arrow_back

Konsep

arrow_forward

“Terima kasih telah datang,” sambut Sultan Abdullah kepada Pangeran Rahmatullah dari singgasananya.

“Ada apa, Aba?” tanya Pangeran Rahmatullah agak kebingungan.

“Apakah Takbirullah sudah memberitahukan masalahnya kepada engkau?” tanya Sultan Abdullah balik.

“Belum, Aba. Dia hanya memberitahu bahwa Aba memanggilku untuk ke keraton hari ini,” jawab Pangeran Rahmatullah polos.

“Jadi, engkau belum tahu?” Pangeran Rahmatullah hanya mengangguk menjawab pertanyaan itu. “Baguslah, kita akan mencari tahu kebenarannya hari ini.”

“Ceritakan dari sudut pandangmu, kegiatan harian menggunakan sampan, agar aku tahu mengapa hal itu penting sehingga kakak engkau juga tidak berada di Balai Laki dengan alasan memperbaikinya.” Sultan Abdullah memulai klarifikasi atas pernyataan Pangeran Takbirullah.

Pangeran Rahmatullah masih kebingungan, namun dia tetap berusaha untuk menjawabnya. “Setiap sore, aku mencari ikan, beberapa darinya untuk dimakan bersama dan jika banyak yang tertangkap akan dijual di Pasar Terapung pada pagi hari.”

“Tidak ada alasan lain?” tanya Sultan Abdullah memastikan.

“Apa maksud Aba?” Pangeran Rahmatullah memiringkan kepalanya.

Belum sempat menjawab, Mangkubumi yang tadinya diminta keluar oleh Sultan masuk dengan membawa sesuatu di tangannya. “Lalawangan Kuin mengirimi kita surat.” Mangkubumi menunjukkan surat yang dikirimi oleh kepala daerah Kuin.

“Sini, aku ingin membacanya.” Sultan Abdullah mengulurkan tangannya. Mangkubumi menyerahkan gulungan kertas itu. Sultan pun membukanya. “Sepertinya aku perlu membaca ini dengan lantang,” ucap Sultan setelah membaca sekilas.

“Yang terhormat, Baginda Sultan. Kami, warga Kuin ingin memberi kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya, orang-orang Belanda telah tiba di Pasar Terapung. Kabar buruknya, kami mendengar bahwa mereka bukan berniat untuk berdagang tapi menguasai seluruh perdagangan. Para pedagang di Pasar Terapung telah mengeluh dengan sistem baru yang mereka lakukan. Kami memohon pertolongan Baginda Sultan. Hormat kami, Warga Kuin.” Sultan Abdullah pun menggulung kembali surat itu dan mengembalikannya kepada Mangkubumi.

“Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi, namun juga bersyukur karena masyarakat Kuin telah melaporkan ini melalui Lalawangan.” Sultan Abdullah menanggapi.

“Mangkubumi, siapkan kertas untukku menulis surat,” perintah Sultan Abdullah. “Baiklah, Baginda.” Mangkubumi langsung mempersiapkan.

Pangeran Rahmatullah terlihat gelisah. “Ada apa, Rahmatullah?” tanya Sultan Abdullah menyadari hal itu.

“Bukan apa-apa,” sahut Pangeran Rahmatullah, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya.

“Aku mendengar dari kakak engkau bahwa engkau tertarik dengan seorang gadis. Ketika dia ikut mencari ikan dengan engkau, dia menyadari bahwa engkau tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Apakah itu gadis Belanda?” Pangeran Rahmatullah hanya diam dan menunduk.

“Jika itu benar, sekarang engkau hanya punya dua pilihan yang kutentukan. Tinggalkan dia, atau bawa sekalian ke sini. Jika engkau membawanya, kita lihat lebih cepat yang mana dibanding Lalawangan Kuin.”

“Ini kertasnya, Baginda.” Mangkubumi menyerahkan kertas kosong juga tinta dan cap untuk Sultan.

“Kepada Lalawangan Kuin. Perintahkan perwakilan dari orang-orang Belanda itu agar datang ke keraton. Beritahukan bahwa Sultan ingin berbicara dengan paling tidak salah satu dari mereka.” Sultan Abdullah menulis sambil membaca dengan lantang. Setelah puas dengan surat itu, Sultan pun menambahkan cap pada surat itu dan membiarkan Mangkubumi mengirimkannya.

“Sepertinya tidak ada lagi yang ingin aku bicarakan.” Sultan menyandarkan punggungnya. “Rahmatullah, engkau boleh pulang. Pikirkan ini dengan baik-baik.”

“Baiklah, Aba.” Pangeran Rahmatullah menunduk seiring pulang.


“Bagaimana?” Pangeran Takbirullah menanyakan keadaan adiknya yang terlihat murung.

“Jadi, engkau mengadukanku rupanya?” tanya Pangeran Rahmatullah balik. “Aku membenci engkau, Takbirullah!”

“Kenapa? Ini demi engkau sendiri dan kebaikan kita semua. Kabar mengenai adab Belanda yang baru saja datang telah sampai kepadaku. Aku yakin engkau juga telah mendengarnya.” Pangeran Takbirullah terdiam karena dia benar-benar telah mendengar kabar itu, bahkan langsung dari sultan yang membacakan surat saat dia di keraton tadi. “Memangnya ada apa?”

