“Engkau tidak ikut kali ini?” tanya Sultan Abdullah kepada Nyai Ratu Aminah.
“Aku uzur.” Nyai Ratu Aminah terdengar sedih.
“Bersabarlah. Aku akan mengusahakan Dayang Fatimah agar menemani engkau hari ini.” Nyai Ratu Aminah mengangguk.
Pada akhirnya, Sultan Abdullah pergi sendirian ke masjid. Sepulang dari masjid, dia kembali pergi ke pasar subuh yang sebenarnya buka hampir setiap hari. Bedanya, hari ini tidak sesibuk kemarin. Sultan kembali menemui pedagang perhiasan. Dia masih ingat mana yang ditunjuk oleh Nyai Ratu.
“Baginda Sultan,” ucap pedagang itu sambil memandang Sultan Abdullah dengan malu.
Sultan berpura-pura tidak tahu. Dia sontak memandangnya dan melihat ke belakang. “Mana?” tanya Sultan.
“Bukan engkau?” Pedagang itu kebingungan. “Mereka berujar engkau Sultan. Bahkan kemarin Sultan juga membawa Nyai Ratu bersamanya.”
“Benarkah?” Sultan tersenyum kecil. “Aku ingin membeli yang itu.” Dia menunjuk sebuah gelang.
Pedagang di sebelahnya menyadari kehadiran Sultan. “Baginda Sultan.” Dia nampak sangat terkejut. “Belilah punya kami.” Pedagang itu menunduk. Pedagang gelang jadi tidak bisa berkata-kata.
“Berapa harganya kemarin? Seratus dua puluh?” Sultan mengeluarkan pundi-pundinya. “Aku beli dengan uang pas. Silakan hitung jika ragu. Aku akan tinggal dan melihat jika engkau menghitungnya, agar aku bisa bergegas kembali untuk menambahnya kalau kurang. Engkau juga bisa memiliki pundi-pundinya jika hendak.”
“Baginda tidak perlu membayarnya.” Pedagang itu menghalangi tangan Sultan Abdullah yang akan menyerahkan uangnya.
“Kenapa?” tanya Sultan dengan nada kesal. “Terima saja. Setahuku pedagang hanya mengubah harga barang jika harga bahan juga berubah, bukan karena orang tang membelinya.”
“Memangnya kenapa aku tidak perlu membayarnya? Engkau bisa saja menaikkan harganya jika tahu aku Sultan,” celetuk Sultan sambil mulai menenangkan diri. “Seratus dua puluh adalah harga yang pantas untuk gelang ini, aku mengakuinya.”
Pedagang itu mulai ragu-ragu. Dia menghitung uang yang diserahkan Sultan Abdullah kepadanya. “Pas,” ucap sang pedagang dan Sultan Abdullah bersamaan. Ternyata Sultan turut menghitung.
Pedagang itu pun menyerahkan gelang yang Nyai Ratu Aminah. “Saya beli kalung ini seharga seratus dua puluh dibayar tunai.”
“Saya jual.” Dengan akad jual beli tersebut, perdagangan telah menjadi sah. Sultan Abdullah menyimpan gelang itu dengan hati-hati selama perjalanannya pulang.
Sultan Abdullah menunjukkan gelang itu kepada Mangkubumi sebelum memasukkannya ke dalam laci. “Mangkubumi, mohon jagakan ini. Aku tidak mau engkau apalagi orang lain mengambil gelang ini. Aku akan memberikannya kepada Nyai Ratu di waktu yang tepat.”
“Jadi, selawas ini, Baginda hendak membeli itu?” Mangkubumi mengangguk karena kini paham apa kehendak Sultan Abdullah.
“Biarkan aku lewat!” Tiba-tiba suara Dayang Fatimah terdengar nyaring meski agak gemetar. Dia memarahi Sarabraja yang menghalanginya.
“Engkau telah mendengarnya, Sarabraja.” Pintu pun terbuka dengan cukup keras.
“Ada apa, Fatimah?” Wajah Dayang Fatimah terlihat begitu gelisah, Sultan Abdullah dapat melihatnya.
