Nyai Ratu Aminah membuka matanya perlahan. Dia bisa melihat Sultan Abdullah yang berada tepat di depan wajahnya juga membuka mata. “Sudah kukatakan, kita sebenarnya bangun bersamaan,” ucap Sultan Abdullah tersenyum kecil.
“Siapkan diri engkau jika memang mau ikut.” Sultan Abdullah bangun perlahan kemudian membangunkan Nyai Ratu Aminah setelah merasa segar. Dia berjalan lebih dulu keluar dari kamar kemudian diikuti Nyai Ratu Aminah yang masih menyeka matanya.
Singkat cerita, mereka yang telah siap pergi bersama menuju Masjid Sabilal Muslimin.
“Sultan Abdullah.” Qadi Abdurrasyid menyapa terlebih dahulu. “Nyai Ratu.” Dia juga menyadari kehadiran Nyai Ratu Aminah.
“Ada apa, wahai Qadi Abdurrasyid? Jangan lupa ujarku kemarin.”
Qadi Abdurrasyid terlihat malu. “Penghulu Abdurrahman akan menggantikan aku di waktu Zuhur dan Asar. Aku cukup kewalahan dengan jadwal di pengadilan.”
“Baguslah. Jika itu juga mau engkau, aku menerimanya.”
“Apakah engkau tidak marah dia menggunakan aku di hadapan engkau?” tanya Nyai Ratu Aminah menatap Sultan Abdullah.
“Hanya kepada Allah dia harus mengakui dirinya sebagai hamba. Aku menerima panggilan itu, bahkan jika Mangkubumi orangnya. Tapi, Mangkubumi bersikeras untuk mengaku sebagai hamba. Itu terserah dia sekarang, karena aku sudah sering melarangnya.”
“Lagipula, kami sekarang teman, Aminah.” Sultan Abdullah dan Qadi Abdurrasyid berjabat tangan.
Sultan Abdullah kemudian melihat isi masjid yang cukup ramai. Subuh kali ini, Masjid Sabilal Muslimin mulai dipenuhi oleh masyarakat. “Bagaimana mereka datang sebanyak ini, wahai Abdurrasyid?” tanya Sultan Abdullah penasaran.
“Itu bermula saat sepulang Subuh kemarin ketika ada dari warga yang melihat Sultan keluar dari masjid. Dia kemudian bertanya padaku apakah itu engkau, maka kujawab ya. Aku juga mengabarkan bahwa engkau akan datang lagi Subuh ini. Aku rasa dari sanalah kabar tentang kehadiran engkau tersebar.”
“Cepat rupanya penyebaran kabar melalui pembicaraan warga,” celetuk Qadi Abdurrasid.
Nyai Ratu Aminah kembali memandang Sultan Abdullah. “Bayangkan kalau fitnah yang tersebar. Secepat ini jugalah ia akan sampai bahkan di telinga orang-orang yang jauh di kampung sana.”
Sultan Abdullah melihat Dayang Fatimah berjalan menuju masjid. “Nah, itu Dayang Fatimah. Ikuti dia menuju bagian jamaah perempuan.”
“Fatimah!” seru Nyai Ratu Aminah.
“Nyai Ratu?” tanya Dayang Fatimah yang terdengar di kesunyian dini hari itu.
“Kita jalan bersama hari ini. Pulangnya juga.” Nyai Ratu Aminah menggandeng tangan Dayang Fatimah dan membiarkannya membimbing menuju barisan perempuan di dalam masjid itu.
Sultan Abdullah dan Qadi Abdurrasyid pun memasuki masjid. “Jika ada Mangkubumi, dia pasti menghalangi warga yang mendekat padaku. Bagaimana dengan engkau, wahai Abdurrasyid?”
“Apa yang engkau kehendaki?” tanya Qadi Abdurrasyid balik.
“Aku mau engkau membiarkan mereka mendekat. Tidak semua dari mereka yang bisa bertemu denganku dan berani masuk dalam Keraton padahal sudah seharusnya terbuka untuk umum.”
