehingga Dayang Fatimah di depan.
“Apa yang terjadi dengannya?” Sultan agak terkejut turun dari takhta untuk melihat dari dekat.
“Sesampainya di Balai Bini, aku melihat dia sedang dizalimi oleh seseorang yang tidak dikenal. Orang itu sadar aku ada di sana sehingga dia lari melalui pintu belakang.” Nyai Ratu Aminah memandang serius kepada Sultan. “Kira-kira, siapa yang melakukan tindakan tidak beradab itu kepada Fatimah?”
Sultan selesai melihat memar itu meski Dayang Fatimah berusaha keras menutupinya dengan terus menunduk karena Nyai Ratu menahan tangannya karena melindungi.
Dia pun mulai menanya kepada orang terdekat. “Mangkubumi.”
“Ya, Baginda?” sahut Mangkubumi.
“Mintakan tabib kerajaan untuk mengobati Dayang Fatimah. Carilah tabib perempuan sebagaimana yang kita sediakan untuk Uma-nya. Antar dia ke Balai Bini.” Sultan memandang Mangkubumi. “Tapi sebelumnya, apakah engkau pelakunya?”
“Demi Allah, bukan, Baginda. Hamba setelah keluar melalui pintu belakang keraton, hanya diam di sana sampai merasa waktu yang pas untuk krmbali.” Dari nada Mangkubumi yang tenang ditambah sumpahnya yang berani untuk memastikan, Sultan dapat mengetahui bahwa dia tidak berbohong.
“Apakah engkau melihat seseorang yang mencurigakan?”
“Tidak, Baginda. Hamba hanya sendiri di sana dan tidak melihat siapapun.”
“Maka, orang yang harus dicurigai adalah Sarawasa itu sendiri. Kemudian, ada orang lain yang kucurigai. Aku akan ke tempat untuk memastikannya.”
“Kami akan pulang tepat di belakang engkau,” sahut Nyai Ratu Aminah.
“Tahir!” panggil Sultan dengan suara nyaring ketika memasuki Balai Laki. Jalannya lebih cepat karena kemarahannya.
“Ya, Aba.” Pangeran Tahir Lillah berdiri.
“Apakah engkau melakukannya?” tanya Sultan sambil memegangi kedua pundak Pangeran.
“Melakukan apa?” tanya Pangeran kebingungan.
“Jangan pura-pura tidak tahu.” Sultan menggoncang tubuh Pangeran kemudian mendorongnya sampai tersandar di dinding.
“Aku benar-benar tidak tahu.” Melihat wajah Pangeran, Sultan pun menyingkirkan tangannya. Dia pun melihat ke sekitar sejenak.
“Di mana Takbir?” tanya Sultan.
“Aku tidak tahu. Dia sudah cukup lama tidak ada di sini,” jawab Pangeran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Dayang Fatimah dizalimi orang di Balai Bini.” Pangeran mulai memahami masalahnya. “Bagaimana dengan Sarawasa?”
“Dia berada bersamaku sebelumnya karena aku meminta bantuan. Baru saja dia kembali ke Balai Bini. Itu adalah pertama kalinya aku ke Balai Bini, bahkan tidak naik ke pelantar.”
“Apa yang engkau minta sehingga harus dengan Sarawasa? Bukan dengan Sarabumi, Sarabraja atau Aba?”
“Aku tidak mau mengganggu Aba. Aku sudah mencari Sara
Sultan agak terkejut, apalagi dia ingat Sarabraja sempat di dekatnya, yakni menjaga pintu pembatas. “Maafkan Aba.” Dia pun langsung pergi sementara Pangeran terus memandang.
“Aku harus menanyakan hal ini dengan Pangeran Takbirullah jika dia kembali.” Pangeran Tahir Lillah mengepalkan tangannya menunjukkan tekadnya. Dia pun duduk kembali.
Nyai Ratu Aminah dan Dayang Fatimah kembali ke Balai Bini. Kali ini seorang perempuan yang merupakan tabib kerajaan turut mengikuti mereka.
“Tabib.” Perempuan itu memandang Nyai Ratu Aminah yang memanggilnya. “Aku yakin engkau telah tau namaku. Sekarang, siapa nama engkau?”
“Habibah, Nyai Ratu.”
“Habibah….” Nyai Ratu mulai mengigat. “Nama yang indah.”