“Uma meninggal.” Kali ini, gemetar dari suara Dayang Fatimah terdengar jelas.
Sultan Abdullah terkejut. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Dia kemudian menunduk. “Aku yakin suatu hari pasti menyusulnya. Masalahnya, aku tidak tahu kapan waktunya.”
Sultan Abdullah kembali fokus kepada masalah. “Pihak kerajaan akan segera mengurusnya. Kami mengusahakannya secepat mungkin agar bisa disalat dan dikuburkan setelah Zuhur nanti.” Sultan Abdullah memandang Mangkubumi sebentar. “Sekarang, tenang dan bersabarlah. Engkau harus menemui Nyai Ratu sekarang karena mungkin dia tidak bisa datang ke rumah engkau untuk melayat hari ini. Aku yakin, bersamanya engkau lebih bisa melewati ini.”
Tabib Maymunah terus meminta maaf dengan tangisan. Dia menyesal karena merasa tidak merawat Nyai Ratu Khadijah dengan baik. Tabib Habibah mencoba menenangkannya.
Sementara itu, Dayang Fatimah berada dalam pelukan Nyai Ratu Aminah. Wajahnya terlihat muram karena kesedihannya. Tubuhnya terkulai lesu.
“Maymunah, berhentilah,” ucap Nyai Ratu Aminah. “Usaha engkau pasti sudah besar. Tapi Allah lebih sayang dengan Nyai Ratu daripada kita.”
“Terima kasih telah merawat kami, Maymunah, Habibah.” Mereka menunduk malu.
Suasana hening sesaat. “Maymunah,” panggil Nyai Ratu Aminah.
“Ya, Nyai Ratu.” Tabib Maymunah memandang.
“Pergilah kepada Dayang Ruqayyah. Aku merasa dia sedang tidak enak badan hari ini. Aku juga merasa ini kesalahanku karena terlalu keras padanya. Suruh dia untuk ke mari, agar aku bisa meminta maaf.”
Tabib Maymunah berdiri kemudian pergi ke dalam dan kembali membawa Dayang Ruqayyah bersamanya. Berdasarkan pemeriksaan pertama, Dayang Ruqayyah terbukti sakit. Tabib Maymunah mengatakan bahwa dahinya terasa lebih panas dibanding biasanya.
“Dayang Ruqayyah.” Nyai Ratu Aminah memanggil.
“Ya, Nyai Ratu.” Suara Dayang Ruqayyah terdengar lemah dan gemetar, berbeda dengan jawaban sama yang diucapkan Tabib Maymunah sebelumnya.
“Maafkan aku.” Nyai Ratu Aminah meletakkan tangannya di paha Dayang Ruqayyah. “Aku merasa terlalu keras pada engkau.”
“Jika engkau telah sembuh, mari kita jalan-jalan ke tempat yang engkau inginkan selama itu tempat yang baik.” Nyai Ratu Aminah mencoba menghibur Dayang Ruqayyah. Wajah Dayang Ruqayyah mulai terlihat lebih baik.
Sultan Abdullah membantu pemakaman Nyai Ratu Khadijah. Nyai Ratu Aminah, Dayang Fatimah, dan Dayang Ruqayyah hanya melihat dari kejauhan. Kali ini, Dayang Fatimah berhasil menahan tangisannya, karena telah. Dia juga terus dihibur oleh Dayang Ruqayyah yang mengusahakan dirinya hadir.
Pemakaman berjalan dengan lancar. Cukup banyak juga masyarakat yang berhadir. Mereka pun meninggalkan setelah acara selesai.
Anak-anak siap untuk bermain hari ini di keraton. “Mohon maaf, anak-anak. Hari ini, kita tidak bisa bermain dahulu. Kerajaan sedang bersedih.” Sarabumi Baru berusaha melarang mereka.
“Kenapa?” tanya Abdullah.
“Kalian belum tahu?” Sarabumi heran. “Nyai Ratu meninggal.”