“Baik, Abdullah.”
Sultan mulai memasuki masjid bersama Qadi Abdurrasyid. Sesuai dugaan, mereka mendekati Sultan karena bertemu dengan orang tertinggi di daerah itu sangat jarang. Sultan hanya diam dan duduk di saf terdepan. Masyarakat mulai kembali ke posisi masing-masing dan beberapa dari mereka turut duduk di saf terdepan.
Seorang anak kecil mendatangi Sultan. “Abdullah?” tanya Sultan mengenal anak kecil itu.
Kebetulan, ayahnya berada di samping. “Abdullah? Engkau tidak main di Keraton kan? Bukankah sudah Aba bilang jangan main di sana?” Abdullah hanya tunduk diam.
“Tidak apa, dia dan kawannya tidak membuat keributan yang mengganggu.” Sultan membela. “Bukankah dia juga selalu pulang untuk tidur siang jika bermain di pagi hari? Aku menduga dia juga tidur siang meski bermain di sore hari.”
“Engkau kalau mau berkunjung juga boleh,” ucap Sultan dengan nada bercanda.
Salat Subuh telah selesai. Sultan Abdullah diantarkan oleh Qadi Abdurrasyid ke luar. “Aku harap mereka selalu datang beramai-ramai seperti ini, tanpa memerlukan kehadiranku.”
Nyai Ratu Aminah dan Dayang Fatimah terlihat menunggu. Sultan Abdullah kemudian mendekati Nyai Ratu Aminah.
“Kalian bisa berjalan bersama, hamba berada di belakang Nyai Ratu saja,” ucap Dayang Fatimah malu-malu.
“Engkau bisa di sampingnya, Dayang Fatimah. Agar kami bisa melihat siapa yang mencoba melukai engkau lagi,” sahut Sultan Abdullah. Dayang Fatimah mengangguk dan berjalan di samping Nyai Ratu Aminah sesuai keinginan Sultan. Mereka berjalan bersama menuju rumah Dayang Fatimah.
Sesampainya di rumah, Nyai Ratu Aminah langsung mendekati Nyai Ratu Khadijah. “Uma.” Meski bukan ibu kandung bagi Nyai Ratu Aminah, tetap saja sebagai penghormatan untuk memanggil Nyai Ratu Khadijah sebagai ibunya.
“Aminah?” Nyai Ratu Aminah meletakkan tangan Nyai Ratu Khadijah di pipinya. Nyai Ratu Khadijah memicingkan matanya, memandang Nyai Ratu Aminah. Dugaannya benar bahwa itu memang dia. “Maafkan aku atas kesalahan yang pernah kulakukan pada engkau.”
“Maafkan Aminah juga, Uma.” Nyai Ratu Aminah mencium tangan Nyai Ratu Khadijah.
Sultan Abdullah dan Nyai Ratu Aminah berjalan pulang. “Apakah engkau ingin pergi ke pasar subuh? Siapa tahu engkau ingin membeli sesuatu.”
“Aku ingin melihat-lihat dahulu. Bisa saja ingin membelinya. Memangnya engkau membawa duit?” tanya Nyai Ratu Aminah.
“Ya. Jadi, engkau bisa membeli apapun yang diinginkan hari ini.”
“Benarkah?” Nyai Ratu Aminah terlihat bersemangat. Sultan Abdullah hanya tersenyum kecil.
Pasar subuh cukup sibuk pagi itu. Tidak seperti di masjid, banyak dari mereka yang hanya fokus jual beli sehingga tidak mengenali Sultan Abdullah dan Nyai Ratu Aminah. Lagipula, tidak ada yang memanggil mereka di sana.
Mata Nyai Ratu Aminah tertuju kepada pedagang gelang. Sultan Abdullah menyadari hal itu dan berhenti di depan meja. Pedagang itu memandang Sultan Abdullah dengan jelas namun biasa-biasa saja.
“Orang ini tidak tahu engkau sebagai Sultan,” bisik Nyai Ratu Aminah kepada Sultan Abdullah. Untungnya, pedagang itu tidak melihatnya.
