arrow_back

Konsep

arrow_forward

Senin, 1 November 2021 - Silaunya matahari memberikan rasa hangat ke mata seorang pria yang sedang berbaring di kasurnya. Menyadari hal itu, dia langsung membuka mata lebar-lebar dan menyingkap selimutnya. Pria yang bernama Rama itu bergegas pergi ke kamar mandi.Tidak lama setelahnya, berbagai persiapan dilakukan termasuk mengunci agar tempat yang dia tinggali sementara, indekos terutama kamarnya aman. Rama pun pergi menggunakan motornya dan akhirnya tiba di tempat kerjanya.

Sebagai pekerja yang serabutan, mencuci motor hanya salah satu yang dia lakukan agar mendapat uang demi kehidupannya. Tidak berlangsung lama setelah dia memarkir motornya, seorang pria mendekat dengan wajah agak marah. “Ini sudah ke sekian kalinya kamu terlambat, Rama.”

“Maafkan saya, Pak Bos.” Rama menunduk.

“Apapun alasanmu, aku tidak mau mendengarkannya lagi.” Pria itu melemparkan lap dan Rama menangkapnya. “Mulailah bekerja.” Dia menggeleng sambil pergi sementara Rama mulai mengerjakan sebuah motor untuk dicuci.


Waktu istirahat kerja tiba, dan itu sudah lewat tengah hari. Rama masih beruntung karena kebaikan Bos tidak berubah meski keterlambatannya hari ini. Dia dan pegawai lain makan bersama. Tidak jarang mereka berbincang tentang banyak hal.

Rama memperhatikan jam tangan di pergelangan kirinya. “Pak Bos tahu kan saya kuliah?” Bos mengangguk sambil menyuap makanan. “Saya ada jadwal sore ini, jadi izin untuk tidak bekerja dulu.”

“Ya, aku paham. Makanya, lain kali jangan telat lagi. Kasian yang lain bangun pagi udah kerja capek-capek.”

“Siap, Bos.” Rama menghabiskan makanannya dan bergegas pulang.


Di rumahnya, Rama menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kuliah, salah satunya adalah laptop yang akan dia masukkan ke dalam ransel. Ini adalah pertama kalinya dia membawa laptop. Dia agak takut dan memiliki firasat yang kurang enak, tapi jika tidak dibawa dia merasa akan ada yang lebih susah untuk dihadapi. Rama meyakinkan dirinya sendiri untuk membawa laptop itu pergi bersamanya ke kampus.

Setibanya di kampus, sudah banyak mahasiswa yang masuk di kelas. Rama masuk perlahan dan dia juga terlambat hari itu. Dosen hanya tersenyum atas hal itu.

Singkat cerita, perkuliahan selesai. “Hari ini, Bapak memberikan kalian tugas. Tidak terlalu susah, hanya menjelaskan ulang secara singkat apa yang telah Bapak sampaikan barusan. Kalau bisa, buat dalam bentuk dokumen dan kirim ke Bapak untuk diperiksa.”

“Demikianlah yang dapat Bapak sampaikan hari ini. Semoga dapat bermanfaat. Sampai jumpa di pertemuan berikutnya.”

Semua mahasiswa keluar dari kelas, kecuali Rama yang memiliki pemikiran lain. “Baiklah, aku harus menyelesaikannya sekarang.” Rama mengeluarkan laptop dari ransel dan mulai mengerjakan tugas. Pada akhirnya, Rama keasyikan tanpa menyadari waktu terus berjalan dan malam semakin gelap. Hanya lampu ruangan dan lorong yang menyala, menerangi Rama yang sendirian.

Terdengar langkah kaki dari lorong mendekat. Rama menyadari itu dan jantungnya mulai berdegup kencang. Pintu ruangan terbuka perlahan. Dia meneguk liurnya.

“Nak, kenapa kamu masih di sini?”

Rama agak lega. Dia menghembuskan napas berat. Itu hanya Dosen.

Menyadari Rama yang duduk sambil menatap laptop, beliau tersenyum kecil. “Bapak tidak menyuruhmu untuk menyelesaikan malam ini juga. Sebentar lagi kampus juga akan ditutup untuk keamanan. Pulanglah.”

“Baik, Pak.” Rama memastikan dokumen yang tadi dia kerjakan berhasil tersimpan baru mematikan laptopnya dan memasukkan ke dalam ransel. Dia juga mematikan lampu ruangan sehingga tersisa lampu lorong yang sebagaimana kebiasaan, akan dimatikan oleh kemanan.

Dia mencium tangan Dosen dan berpamitan. Mereka berjalan bersama. Canggung, tapi Rama membuka topik pembicaraan. “Bapak tidak pulang juga?”