Pangeran Takbirullah hanya bisa bersedih. “Aba menyuruhku antara meninggalkannya atau membawanya ke keraton.”

“Makanya, sudah kuperintahkan engkau agar tidak terlalu memandang gadis itu, tapi engkau tidak peduli! Bagaimana rasanya karindangan?” Pangeran Takbirullah menanyakan tentang rasa kasmaran yang dialami adiknya. “Jika engkau menanyakan pendapatku, akan lebih baik jika engkau membawanya ke keraton. Siapa tahu Aba akan menerima dan engkau dapat menikahinya segera. Aku sangat mendukung engkau.” Pangeran Takbirullah tersenyum.


Mangkubumi mendekati Sultan untuk mengabarkan bahwa perwakilan langsung dari Jenderal VOC telah datang.

“Apakah kalian memahami bahasa Melayu?” tanya Sultan. Keduanya mengangguk.

“Baiklah, siapa nama engkau?”

“Charles, Baginda Sultan.” Dari nada bicaranya, sudah terdengar dia memalsukan kesopanannya.

Pangeran Rahmatullah kembali ke keraton. Dia membawa seorang gadis berambut pirang. Gadis itu terlihat malu-malu karena terus menunduk dan menaruh kedua tangannya di depan. “Aba, aku memenuhi janjiku.” Pangeran Rahmatullah memandang gadis itu. “Namanya Bella. Aku bertemu dengannya di sungai, ketika dia mendayung saat senja. Perkenalan itu hanya sebentar, namun setelah pertemuan pertama kami menjadi lebih sering bertemu.”

“Anakku?” Charles terkejut. Dia tidak menyangka Bella akan ada di keraton juga.

“Bella adalah putri engkau?” tanya Sultan Abdullah sambil tersenyum. Charles memandang Bella yang sama-sama diam.

“Kenapa engkau ada di sini?” tanya Charles memandang Bella dengan sinis. Bella masih diam dengan terus menunduk.

“Jelaskan kedatangan engkau ke mari, Charles.” Pandangan Charles sontak beralih ke Sultan Abdullah setelah namanya dipanggil.

“Para pedagang di Batavia mengatakan bahwa Banjar memiliki intan yang bagus dan kami dari Belanda ingin melihatnya.”

“Lantas, engkau tidak mengetahui putri engkau ada di sini?” Charles terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu.

“Aku hanya terkejut, Baginda Sultan. Tidak kusangka dia ada di sini, karena aku telah mencarinya.” Sultan hanya tersenyum kecil.

“Nanti kita akan bicara, tapi hanya berdua. Sebelum waktu itu tiba, aku akan memperbolehkan engkau berdagang di Pasar Terapung juga Pasar Subuh selama mematuhi peraturan yang berlaku di sini.”

“Terima kasih, Baginda Sultan.” Charles menunduk kecil.

“Mari pulang,” ajak Charles pada Bella. “Kita harus bicara.” Singkat cerita, Charles dan Bella pun pulang.

“Aku tidak menyangka hal itu akan terjadi.”


Malam hari tiba. Sebagaimana biasa, setelah semua urusan selesai, Abdullah berbaring bersama Aminah di kasurnya. Tapi malam itu, Aminah membuat satu permintaan. Dia ingin jalan-jalan malam itu.

“Kenapa engkau ingin berjalan di malam hari?” tanya Abdullah.

“Apakah engkau melarangku?” Aminah lebih cepat cemberut dari biasanya kali ini.

“Tidak, aku tidak melarang engkau selama kita berjalan bersama. Aku hanya bertanya.”

“Aku hanya ingin.”

Abdullah tersenyum kecil. “Baiklah. Siapkan diri engkau. Pakailah pakaian yang lebih tebal mengingat cuaca di luar bisa saja lebih dingin.”


Aminah berjalan bersama Abdullah dengan sebuah lentera di tangannya. “Ke mana yang ingin engkau tuju?”

“Sungai. Aku mendengar banyak yang mengatakan bahwa akhir-akhir ini sungai lebih indah untuk dipandang saat malam hari.”

“Itu rupanya alasan sesungguhnya sehingga engkau ingin jalan-jalan.” Abdullah kembali tersenyum kecil. “Ucapkan saja seharusnya.”

Mereka pun tiba di Sungai Kuin. Di sana ada beberapa orang yang turut memandangi sungai. Ada pula yang memancing. Abdullah memahami keindahannya. Pantulan sinar bulan purnama di air yang hampir tidak berombak di malam itu. Ditambah kilauan dari sebuah kapal besar yang tertambat di pelabuhan.

Tanpa diduga, Mangkubumi juga ada di sana dan mengenali mereka. “Sul—”

“Sst!” Sultan mengisyaratkan diam dengan meletakkan telunjuk kanan di depan bibirnya.

“Apa yang Sultan lakukan di sini?”

Abdullah tidak menjawab, malah bertanya balik sambil menunjuk kapal yang menarik perhatian banyak orang itu. “Kapal milik siapa?” tanya Abdullah.

“Itu kapal Belanda, Baginda.”

“Apa yang mereka lakukan?” tanya Abdullah.

“Mereka di sana melakukan hiburan.” Mangkubumi pun menjelaskan dengan rinci. Abdullah nampak agak terkejut, namun juga seperti sudah menduga hal itu.

“Ah, jadi itu yang mereka lakukan? Aku akan menuntaskan semuanya segera.”

Komentar