“Itu berarti aku harus lebih sering ke sini,” balas Sultan Abdullah.
“Mau yang mana?” tanya Sultan Abdullah dengan suara jelas.
“Berapa harga yang itu?”
“Seratus dua puluh.”
Sultan Abdullah mencoba mengingat uang yang dia bawa. “Duitku tidak cukup. Bisakah lebih murah? Misalnya seratus pas?”
“Tidak bisa.” Pedagang itu kemudian memandang tangan Sultan Abdullah dan melihat sesuatu yang menarik. “Bagaimana kalau ditukar dengan cincin itu?”
Nyai Ratu Aminah sontak memandang Sultan Abdullah.
“Tidak akan. Seseorang yang kusayangi telah memberiku ini. Semahal apapun engkau ingin membelinya, aku tidak akan pernah menukarkannya.”
Nyai Ratu Aminah tersipu malu, tertunduk dengan senyuman.
“Baiklah. Aku juga tidak menjualnya.”
Sultan Abdullah hanya diam, tersenyum kecil, menunduk, dan membawa Aminah pergi. “Kita bisa membelinya lain kali.”
Pangeran Takbirullah masuk Balai Laki dengan santainya.
“Takbir! Dari mana saja kamu, ha?” Pangeran Tahir Lillah mencekik leher Pangeran Takbirullah sampai menyandarkannya di dinding.
Pangeran Takbirullah melawan dengan menjauhkan tangan Pangeran Tahir Lillah dari lehernya. “Aku di rumahku. Kenapa?”
“Apakah engkau pelakunya?”
“Pelaku apa? Aku tidak tahu maksud engkau.” Pangeran Takbirullah terlihat kebingungan.
“Jangan berdusta!”
Keributan itu didengar oleh Sarabumi yang berjalan mengawasi daerah keraton. Dia pun memasuki Balai Laki untuk melerai keduanya. “Sudah, jangan bertengkar. Jika Sultan tahu, kalian pasti sangat menyesal.”
“Aku yakin engkau orangnya!” ucap Pangeran Tahir Lillah marah sambil menunjuk Pangeran Takbirullah kemudian pergi menenangkan diri. Pangeran Takbirullah hanya menyeringai kemudian duduk di kursi.
“Apa yang Sultan lakukan kali ini?” tanya Mangkubumi penasaran melihat Sultan Abdullah yang kembali membongkar laci.
“Bukan apa-apa.”
“Pangeran Tahir Lillah ingin masuk.” Sarabraja menyampaikan.
Sultan Abdullah menutup laci dan kembali menuju takhtanya.
“Silakan masuk,” ucap Sultan Abdullah yang berhenti di depan takhta, tidak jadi duduk di atasnya.
“Takbirullah sudah kembali. Aku sudah menanyainya sendiri dan dia tidak mau mengaku.”
“Kenapa harus engkau yang melakukannya? Seharusnya biarkan saja Aba. Belum tentu dia mau bicara dengan Aba lagi setelah ini.” Pangeran Tahir Lillah menunduk karena merasa bersalah. “Minta maaflah kepadanya kemudian suruh dia ke sini. Jika dia terbukti menjadi orangnya, aku sendiri yang menghukumnya.”
“Takbir.”
“Apa?” Pangeran Takbirullah masih kesal atas tindakan Pangeran Tahir Lillah. Dia bahkan menyahut tanpa memandang.
“Maafkan aku. Tadi kemarahanku mengambil alih.”
“Ya. Tidak apa. Seharusnya engkau menjelaskan terlebih dahulu agar aku paham kenapa harus marah.” “Pelaku apa yang engkau maksud?”
“Kemarin, Dayang Fatimah dizalimi dua hari lalu.”
Pangeran Takbirullah tidak percaya. “Siapa yang melakukannya?” Dia kemudian berpikir sejenak. “Apakah engkau menganggap aku pelakunya?” Dia tertawa kecil.