“Ya, aku mau pulang sekarang, tapi melihat lampu satu ruangan menyala, aku tahu pasti ada orang di sana.”

Mereka berpisah sejenak, sama-sama mengambil motor dan bertemu lagi di gerbang. Rama mengangguk kepada Dosen, disambut dengan ucapan, “Hati-hati di jalan.”“Bapak juga.” Arah keluar mereka berbeda, tapi tujuan yang sama, pulang.


Larutnya malam kian membuat jalanan menyepi. Rama berkendara sendiri dengan motornya sepulang dari kuliah di kampusnya. Setelah semua yang terjadi hari ini, dia terus mengeluhkan nasibnya, menyesali pilihannya yang sekarang.

Rama berhenti mendadak di tengah jalan. “Maaf. Jalan ditutup. Ada pengerjaan proyek.” Dia membaca tulisan spanduk yang menghalangi jalan pulang kebiasaannya. Satu-satunya pilihan sekarang adalah memutar balik dan mencari jalan lain.

Jalan yang dipilih oleh Rama adalah satu-satunya jalan alternatif untuk sampai ke indekos. Masalahnya, daerah itu hanya sedikit dihuni oleh warga. Antar rumah berjarak sekian meter, bahkan ada yang cukup jauh.

Jalan yang sepi dan gelap, seolah membuat lampu depan motor Rama menjadi satu-satunya penerang, suara mesin yang menderu dan ban yang melindas kerikil menjadi pemecah keheningan. Sampai dia melihat cahaya terang di belakang melalui spion sebelah kanan. Pakaian yang terlihat asing, tapi masih dapat dikenali agak membuat Rama gugup.

Motor di belakangnya melaju kencang, menyalip dan menghentikan Rama. Salah satu dari dua orang yang berada di motor itu turun. Wajahnya ditutupi oleh topeng dan mulai mengancam.

“Serahkan tasmu dan apapun yang ada di dalamnya.”

“Sudah kuduga, Begal,” pikir Rama. “Tidak akan!” ucap Rama dengan lantang.

Para begal itu mulai menyerang. Rama berusaha melawan sekuat tenaga, tapi itu tidak cukup karena keadaan dua lawan satu dan dia belum pernah berlatih bela diri apapun sebelumnya.

Pada akhirnya, dia terjatuh. Ransel Rama direbut dari punggungnya dan diganti dengan sebuah tusukan pisau. Dia ditinggal begitu saja, terkapar di jalan. Dua orang pria itu pergi begitu saja sambil membawa ransel Rama kabur. Rama sangat ingin meronta, tapi tenaganya mulai menghilang. “Laptop–tidak, tugasku….”

Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah orang berlari di jalan yang penuh kerikil itu. Dia mendekati Rama. “Telah terjadi pembegalan di Jalan Curut. Kami memerlukan bantuan segera.” Rama mulai tidak sadarkan diri. Pandangan matanya yang kabur diarahkan untuk melihat pria itu. “Pakaian biasa. Tapi laporannya…. Polisi?” Dia hanya bisa bertanya dalam pikiran, tanpa bisa berucap.

“Bertahanlah, anak muda.” Pria itu mencoba menghentikan pendarahan. “Sial, ternyata laporan warga selama ini benar.” Mata Rama yang tadinya sayup-sayup terbuka mulai tertutup secara perlahan.


“Rama, bangun. Ini sudah pagi.”

Mata Rama masih terpejam, tapi dia mendengar suara pelan itu. “Tunggu, bukankah itu suara ibu?” Dia memegang kepalanya, sakit akibat bangun yang agak dipaksakan.

“Bukankah hari ini adalah hari pertama sekolah di SMA? Kamu bisa terlambat.”

“Itu benar-benar ibu!” Rama menyingkap selimut yang berbeda dari tempat tidur indekosnya dan semakin kebingungan dengan segala hal yang terjadi sekarang. Dia mulai mengumpulkan kesadarannya.

“Jika ini benar-benar rumahku yang dulu, aku masih ingat letak kalenderku. Di samping kanan pintu. Aku menggantinya per hari sebelum tidurku agar tahu hari dan tanggal aku bangun.” Pandangan Rama sontak beralih.

“Senin, 17 Juli 2017.” Rama terdiam sejenak. Kata-kata berhenti keluar dari mulutnya, bahkan tidak terlintas di kepala. “Ini benar-benar hari pertama sekolah di SMA.”

“Dan ini adalah kesempatanku, untuk menggabungkan keinginan dan kemauanku sendiri, tanpa harus melibatkan keputusan orang lain juga memperbaiki semuanya.”

Komentar