“Engkau berdusta.” Sarabumi bingung mendengar sahutan Abdullah. “Itu Nyai Ratu,” tunjuk Abdullah. Sarabumi pun menengok ke belakang.
Nyai Ratu Aminah berjalan di halaman bersama Dayang Fatimah. Merasa dipanggil karena melihat tunjukan itu, Nyai Ratu Khadijah mendekati anak-anak. “Ada apa?” tanya Nyai Ratu Aminah.
“Sarabumi berkata Nyai Ratu meninggal. Tapi Nyai Ratu masih hidup.” Nyai Ratu memandang Sarabumi yang sekarang menunduk. Dia hanya tersenyum kemudian memandang Dayang Fatimah lebih lama.
“Uma-nya Dayang Fatimah juga Nyai Ratu,” ucap Nyai Ratu Aminah. Abdullah memandang Dayang Fatimah kemudian malu.
“Maafkan aku.” Ucapan yang sama diucapkan oleh Sarabumi dan Abdullah pada waktu yang hampir sama.
Nyai Ratu Aminah tersenyum. “Siapa nama engkau?” tanya Nyai Ratu Aminah pada anak itu.
“Abdullah.” Jawaban itu sempat membuat Nyai Ratu Aminah terkejut.
“Wah, bahaya kalau memanggilnya. Bisa-bisa, ada orang lain yang menoleh,” celetuk Dayang Fatimah. Ucapannya membuat Nyai Ratu Khadijah tertawa.
“Hendak mencobanya?” tanya Nyai Ratu Aminah. Dayang Fatimah langsung menggeleng. Nyai Ratu Aminah bersiap untuk mencobanya. Belum sempat memanggil nama, Sultan Abdullah berjalan sendirian. Nyai Ratu Aminah terdiam sambil terus memandang Sultan Abdullah. Dayang Fatimah menutup mulutnya karena menahan tawa.
“Kenapa, Aminah?” Sultan Abdullah bertanya kebingungan.
“Aku baru saja ingin menyebut nama engkau, tapi engkau datang lebih dahulu.” Sultan Abdullah tersenyum kecil mendengar jawaban Nyai Ratu Aminah.
Melihat anak-anak berkumpul di tempat yang sama, Sultan Abdullah langsung memandang Sarabumi. “Sarabumi.”
“Ya, Baginda,” jawab Sarabumi dengan suara lemah.
“Engkau melarang mereka?” Sarabumi menunduk. “Bukankah telah aku beritahukan kepada engkau?”
“Tapi kerajaan sedang bersedih.” Pernyataan Sarabumi ada benarnya juga. Sekarang, keputusan ada di tangan Dayang Fatimah.
“Tidak apa, kalian boleh bermain di sini. Lagipula, rumahku cukup jauh dari sini. Bukankah aku tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan?” Sarabumi terkejut mendengar jawaban Dayang Fatimah. “Aku telah berbagi kesedihan. Lagipula aku sudah selesai mengurus kematian Uma. Masih ada keluarga yang menjagakan karena mereka paham aku adalah Dayang yang harus menemani Nyai Ratu agar Nyai Ratu tidak turut sedih. Sekarang, aku ingin kita bahagia dengan melihat kebahagiaan anak-anak.”
“Kalian hendak main apa?” tanya Dayang Fatimah kepada anak-anak dengan senyuman.
“Balogo!” sahut mereka serentak sambil menunjukkan Logo dan Penapak masing-masing. Sultan Abdullah bersiap untuk menonton dari tangga lagi. Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah mendekat kepada anak-anak.
“Kalian sudah datang rupanya,” ucap Pangeran Tahir Lillah yang berjalan mendekat.
“Sudah siap untuk main?” tanya Pangeran Takbirullah yang juga bersamanya.
“Ya!” Anak-anak terdengar begitu bersemangat.
Pangeran Takbirullah melihat seorang remaja berlari ke arahnya. Melihat keramaian, dia hanya berbisik. “Hah? Lagi?” Pangeran Takbirullah terkejut, dia tidak percaya.