“Kenapa harus aku? Karena aku tidak terlihat di keraton? Seharusnya itu sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa aku tidak melakukannya.”
“Tahir.” Pangeran Takbirullah menepuk paha Pangeran Tahir Lillah. “Jika engkau berkata ini lebih dahulu, aku akan membantu engkau mencarinya.”
“Benarkah?” tanya Pangeran Tahir Lillah. Pangeran Takbirullah mengangguk.
“Kalau begitu temuilah Aba di keraton. Aba menunggumu.”
“Aku ke sana segera.” Pangeran Takbirullah berdiri dan pergi.
Mangkubumi melihat Sultan Abdullah menghitung koin dan memasukkannya ke dalam pundi-pundi. Sultan Abdullah menyadari Mangkubumi memandangnya.
“Mangkubumi.”
“Ya, Baginda?”
“Apakah engkau masih penasaran apa yang kulakukan?”
Mangkubumi hanya diam.
“Aku melihat tabunganku dan menghitung duitnya. Apakah cukup jika aku membawanya ke pasar, aku rasa kali ini ya.”
“Engkau adalah sultan. Kenapa tidak menggunakan duit kerajaan saja?”
“Aku senang menjadi warga biasa,” jawab Sultan Abdullah sambil memandang Mangkubumi dengan senyuman. “Akhirnya, aku bisa berjalan bersama Aminah dengan tenang, nyaman.”
“Hamba turut senang melihat Baginda senang.”
“Pangeran Takbirullah ingin masuk.” Sarabraja menyampaikan.
“Pas,” ucap Sultan Abdullah selesai menghitung sambil menutup pundi-pundi dan menyembunyikannya. “Silakan.”
Pintu terbuka agar Pangeran Takbirullah masuk. “Aku sudah mendengarnya, Aba. Kezaliman yang diterima Dayang Fatimah memang tidak bisa dimaafkan. Tapi bukan aku pelakunya. Aku harus pulang ke rumah karena ada hal yang harus diselesaikan mendadak, tapi aku tidak bisa memberitahukannya karena dirasa terlalu pribadi.”
“Aku penasaran bagaimana Dayang Fatimah bisa terzalimi.”
“Nyai Ratu melihat kejadiannya ketika pulang ke Balai Bini setelah menemuiku. Seseorang menzalimi Dayang Fatimah di sana.”
Pangeran Takbirullah mengangguk, sudah paham apa masalahnya. “Apakah Aba mau mendengar pendapatku?”
“Sampaikan saja, Takbirullah.”
“Orang yang kucurigai adalah Sarabumi. Saat kami berkelahi, dia dengan mudahnya masuk untuk melerai. Aku curiga dia juga semudah itu masuk ke Balai Bini.”
“Mari kita tanyakan langsung kepadanya,” ucap Sultan. “Sarabraja! Panggil Sarabumi! Suruh dia ke sini.” Langkah kaki Sarabraja terdengar menjauh.
“Takbir.”
“Ya. Aba?”
“Panggil Tahir juga agar dia mendengar dan menyaksikan.”
“Baik, Aba.” Pangeran Takbirullah kemudian meninggalkan keraton.
“Mangkubumi.”
“Ya, Baginda?”
“Ada kemungkinan nanti semua tentang penyaksian. Aku percaya pada engkau karena aku sendiri juga Nyai Ratu melihat engkau keluar dari keraton. Engkau juga bersumpah tidak melakukannya. Bantu aku dalam hal ini.” Mangkubumi menunduk.
Beberapa saat kemudian, Sarabumi, Sarabraja, Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah memasuki keraton. Sultan melambaikan tangan kepada Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah. Sarabraja akan kembali ke luar.
“Tunggu dulu, Sarabraja.”
“Ada apa, Baginda?” tanya Sarabraja berhenti kemudian berpaling.
“Apakah engkau pelaku atas kezaliman terhadap Dayang Fatimah?”
“Bukan, Baginda. Baginda tahu sendiri bahwa hamba berada di sini.”