“Bagaimana dengan teman engkau yang merawat Nyai Ratu Khadijah? Siapa namanya?”
“Maymunah, Nyai Ratu.”
“Nama kalian begitu indah….” Nyai Ratu terenyuh.
Nyai Ratu melihat Sarawasa berdiri di depan rumah. “Ke mana saja engkau, Sarawasa?”
“Aku diminta bantuan oleh Pangeran.”
“Pangeran yang mana?” tanya Nyai Ratu untuk memastikan karena ada dua.
“Tahir.” Jawaban itu langsung membuat Nyai Ratu paham bahwa pangeran yang dimaksud adalah Tahir Lillah.
“Apa yang dia minta?” Nyai Ratu mulai bersikap kritis.
“Salah satu lemari roboh secara mengejutkan. Dia mengaku telah mencari Sarabumi dan Sarabraja tapi mereka berdua tidak ada di tempatnya pada saat itu. Akhirnya, aku melihatnya yang berjalan dengan gelisah dan dimintai bantuan untuk membangunkan lemari itu.”
“Lain kali, ketika kamu pergi dari sini, beritahukanlah kepada kami. Kamu tidak mau hal ini terjadi lagi bukan?” tanya Nyai Ratu menunjuk memar di dahi Dayang Fatimah. “Bagaimana bisa orang masuk dengan mudahnya ke rumah ini?”
“Maafkan hamba, Nyai Ratu. Hamba berusaha mengingat dan melakukannya.”
Nyai Ratu Khadijah, Dayang Fatimah, dan Tabib Habibah pun memasuki Balai Bini. Nyai Ratu hanya bertatapan dengan Dayang Ruqayyah sinis. Dia bahkan menghindar untuk bicara.
Dayang Fatimah didudukkan di ruang tengah. Tabib Habibah mulai mengobati memar itu. Karena suasana hening, Nyai Ratu Aminah memulai pembicaraan.
“Fatimah.”
“Ya, Nyai Ratu?”
“Benarkah Sultan menitipkan salamnya pada engkau untukku?”
Dayang Fatimah tersentak. “Benar, Nyai Ratu. Maafkan hamba telah lupa menyampaikannya.” Dia pun bersujud meminta maaf.
“Bangunlah. Engkau tidak boleh melakukan itu kepadaku. Bahkan Habibah belum selesai mengobati memarmu,” ucap Nyai Ratu dengan tersenyum kemudian menghela napas. “Habibah.”
“Ya, Nyai Ratu?”
Sultan Abdullah sedang berjalan di halaman dan melihat Sarabumi. “Sarabumi!” Dia berjalan dengan cepat untuk mendekat.
“Ke mana saja engkau, wahai Sarabumi?”
“Hamba sedang pergi ke jamban. Ketika kembali, anak-anak sudah memasuki halaman dan lolos dari penjagaan hamba. Hamba minta maaf atas kekhilafan ini, Baginda.”
“Bukan itu masalahnya, Sarabumi. Pangeran Tahir Lillah tadi mencari engkau untuk meminta bantuan.”
“Benarkah? Haruskah hamba menemui Pangeran?”
“Itu terserah engkau karena dia sudah selesai.”
“Maafkan hamba. Hamba akan berusaha memberitahukan Baginda jika ingin pergi.”
“Tidak perlu. Bagaimana jika engkau menderita menahan hajat?” Pandangan sultan beralih kepada anak kecil yang sedang berjalan di halaman. “Apakah kalian akan main lagi?”
“Ya!” sahut mereka serentak.
“Mari, naik ke pelantar lagi.” Anak-anak itu berlari menuju pelantar keraton. “Hati-hati!” ucap Sultan.
Dia melihat seorang anak tertinggal. “Engkau tidak ikut?” tanya Sultan.
Anak itu hanya diam sambil menggeleng. “Kenapa?”
“Aku tidak punya gasing untuk dimainkan.”
“Ah….” Sultan mengangguk. “Sini, ikut Sultan.” Sultan menggandeng tangan anak itu.
“Tunggu di sini, ya,” ucap Sultan meninggalkan anak itu di pelantar bersama anak lainnya. “Mari, yang lain, ajak dia.”
“Apa yang Baginda cari?” tanya Mangkubumi ketika melihat Sultan membongkar laci-lacinya. Sultan tidak menjawabnya karena fokus mencari.
“Ini dia,” jawab Sultan sambil menunjukkannya kepada Mangkubumi.