“Maafkan aku, tapi aku tidak bisa ikut kali ini. Masalah kemarin terulang kembali. Aku harus pulang dulu.” Nada Pangeran Takbirullah terdengar gelisah. Dia meninggalkan logo dan penapak miliknya.
“Itu adik engkau, wahai Pangeran Takbirullah?” Pertanyaaan dari Nyai Ratu Aminah hanya dijawab anggukan oleh Pangeran Takbirullah sebelum dia langsung pergi menjauh untuk pulang. Pangeran Tahir Lillah seolah ingin menahan namun Pangeran Takbirullah sudah jauh.
“Rahmatullah ternyata sudah besar,” ucap Nyai Ratu Aminah. “Apakah engkau tahu apa masalahnya, Pangeran Tahir Lillah?” tanya Nyai Ratu Aminah kepada Pangeran Tahir Lillah.
“Tidak. Dia juga tidak pernah berkisah tentangnya. Tapi, jika adiknya yang datang ke sini, itu pasti hal pribadi. Aku tidak mau mengganggunya,” jawab Pangeran Tahir Lillah. “Mari, kita menyiapkan permainannya terlebih dahulu. Aku akan menjaga miliknya.”
“Kenapa engkau sudah memakainya?” Pangeran Takbirullah agak marah. “Rahmatullah,” Dia menepuk bahu adiknya.
“Dempul sampan ini harus dikeringkan sehari semalam.” Pangeran Takbirullah mengusap sampan yang masih basah itu, karena baru dinaikkan dari pinggir sungai. “Seharusnya, sore baru engkau bisa memakainya. Kalau tidak, jadinya bocor bukan?”
“Tapi aku ingin pergi ke sungai.” Pangeran Rahmatullah memandang Pangeran Takbirullah.
“Untuk apa? Memancing? Kita bisa membeli ikan di pasar subuh.” Perdebatan mulai terjadi. “Jangan katakan engkau sebenarnya ingin bertemu dengan gadis itu lagi.” Pangeran Rahmatullah hanya diam.
“Rahmatullah, dengarkan aku. Engkau masih bagian dari keluarga kerajaan. Semua orang tahu seberapa cepat sebuah kabar tersebar, begitu pula fitnah. Jangankan engkau, aku juga telah mendengar bahwa aku dituduh ingin merebut takhta Aba. Untuk apa?”
“Sekarang, aku akan menambal lubang sampan ini lagi. Jangan lupa untuk membiarkannya kering sehari semalam. Kalau bisa, lusa baru dipakai. Itupun untuk memancing saja, bukan menemui gadis itu. Jika aku melihat engkau bertemu dengan gadis itu lagi, aku tidak akan mau menambalkannya lagi.” Pangeran Takbirullah terdengar kesal.
“Maafkan aku,” ucap Pangeran Rahmatullah. Pangeran Takbirullah hanya diam sambil mulai menambal ulang lubang di sampan itu.
“Apa yang tidak engkau bisa, Abdullah?” tanya Sultan. Lagi-lagi, Abdullah memenangkan permainan hari ini. Meski demikian, dia malu sehingga tidak menjawab pertanyaan Sultan.
Di lain sisi, wajah kebahagiaan sudah bisa terlihat pada Dayang Fatimah. Nyai Ratu Aminah pun turut gembira. Sementara itu, Pangeran Tahir Lillah terlihat bersedih.
“Engkau tidak ikut bermain, Aba?” Sultan bertanya kepada Pangeran Tahir Lillah.
“Tidak, Aba.” Pangeran Tahir Lillah yang rencananya ingin ikut bermain hari ini, tidak jadi karena Pangeran Takbirullah tidak jadi ikut.
“Bagaimana kalau sekarang pertandingan antara kita berdua?” Pangeran Tahir Lillah memandang Sultan Abdullah karena pertanyaan tersebut. “Jangan mengalah. Mari kita bertanding dengan serius.”
