arrow_back

Konsep

arrow_forward

Namaku Alva, laki-laki berusia 17 tahun dan tinggal bersama kakak laki-laki yang lebih tua enam tahun, Alfia di rumah kecil namun lantai dua yang berada di tepi jalan. Aku pun tidak sedekat itu dengan kakakku. Dia sering sibuk sendiri di kamarnya dan sangat tidak mau diganggu. Tidak jarang juga kami bermusuhan, berkelahi, bahkan tidak berbicara satu sama lain selama beberapa hari.

Kami hanya berdua di rumah ini. Meski demikian, rumah nenek dari ayah tidak begitu jauh jadi kami sering berkunjung. Tapi tetap saja, rasanya sepi. Apalagi kesibukan kakak juga membuatnya sering keluar rumah dan meninggalkanku sendiri.

Aku harus terbiasa dengan ini sejak lama. Ayah dan ibu meninggalkan kami lebih dulu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ingatan yang membekas di benakku mengatakan bahwa kakak berhasil menyelamatkanku, kalau tidak aku akan menjadi seperti mereka. Tiada.

Kakakku, meski sifatnya dan semua permusuhan yang kami alami selalu, dia adalah satu-satunya yang memperhatikan dan merawatku di dunia ini. Serius, satu-satunya.

Ayah dan ibu lebih sering berkelahi dan berdebat dibanding kami. Nenek sudah tua dan ada anggota keluarga jauh yang merawat beliau.

Terlebih lagi, kehidupan sosialku. Ah, aku telah berusaha berbaur dengan yang lain namun sampai sekarang tetap merasa tidak cocok. Kenapa mereka berkata aku anti-sosial?

Sepertinya kakakku lebih cepat membiasakan diri setelah kehilangan. Dia hebat dalam memasak dan aku iri atas hal itu. Waktu memasak adalah satu-satunya waktu dimana kami sangat dekat. Dia membiarkanku belajar darinya dan turut membantu atas semua yang bisa kulakukan.

Hari ini, Minggu 29 Agustus, kakakku harus pergi lagi. Aku sendirian di rumah. Jujur, sangat susah membiasakan ini. Rasanya sakit. Bagaimana kesepian bisa menusuk dengan keras?

Aku bisa saja pergi ke rumah nenek tapi aku tidak mau menyusahkan mereka. Terlebih, orang yang merawat nenek, meski keluargaku, sama saja seperti lainnya, kehadiranku tertolak.

Aku duduk di ruang depan. Bukalah pintu dan kau akan langsung melihatku tepat setelahnya. Aku suka memandang motor dan mobil yang lalu lalang, meski hanya dari rumah.

Tok tok tok.

Jarang sekali ada orang yang mengetuk pintu. Jika ada, pasti kakakku yang membukakan lebih dulu. Ini adalah pertama kalinya aku membukakan pintu dan menyambut orang.

“Ee, permisi?” Itu adalah seorang perempuan. Dari postur tubuhnya, seperti sebaya denganku. Dia juga masih mengenakan helmnya.

“Ada apa?” jawabku sedikit gugup.

“Apakah Anda pemilik rumah di samping?” tanyanya sambil menunjuk.

“Hah?” Aku sempat kebingungan.

“Kami ingin menyewa rumah itu.” Akhirnya aku sadar dan teringat apa yang sebenarnya terjadi.

Tetangga kami sebelumnya pindah dan memutuskan untuk melakukan sesuatu dengan rumah yang pernah dia huni. Tapi aku masih bingung, kenapa perempuan yang satu ini bertanya padaku.

“Bukan, saya bukan pemilik rumah itu. Tunggu sebentar.” Aku pun berjalan menuju rumah sebelah. Perempuan itu mengikutiku.

Aku melihat kertas tertempel di jendela depan rumah. “Sudahkah Anda menelepon nomor ini?”

Perempuan itu terkejut. “Maaf, tadi saya tidak melihatnya. Ketika bertanya dengan orang lewat, mereka menyuruh untuk bertanya ke sebelah.”

Betapa canggung saat itu. Kami berbicara dalam bahasa baku yang malah membuat kaku. Aku berpamitan lebih dulu dan pulang.


“Alva, kita punya tetangga baru?” Waktu makan siang. Kakak mengajakku bicara. Lagipula, ini bagaikan waktu paling tepat untuk mengobrol.

“Iya. Tadi mereka nanya ke sini.”

“Hah?” Bahkan kakak juga bingung.

“Ada yang nyuruh buat nanya ke sini katanya.” Sekarang kakak paham dan mengangguk.

Tok tok tok.

Pintu rumah kami diketuk lagi. Karena kakak sudah ada di rumah, dia yang membukakan. Ya, itulah kebiasaan yang telah kuceritakan sebelumnya.

“Ini kami ada makanan lebih. Syukuran kecil-kecilan untuk rumah baru.” Aku yang berada di ruang makan hanya mendengar suara itu, tanpa melihat siapa orangnya. Tapi berdasarkan apa yang kudengar, itu gadis yang bertanya sebelumnya.

“Terima kasih,” ucap kakak sambil menyambutnya. “Makan yuk.” Kami masih makan dan kakak mengajak agar dia ikut.

“Tidak dulu, terima kasih. Kami juga masih makan.” Tidak lama kemudian, suaranya terdengar menjauh dan kakak menutup pintu.

“Sepertinya kamu akan suka ini,” kata kakak sambil meletakkan pemberian tetangga. Sepiring kue. Kami memakannya setelah menghabiskan makan siang.

“Kita harus mengembalikan piring ini. Tapi rasanya kurang kalau hanya piring yang dikembalikan.”

“Kamu yang cuci piring ya, Alva. Kakak akan membuatkan sesuatu untuk tetangga baru kita.” Kakak berdiri dan mengenakan celemek. Aku mematuhi perintah kakak dan mencuci piring.


Tok tok tok.

Aku mengetuk pintu tetangga. Terdengar mereka masih sibuk. Aku dapat memaklumi sebagai pindahan baru.

“Permisi.” Aku berhati-hati agar kantong plastik berisikan piring dan cemilan yang baru saja dibuat kakak tidak tumpah atau bahkan lepas dari tanganku.

Pintu dibukakan oleh gadis itu. Saat itu dia mengikat rambutnya di belakang. “Ini piring kalian.” Aku menyerahkannya.

“Terima kasih.”

“Tidak. Kami yang seharusnya berterima kasih.” Dari luar, aku bisa melihat orang tuanya bekerja sama memindahkan sofa. Aku tersenyum kecil melihat itu dan berpamitan.


“Kapan mereka tiba?” tanya kakak.

“Pagi tadi,” jawabku.

“Kira-kira, mereka dari mana? Apa juga alasan mereka pindah ke sini?” Aku hanya diam dan mengangkat pundak sebagai isyarat tidak tahu.

“Ya, apapun alasan mereka dan entah dari mana, kita bersyukur punya tetangga yang ramah.” Aku mengangguk setuju.

Komentar