“Apa yang Baginda ingin lakukan dengannya?”
“Memberikan kepada anak yang ingin memilikinya.” Sultan membersihkan barang itu.
“Bukankah itu barang yang sangat berharga bagi Baginda?”
“Tapi aku sudah tidak bisa memainkannya lagi,” sahut Sultan sambil memandang Mangkubumi. “Lagipula, aku membuat yang satu ini sendiri.” Sultan pun tersenyum.
“Engkau,” Sultan memanggil anak itu. Anak itu mendekat dan Sultan pun menyamakan tingginya. “Siapa namamu?”
“Abdullah,” jawabnya dengan malu.
“Wah, nama kita sama. Selayaknya sudah menjadi ketentuan dari Allah.” Sultan tersenyum.
“Nah, ini untuk engkau.” Sultan memberikan barang yang dia cari tadi. Abdullah memandang sultan dengan mata tidak percaya. “Ini adalah gasing dengan talinya. Dulu, Sultan juga pernah seperti kalian, tapi sekarang sudah tidak bisa. Jadi, ini milik engkau sekarang.”
“Terima kasih, Sultan.” Abdullah menyambut gasing itu dengan gembira kemudian memeluk Sultan. Dia pun langsung memainkannya bersama anak-anak lainnya.
“Yang lain, jangan iri. Kalian sudah punya masing-masing sekarang.” Sultan mulai berdiri.
“Lihatlah, Baginda begitu peduli dengan anak-anak. Kapan Baginda memiliki sendiri?” tanya Sarabraja.
Kali ini Sultan berhasil meredam marahnya. “Sarabraja,” Sultan tersenyum kecil. “Kamu dengan Sarabumi sama saja.” Dia diam sejenak. “Bukankah kedua pangeran sudah ada? Salah satu di antara mereka pasti akan melanjutkanku.” Kali ini, Sultan merubah jawabannya sehingga berbeda dengan kemarin yang disampaikan kepada Sarabumi. Dia menepuk pundak Sarabraja dan meninggalkannya untuk menjaga anak-anak itu sementara dia masuk.
Malam tiba. Di kamar tidur, Sultan Abdullah tidak lagi meluangkan waktu untuk berbicara dengan Nyai Ratu Aminah dan langsung berbaring. Nyai Ratu Aminah menyadari hal itu dan turut berbaring di sampingnya.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud memarahi engkau. Aku salah mengira engkau lebih peduli dengan takhta padahal aku pernah paham kenapa engkau melakukan itu.” Sultan Abdullah berpura-pura tidur dan tidak mendengarkan. “Maukah besok menemaniku pergi ke masjid dan pulangnya menemui Uma-nya Fatimah?”
“Tidak jadi dengan Dayang Ruqayyah?” sahut Sultan dengan suara lemah. Matanya bahkan masih terpejam. “Karena Dayang Fatimah sudah kembali mengawani engkau, kenapa tidak dengannya saja? Itu adalah kebiasaan baginya sepulang dari masjid untuk mendatangi Uma-nya.”
“Aku tidak ingin bicara dahulu selama beberapa saat dengan Dayang Ruqayyah agar dia memahami betapa marahnya aku atas kelakuannya. Sementara itu, Dayang Fatimah harus beristirahat setelah apa yang terjadi kepadanya. Aku memercayakan Tabib Habibah untuk kini menjaganya di Balai Bini.”
“Tabib Habibah?” Sultan membuka matanya dan melihat wajah Nyai Ratu tersenyum.
“Itu nama tabib yang ditugaskan untuk mengobati Dayang Fatimah. Bukankah namanya indah? Aku bersyukur memiliki kawan yang baik.” Sultan turut tersenyum.
“Besok, aku harus mencari Pangeran Takbirullah dan menanyainya masalah kejadian di Balai Bini. Tidak mungkin dia menghilang secara kebetulan. Aku telah bertanya dengan Sarawasa. Dia mengaku membantu Pangeran Tahir Lillah untuk membangunkan lemari yang tiba-tiba roboh di Balai Laki. Pangeran mengaku kepadanya bahwa telah mencari Sarabumi dan Sarabraja. Yang jelas, Sarabraja menjaga pintu pembatas dan kamu melihatnya sendiri.” Sultan berusaha tidur lagi. “Tapi aku tetap akan berusaha menemani engkau.”