“Itu benar. Hari yang sama dengan Nyai Ratu datang ke sini, engkau mengantarkannya.” Sultan Abdullah mendengarkan. “Engkau boleh kembali.” Sarabraja menunduk kemudian pergi menuju pintu pembatas.
“Sekarang, giliran engkau Sarabumi. Apakah engkau pelaku atas kezaliman terhadap Dayang Fatimah?”
“Bukan, Baginda. Hamba telah mengaku pergi ke jamban pada saat itu.”
“Tapi siapa saksi bagi engkau, Sarabumi? Saksi bagiku adalah orang-orang di rumahku. Bagaimana dengan engkau, Tahir?”
“Saksi bagiku pada hari kejadian adalah Sarawasa sendiri yang kuminta bantuannya. Aku bersamanya saat itu.” Pangeran Tahir Lillah menjawab pertanyaan Pangeran Takbirullah.
“Aku memiliki saksi. Pangeran Tahir Lillah memiliki saksi. Siapa yang menyaksikan engkau?” Sarabumi terdiam.
Mata Sultan Abdullah mulai berkaca-kaca. “Aku menganggap diamnya engkau sebagai ya bagi pertanyaanku. Ditambah, aku tidak menyebut harinya tapi engkau tahu kapan waktunya. Padahal kemarin aku sudah membelamu, Sarabumi. Kenapa engkau harus melakukan ini kepada kami?” Sultan Abdullah menahan rasa yang sedang campur aduk antara kesedihan, kemarahan, dan kekesalan. “Mangkubumi!”
“Ya, Baginda.”
“Bawa dia ke pengadilan.” Suara Sultan Abdullah bergetar, begitu pula tangannya yang menunjuk Sarabumi. “Jika Dayang Fatimah mengaku melihat dan mengenali wajahnya, maka benar dia orangnya.
“Baik, Baginda.” Mangkubumi mulai menggiring Sarabumi.
Setelah mereka keluar, Pangeran Takbirullah memandang Pangeran Tahir Lillah kemudian berucap, “Kami juga ingin kembali, Aba.”
“Ya, silakan.”
“Tahir, mari kita kembali.”
Tanpa menunggu waktu lama, seorang Sarabumi baru diangkat pada hari itu juga.
“Meski engkau Sarabumi baru, aku tetap akan memanggilmu Sarabumi sebagaimana yang terdahulu.” Sultan Abdullah menepuk bahu Sarabumi. “Aku ingin engkau tidak melarang siapapun yang datang ke sini selama tujuan mereka baik.”
“Baik, Baginda.”
Sore itu, anak-anak ingin bermain lagi di keraton. Kebetulan, Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah sedang berada di luar.
“Sejak kapan anak-anak bermain di sini?” tanya Pangeran Tahir Lillah.
“Beberapa hari yang lalu,” jawab Sarabraja.
“Tapi, kenapa mereka main di pelantar?” tanya Pangeran Takbirullah.
“Sultan telah memperbolehkannya.” Pangeran Takbirullah mengangguk paham.
Anak-anak itu telah bermain gasing di pelantar keraton selama beberapa hari berturut-turut. Kebosanan bisa terlihat di wajah mereka. Pangeran Tahir Lillah kemudian bersemangat karena memiliki ide.
“Takbir.”
“Apa?” tanya Pangeran Takbirullah.
“Bukankah kita memiliki egrang?”
Pangeran Takbirullah turut bersemangat. “Benar juga.” Dia menepuk tangannya sekali.
“Di Balai Laki.” Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah mengucapkannya bersamaan.
“Aku yang akan mengambilkannya, karena tahu di mana letaknya. Kamu, Takbir, siapkan garisnya. Tunggu di sini, ya, adik-adik.”
Pangeran Takbirullah tersenyum kemudian mencari ranting jatuh untuk membuat garis di halaman. Satu garis untuk titik awal, satu garis untuk titik akhir. “Mari ke sini!” Pangeran Takbirullah melambaikan tangan kepada anak-anak untuk mengajak mereka mendekat.