Permainan Balogo yang tadinya bertujuan sekadar untuk menghibur sekarang menjadi pertandingan sengit antara Sultan Abdullah dan Pangeran Tahir Lillah. Pada akhirnya, pertandingan dimenangkan Sultan Abdullah. Bahkan Nyai Ratu Aminah tidak percaya Sultan Abdullah sehebat itu dalam bermain. Kini Sultan Abdullah mengambil waktu istirahat dengan kembali duduk di tangga.
“Kalian sudah selesai bermain?” tanya Pangeran Takbirullah yang baru saja kembali. Dia tersenyum kecil namun terlihat agak kecewa.
“Tidak juga. Kami sedang mengadakan pertandingan kecil.” Nyai Ratu Aminah yang saat itu duduk di samping Sultan Abdullah menjawabkan.
“Benarkah?” Pangeran Takbirullah mulai semangat. “Tahir?” Dia memandang Pangeran Tahir Lillah.
“Tentu. Aku sudah menunggu engkau.” Pangeran Tahir Lillah menyeringai, pertanda pertandingan sengit lainnya akan terlaksana.
Benar saja, pertandingan benar-benar menegangkan. Anak-anak yang turut bergabung malah tereliminasi lebih dulu, tapi itu malah membuat mereka semakin bersemangat menonton. Pada akhirnya, Pangeran Takbirullah memenangkan pertandingan. Dia pun berjabat tangan dengan Pangeran Tahir Lillah.
“Engkau tidak mengalah bukan?” celetuk Pangeran Takbirullah.
“Tentu saja. Aku sudah berusaha,” sahut Pangeran Tahir Lillah. Mereka kemudian pergi dari lapangan pertandingan untuk istirahat.
“Bagaimana dengan kalian?” tanya Sultan Abdullah memandang Nyai Ratu Aminah. Wajah mereka berhadapan, yang membuat Sultan Abdullah tersenyum. Nyai Ratu Aminah memandang Dayang Fatimah.
“Hamba tidak segan melawan Nyai Ratu.” Mata Dayang Fatimah terlihat memelas.
“Aku akan menyuruh engkau melawan Dayang Ruqayyah. Tapi dia sedang istirahat sekarang untuk pemulihan. Jadi, hanya kita sesama perempuan di sini.”
“Bagaimana dengan pakaian Nyai Ratu? Tanah akan mengotori nanti.” Dayang Fatimah memandang pakaian Nyai Ratu.
“Aku akan menyucinya sendiri. Ingatkan jika aku lupa.” Nyai Ratu mulai berdiri untuk memasuki lapangan permainan.
Kali ini, pertandingan berjalan lebih santai. Anak-anak memilih duduk di tanah meski sudah diperingatkan oleh Sultan bahwa itu akan mengotori pakaian mereka. Dengan cerdasnya, beberapa di antara mereka mencari daun layu yang sudah jatuh ke tanah sebagai alas. Angin sepoi-sepoi juga berembus saat itu.
Pada akhirnya, Nyai Ratu memenangkan pertandingan. Anak-anak, juga Sultan bertepuk tangan atas kemenangan tersebut. Hal itu membuat Nyai Ratu tersenyum.
Anak-anak pun bersiap untuk pulang. Kali ini, mereka mengucapkan terima kasih secara bersamaan karena telah diizinkan bermain di daerah keraton selama beberapa hari terakhir. Karena sudah mulai segan, mereka memutuskan untuk tidak pergi ke keraton pada beberapa hari ke depan. Ditambah fakta bahwa hari ini kerajaan sedang bersedih, mereka merasa bersalah karena tetap bermain padahal hanya ingin menepati janji.
Setelah mereka pergi, Pangeran Takbirullah mendekat kepada Sultan Abdullah. “Aba, aku ingin bicara tapi hanya kita berdua.” Nyai Ratu Aminah mulai bingung.
“Naiklah, kita bicara di dalam,” ajak Sultan Abdullah.
“Takbirullah.” Nyai Ratu Aminah menghentikan mereka. Sepertinya, Nyai Ratu Aminah tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Ada apa sebenarnya?”
Pangeran Takbirullah memandang Sultan Abdullah. “Tanyakan saja pada Aba nanti,” jawab Sultan. Dia benar-benar tidak mau menjawabnya langsung.
