Senin, 17 Juli 2017 - Rama dengan percaya diri keluar dari kamarnya. Dia mulai melakukan rutinitas paginya, dimulai dengan mandi. Singkat cerita, Rama yang mengenakan seragam SMA duduk bersama dengan ibunya, makan berlesehan dengan makanan di meja bundar.
Rama makan sambil melamun dan menunduk. Berbagai pikiran terus melintas di kepalanya. “Ah, sudah lama sejak terakhir kali aku memakai seragam ini. Tapi entah kenapa, aku tidak terlalu merindukan SMA. Aku lebih merindukan….”
“Ibu,” Rama menatap wajah ibunya, “bisakah kita bicara?” Rama tersenyum kecil seraya berpikir, “Aku benar-benar menyesali pilihanku untuk merantau.”
“Apa yang ingin kamu sampaikan?” sahut Ibu Rama sambil menyuap makanan perlahan.
“Ini adalah hari pertamaku sekolah di SMA bukan?” Tentu saja Rama berbohong, karena dia sudah pernah mengalaminya sebelumnya. Bedanya, dia mulai basa-basi dan menanyakan hal yang belum dia tanyakan. “Apakah ibu ada memiliki saran untukku, memilih jurusan yang mana?”
Ibu Rama berhenti sejenak dari makannya. “Jujur, ibu sama sekali tidak paham. Tapi saran ibu, jika kamu menyukai sesuatu dan menurutmu mampu untuk melakukannya, pilih saja yang itu.”
Rama kagum mendengar jawaban ibunya. “Benar saja, andai aku bertanya saat itu.” Rama meneruskan makannya sambil memandang rumah yang sekian tahun dia tidak pernah kunjungi.
Pandangannya berhenti di satu arah. Sebuah foto dengan pigura yang tergantung di dinding. Itu adalah foto keluarga Rama, dengan anggota Rama dan kedua orang tuanya. Akhirnya Rama ingat, ayahnya sudah tiada, bahkan sebelum dia memasuki SMA. Dia menghela napas. “Jika Ayah masih ada, aku akan menanyakan hal yang sama.”
Ibu Rama yang mendengar ucapan itu terdiam sejenak. “Aku yakin dia akan mengatakan hal sama seperti yang ibu katakan.”
Rama pura-pura mengangguk, dia memikirkan hal lain. “Aku berharap bisa kembali lebih jauh dari sekarang. Tapi setidaknya, ini sudah cukup untuk memulai memperbaiki hidup.”
Akhirnya, Rama selesai makan kemudian berpamitan dengan ibunya dan pergi ke SMA.
Dengan menggunakan sepeda, Rama dengan kekagumannya menengok jalanan. Sudah lebih dari tiga tahun dia tidak melihat dan pergi ke kota ini. Hanya saja, dia kembali ke masa lalu dan apa yang dia lihat sekarang benar-benar sama seperti dulu.
Ingatannya mulai terkumpul satu per satu, sampai tibanya di SMA Arla dan memarkir sepedanya. “Bagaimana jika aku kembali lebih jauh dan memilih SMA lain?” Pikiran itu tiba-tiba muncul. “Tidak, seharusnya ini sudah cukup. Kenapa aku masih berpikir untuk kembali lebih jauh?”
Singkat cerita, upacara penaikan bendera dilaksanakan dan setelahnya rangkaian acara MOS. Sebelum memasuki pintu, masing-masing siswa mendapat semacam buku panduan yang menerangkan tentang acara hari ini. Saat di ruangan, siswa baru disusun dengan barisan yang rapi. Rama hanya bisa berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.
Seseorang remaja yang terlihat lebih tua dari Rama menaiki panggung di ruang serbaguna. “Itu ketua OSIS?” Rama bereaksi sontak. Dia bahkan terkejut atas reaksinya sendiri dan langsung menutup mulut seraya tunduk karena malu.
“Kamu kenal dia?” Ternyata seseorang di sebelahnya mendengar ucapan itu.Rama terkejut atas pertanyaan yang dia tidak sangka sebelumnya. Jantungnya mulai berdegup kencang sambil dia memikirkan jawaban agar orang itu tidak curiga. Dia melihat buku yang dipegangnya.
“E, itu hanya tebakanku. Di buku ini, ada daftar nama anggota OSIS.”
Seseorang yang di sebelah Rama turut membuka buku, dan membandingkan apa yang dia lihat di depan. “Oh, iya benar.”
“Wah, ini sangat berbahaya.” Rama menghembuskan napas lega.
Keadaan malah menjadi canggung. “Acara mungkin belum dimulai, tapi bolehkah kita berkenalan.”