Pangeran Tahir Lillah kembali dengan membawa dua pasang egrang. Dia terlihat kesusahan membawanya sehingga Pangeran Takbirullah harus berlari dan menyambut sepasang. Pangeran Takbirullah kemudian menghitung jumlah anak-anak.
“Empat nah, pas genap. Tapi kurasa ini terlalu besar? Apakah kalian bisa memainkannya?” tanya Pangeran Tahir Lillah.
Beberapa dari mereka mulai mencoba egrang itu. Pangeran Takbirullah kagum melihatnya. “Kalian jago rupanya. Bagaimana kalau kalian berlomba? Garisnya sudah siap.”
Sultan kebetulan keluar dan duduk di tangga untuk melihat hal itu. Pertandingan dimulai. Sistem eliminasi digunakan. Dua orang bertanding lebih dahulu, begitu pula kemudian. Tawa anak-anak memenuhi daerah keraton. Pada akhirnya, Abdullah memenangkannya.
Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah bertepuk tangan sebagai tanda memberi selamat kepada Abdullah yang telah memenangkan lomba kecil itu.
“Besok kalian hendak main apa?” tanya Pangeran Tahir Lillah.
“Bagaimana dengan Balogo?” sahut Pangeran Takbirullah.
Anak-anak semakin bersemangat meski kelelahan setelah bermain.
Sultan Abdullah tersenyum melihat Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah. “Kalian lebih akur daripada yang kuduga. Maafkan aku telah berburuk sangka kepada kalian,” ucap Sultan.
“Benarkah? Bagaimana kalau kita yang berlomba, Tahir?”
“Siap.”
Sultan hanya tersenyum kemudian menggeleng. Dia kemudian mengajak anak-anak agar mendekat. “Anak-anak.” Perhatian mereka langsung fokus kepada Sultan.
“Apakah kalian melihat Sarabumi sebelumnya pergi ke jamban saat datang untuk kedua kalinya ke sini?”
“Tidak. Sarabumi sebelumnya yang Sultan maksud masih berusaha untuk melarang kami karena kami dianggap berisik.” Abdullah mewakili dalam menjawab.
Sultan memandang Sarabraja. “Kenapa dia harus berbohong? Sebenci itukah dengan anak-anak? Tapi dia bertanya padaku tentang anak-anak.”
“Sudahlah, Aba. Aba tidak harus memikirkan itu lagi. Bukankah sekarang semua sudah tenang? Maka Aba harus tenang juga,” ucap Pangeran Takbirullah. “Sudah siap, Tahir?”
“Kalian tidak akan memperpanjang jarak antar garis?” celetuk Sultan.
Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah saling memandang.
“Kami akan bolak-balik,” sahut Pangeran Takbirullah. “Kamu menerimanya?” tanyanya kepada Pangeran Tahir Lillah yang dijawab dengan anggukan.
Mereka mulai bertanding. Anak-anak berteriak untuk memberi semangat. Seperti yang mereka sepakati, bolak-balik untuk memperpanjang jarak. Pertandingan seri. Mereka mencapai garis akhir pada waktu bersamaan.
Pangeran Takbirullah dan Pangeran Tahir Lillah yang tampak kelelahan turun dari egrang secara bersamaan. Mereka saling menatap kemudian Pangeran Takbirullah mengulurkan tangan terlebih dahulu. “Itu tadi pertandingan yang menyenangkan.”
Pangeran Tahir Lillah bernapas berat. “Besok, ikut Balogo juga?”
“Jika aku tidak sibuk atas urusan di rumah lagi, ya.”
Tangan Pangeran Takbirullah seolah ingin mengambil egrang dari Pangeran Tahir Lillah. “Sekarang, biarkan aku yang menaruhnya kembali ke Balai Laki.” Pangeran Tahir Lillah langsung menyerahkan tanpa ragu.
“Dari mana engkau mengambilnya tadi? Agar aku meletakkannya di tempat yang sama.”
“Samping lemari.” Pangeran Takbirullah mengangguk kemudian langsung pergi.