“Kak, aku pergi dulu.”
“Hati-hati di jalan.”
Sebagaimana hari lainnya, aku menaiki sepeda untuk pergi ke sekolah, mengingat jarak yang tidak begitu jauh. Ya, motor sering digunakan kakak juga sih.
Hari ini, 30 Agustus adalah Senin. Itu berarti upacara pengibaran bendera akan dilaksanakan sehingga aku harus tiba lebih awal.
“Selamat pagi, semuanya.” Pelajaran dimulai dengan Bahasa Inggris, yang gurunya Bapak Darmawansyah sekaligus wali kelas kami.
“Hari ini, kita kedatangan teman baru. Tapi sepertinya dia belum bisa datang langsung karena masih harus berurusan dengan bagian kesiswaan.”
“Tapi itu berarti sekarang, jumlah siswa di kelas kita genap 20. Maka, kalian akan membuat lima kelompok, masing-masing beranggotakan empat orang.”
Cih, tugas kelompok. Tidak, aku bukan membencinya. Hanya saja, aku seperti makhluk buangan yang berakhir di kelompok sisa karena mereka tidak mau menerimaku.
Aku hanya menunduk di kursiku sementara yang lain sudah membentuk kelompok.
“Alva, ikut kami yuk,” ajak seorang lelaki.
“Iya,” sahut perempuan.
Sebelum aku bertemu Rendra dan Laras. Aku hanya ikut dengan mereka dan membentuk kelompok.
Tok tok tok. Pintu kelas kami yang tertutup diketuk.
Bapak Darmawansyah mendekati dan membukakan pintu. “Kamu orangnya?”
“Silakan masuk, kebetulan sekali pelajaran baru saja akan dimulai.”
Pandangan seluruh siswa di kelas sontak beralih dan fokus kepada seseorang yang akan masuk kelas kami. Aku sangat tidak menyangka akan siapa yang tiba di sini.
“Baiklah, perkenalkan dirimu,” ucap Bapak Darmawansyah sambil kembali duduk di kursi.
“Halo. Namaku Nia. Salam kenal.” Dia menunduk malu. Perempuan yang menjadi tetanggaku.
Pandangan Bapak Darmawansyah yang tadinya fokus dengan perkenalan Nia beralih ke kami.
“Nia, sini!” bisik Laras.
Bapak Darmawansyah tersenyum kecil. “Kamu mendengarnya, Nia. Bergabunglah dengan kelompok mereka.”
Laras berdiri dan menyiapkan kursi dan meja untuk Nia duduk. “Oh ya, namaku Laras.”
“Namaku Rendra,” sahut Rendra.
Setelah Nia duduk, Bapak Darmawansyah pun memulai pelajaran. “Ya, fokus semuanya. Buka buku kalian dan lihat apa yang akan kita bahas hari ini.”
“Bapak akan menjadikan ini PR dan kalian harus mengumpulkannya Senin depan!” Waktu pelajaran berakhir dengan tugas tambahan secara berkelompok. Bapak Darmawansyah pun meninggalkan kelas sementara para siswa mengembalikan kursi ke tempat seharusnya.
Tapi sebelum itu, kami berbicara. “Bagaimana cara kita mengerjakannya?” tanya Rendra.
“Waktu istirahat?” Laras memberi saran.
“Moh. Aku gak mau ngorbanin waktu itu dan kelaparan nantinya.”
“Benar juga.” Laras mengangguk. “Mau tidak mau, kita harus bertemu di salah satu rumah. Yang jelas bukan rumahku.”
“Bukan juga rumahku,” sahut Rendra. “Bagaimana denganmu, Alva?”
Aku terkejut dan terdiam sejenak. “Entahlah. Aku belum pernah kedatangan orang lain sebelumnya sehingga harus bertanya kepada kakak terlebih dahulu.”
“Bagaimana kalau di rumahku?” Ini lebih mengejutkanku. Nia yang baru saja tiba dan menjadi teman. “Nanti kita pulang sama-sama. Tidak jauh kok dari sekolah.”
“Baiklah. Terima kasih atas hal itu, Nia,” ucap Rendra.
“Ya. Kita bisa saling mengenal lebih jauh,” sahut Laras.
“Kak, aku pulang.” Aku mengucapkannya. Kakak membukakan pintu dengan pakaian yang biasa menandakan bahwa dia akan pergi lagi. Sepeda kubawa naik dan kuletakkan menjauh.
“Kakak mau pergi ‘kan?” tanyaku.
“Ya,” jawab kakak singkat. “Makananmu sudah kakak siapkan di bawah tudung saji. Kamu bisa mencuci piring sendiri seperti biasa.”
Kakak mulai mengeluarkan motornya. “Sebelum kakak pergi, aku mau nanya.”
“Apa? Tanyakan saja.”
“Kalau teman sekolahku ingin datang ke rumah kita, apakah boleh diterima?”
Kakak terkejut dan berhenti sejenak. Dia memandangku tidak percaya. “Tentu.”
“Benarkah?” tanyaku kegirangan.
“Kenapa tidak? Aku bersyukur akhirnya kamu punya teman.” Kakak tersenyum kecil.
“Aku akan mengajak mereka lain kali.”
“Silakan. Aku berharap akan ada di rumah untuk turut menyambut kedatangan mereka.”
“Alva, kamu telat lo.” Laras menyambut kedatangan Alva.
“Maaf,” jawabku menunduk.
“Eh, curang. Kamu sudah ganti baju.” Rendra turut menyambut. “Tapi kok, kamu jalan doang? Kami pake sepeda lo.”
“Apanya? Orang rumah dia di sebelah.” Nia yang juga sudah ganti baju menyahut.
Rendra dan Laras terkejut. “Hah?” Aku memalingkan wajah malu.
“Jangan-jangan, kamu sudah pernah masuk rumah Nia?” tanya Laras.
“Tidak!” sahutku dengan sontak. “A-Aku hanya sampai di depan rumahnya.” Kenapa aku malah gugup?
Laras tersenyum kecil. “Oh ya, apa kata kakakmu?” tanya Rendra. Dia masih ingat pertanyaan di sekolah rupanya.
“Boleh kok.” Rendra gembira. Dia tersenyum dan terlihat tidak sabar untuk datang ke rumah. “Besok kalau belum selesai, kita bisa ke rumah Alva!”
“Berarti yang membukakan pintu kemarin itu kakakmu?” Nia memandangku yang menandakan bahwa dia sedang bertanya denganku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. “Pantas saja mirip.”
“Omong-omong, mana orang tuamu?” tanya Laras pada Nia. Laras sambil melihat ke dalam rumah.
“Ada kok.” Tepat setelah Nia berucap hal itu, Ibu Nia menyuguhkan minuman pada kami, kemudian Ayah Nia menyuguhkan makanan berupa cemilan.
“Apakah di sini ada Alva?” tanya Ayah Nia.
Aku mengangkat tangan dengan malu juga ditunjuk oleh Rendra. “Oh, kamu orangnya. Kebetulan sekali. Pagi tadi aku berbicara sebentar dengan kakakmu, Alfia.”
“Paman mengenal kakakku?”
“Tidak juga. Dia memperkenalkan diri setelah kutanyakan namanya.” Ya, tidak salah juga sih. “Ucapan Nia ada benarnya. Kalian benar-benar mirip.” Aku hanya tersenyum kecil.