“Namaku Basuki.” Remaja bernama Basuki itu menjulurkan tangan, meminta untuk dijabat dan dibalas oleh Rama.
“Basuki yang mana?” pikir Rama sambil berusaha mengingat kembali. “Ah, dia memang duduk di sampingku, tapi kami tidak pernah saling sapa dan aku juga tidak memulainya saat itu. Aku hanya mendengar seseorang memanggil namanya dan dia menoleh.”
Rama pun menatap wajah Basuki setelah cukup lama menunduk karena berpikir. “Halo, Basuki. Namaku Rama.” Dia menjabat tangan Basuki, yang dia tidak pernah lakukan di kehidupan sebelumnya. “Mulai sekarang, aku yakin semuanya akan berbeda,” pikir Rama.
“Halo semua!” Sapaan dari Ketua OSIS mengawali acara pada hari itu.
Rama ingat di hari pertama juga pengenalan ekstrakurikuler, ditambah tertulis dengan jelas di jadwal yang tertera pada buku panduan. Dia mulai bersemangat dan serius untuk mendengarkan. Dia benar-benar mengincar ekstrakurikuler yang berkaitan dengan pembelaan diri karena baginya, itu sangat diperlukan.
Benar saja, seorang guru laki-laki bernama Adi akan memperkenalkan ekstrakurikuler beladiri, yang terdiri dari karate, tinju, dan pencak silat, atau menggabungkannya menjadi MMA. Saat itu, ketertarikan Rama mengambil alih dirinya sehingga dia banyak memberikan pertanyaan. Sesi tersebut selesai dan Rama telah puas dengan jawaban yang Bapak Adi beri.
“Kamu mau ikut itu juga, Rama?” Basuki yang dari tadi turut memperhatikan, bertanya kepada Rama. Sepertinya, dia juga tertarik dengan ekstrakurikuler tersebut.Rama sempat kebingungan. Dia berpikir, apa alasan Basuki menanyakan hal tersebut. Sampai dia ingat. “Kenapa aku sempat lupa dia ikut ekskul ini? Mana jago lagi.” Basuki memang ikut ekstrakurikuler itu di kehidupan sebelumnya. Rama yang sering telat pulang, sering melihat Basuki dan teman-temannya yang lain berlatih di lapangan sekolah.
Rama berpikir keras, apakah keputusannya kali ini tepat, apalagi jika suatu hari nanti mereka akan latih tanding mengingat betapa jagonya Basuki dalam ingatannya.
“Ya, mungkin. Kita lihat saja nanti.” Itu adalah jawaban terbaik yang bisa Rama beri kepada Basuki.
Waktu pulang sekolah tiba, dan Rama langsung pergi ke rumahnya. Dia ingat, di kehidupan sebelumnya, dia tidak melakukan apa-apa sepulang sekolah. Sampai hari ini, untuk satu hal tertentu, kehidupannya masih sama.
Makanan untuk makan siang yang telah siap, membuat Rama untuk memutuskan tidak ganti baju terlebih dahulu. Apalagi makan siang menjadi waktu dan tempat untuk berbicara terbaik baginya kepada ibunya. Sambil makan, Rama terus bertanya.
“Ibu, seandainya aku ingin ikut pelajaran beladiri, apakah diizinkan?”
Ibu Rama diam sejenak. “Silakan. Tapi jaga dirimu.” Rama terdiam, terpukul atas jawaban itu. Seakan ibunya memberi pesan untuk dirinya sendiri. Dia sangat mengalami dilema. Rama sangat ingin menjaga ibunya, tetapi dia masih merasa memerlukan kemampuan untuk beladiri. Kecuali….
“Dua tahun lagi, aku akan lulus. Bagaimana bagusnya, kuliah?”
“Apakah terlalu cepat untuk memikirkan itu?” sahut Ibu Rama.
“Benar juga,” pikir Rama. Dia benar-benar harus hati-hati agar tidak ketahuan dia telah mengalami sebelumnya dan tidak mengejutkan ibunya dengan keputusan tertentu ini.
“Agar kita bisa sama-sama mengumpulkan uang dengan menabung.” Jawaban Rama semakin bagus rupanya.
“Nanti ibu pikirkan. Kamu, jalani dulu saja sekolahmu. Jika memang mampu, kita bisa lanjutkan.”
Suasana mulai hening. Rama hanya terus berpikir.
“Benar juga. Bagaimana akibat pilihanku yang berbeda, membuat jalan kehidupan yang berbeda pula? Aku bisa saja mati, bahkan sebelum kuliah seperti sebelumnya.”
“Akankah aku harus kembali? Tapi bagaimana? Aku sudah terbangun di sini, sekarang. Haruskah menjalani hidup lagi? Aku benar-benar bingung.”