Sultan Abdullah dan Pangeran Takbirullah sudah tiba di ruangan utama. “Mangkubumi, keluarlah sebentar. Kami hendak membicarakan hal pribadi,” ucap Sultan Abdullah. Mangkubumi mengangguk kemudian pergi.
“Apa yang sebenarnya ingin engkau bicarakan, wahai Pangeran Takbirullah?” tanya Sultan Abdullah.
Pangeran Takbirullah sebenarnya ragu-ragu ingin menyampaikannya, tapi dia mulai memberanikan diri. “Bagaimana kalau menurut Aba, Pangeran Rahmatullah kita nikahkan saja?”
“Apa alasan engkau?” Sultan Abdullah agak terkejut mendengar pertanyaan itu.
“Rahmatullah tidak bisa melepaskan pandangan dari seorang gadis. Bahkan, hari ini dia ingin menemuinya.” Pangeran Takbirullah mulai serius.
“Mengapa engkau begitu yakin?” tanya Sultan Abdullah.
Pangeran Takbirullah menghela napas. “Aku akan cerita dengan Aba apa masalah kemarin jadi tidak ada di keraton.”
“Sampan yang biasanya kami gunakan untuk memancing bocor. Jadi, kemarin aku menambal lubangnya dengan dempul. Aku sudah memperingatkan Rahmatullah agar membiarkannya kering selama sehari semalam, tapi dia tidak mau mendengarkannya. Akhirnya, dia tetap membawa sampan itu dengan alasan untuk pergi ke sungai karena biasanya memancing dan bocor lagi. Makanya dia tadi bahkan datang ke keraton hanya untuk memintaku menambalkannya. Padahal kami bisa saja juga menjadi pembeli di pasar subuh untuk membeli ikan.”
Nada Pangeran Takbirullah terdengar kesal, namun dia menahannya. “Kenapa aku yakin? Dia memandang gadis itu terus. Bahkan kami hampir tercebur karenanya.” Pangeran Takbirullah memandang Sultan Abdullah.
“Aku juga tidak percaya dengan alasannya pergi ke sungai meski untuk memancing. Dia bahkan tidak mengelak bahwa ingin bertemu dengan gadis itu dan hanya meminta maaf.” Mata Pangeran Takbirullah terlihat serius. “Kalau dia terus dekat dengan gadis itu, bukankah dia masih keluarga kerajaan? Bagaimana dengan fitnah masyarakat nanti? Aba pasti akan dituduh tidak melarang hal itu terjadi.” Sultan Abdullah mengangguk.
“Tapi bukankah dia masih muda? Bagaimana dengan pekerjaannya untuk mahar nanti?” Sultan Abdullah bertanya. Dia mulai mempertimbangkan untuk keputusan nantinya.
“Menurutku, dia sudah siap untuk dinikahkan. Jika Aba melihatnya, Aba mungkin sadar bahwa dia sudah besar. Selama ini, dia juga sering mencari ikan untuk dijual ke pasar subuh. Itulah alasanku mengapa kami juga ingin menjadi pembeli.” Sekarang Sultan Abdullah mulai paham.
“Baguslah engkau telah berkisah kepadaku. Kegiatan engkau meski sederhana seperti itu, telah mengamankan engkau dari fitnah menzalimi Dayang Fatimah beberapa hari lalu. Aku juga ingin menegaskan bahwa keluarga kerajaan memiliki hak untuk hidup sebagaimana masyarakat biasa.” Sultan Abdullah tersenyum kecil
“Suruh Rahmatullah datang ke Keraton besok. Aku ingin bertanya dengannya langsung. Jika dia memang bersedia untuk dinikahkan, maka kita harus menyegerakannya.” Sultan Abdullah bersiap untuk duduk di takhta.
“Bagaimana dengan engkau?” celetuk Sultan Abdullah.
“Suatu hari nanti,” sahut Pangeran Takbirullah sambil pergi. Sultan Abdullah hanya tersenyum mendengarnya.