Selasa, 31 Agustus. Hari biasa, seharusnya.
“Alva, uang saku sudah ‘kan?”
“Ya. Kenapa memangnya ‘kak?”
“Ini bekal tambahan buat kamu hari ini,” ucap kakak sambil menyerahkan kotak bekal. “Kakak hari ini mungkin akan telat pulang. Kunci rumah di tempat biasanya ya….” Maksudnya adalah tempat dia sering menyembunyikan kunci, yang seharusnya hanya kami berdua tahu.
Aku pun memasukkan kotak bekal ke dalam tas. “Apakah aku boleh memakannya di waktu istirahat?”
“Itu terserah padamu.”
Aku memasang kembali tasku dan berpamitan dengan kakak. Aku akan menaiki sepeda sebagaimana hari lainnya. Tapi tidak lama setelah aku menyiapkan sepeda, terlihat seorang melaju. “Nia? Dia juga naik sepeda?” Aku pun menaiki sepeda dan mulai mengayuh.
“Eh, Alva,” sapa Nia memarkir sepedanya.
“Ya?” sahutku.
“Kamu naik sepeda juga?”
“I-iya(?)” Kenapa aku gugup? Apakah karena ini pertama kali ditanyai orang lain? Benar. Biasanya tidak ada yang peduli. Mereka hanya melihatku dan tetap fokus dengan pekerjaan mereka.
“Kalau tahu, seharusnya kita barengan.” Nia sambil berjalan menuju kelas. Aku hanya diam, tidak menyahut ajakannya.
Waktu istirahat tiba. Kelas mulai sepi seiring siswa keluar satu persatu untuk jajan dan menyisakan kami berempat.
“Hei, Alva. Jajan bareng?” ajak Rendra. “Nia. Jajan bareng?” ajak Laras pada Nia. Aku hanya berpikir kenapa mereka mengajak pada waktu bersamaan.
“Tidak dulu.” Jawaban kami yang bersamaan malah membuatku bingung.
“Kenapa?”
“Bawa bekal.” Aku mulai ketakutan dengan kesamaan ini.
“Baiklah. Kalau gitu, duluan ya,” ucap Laras sambil menjauh. Dia mendekat dengan Rendra dan berjalan bersama keluar kelas.
Aku bisa mendengar Nia tertawa kecil dan aku langsung melihat ke arahnya karena merasa ini terkait dengan kebetulan yang baru saja terjadi. Dia hanya tersenyum fokus ke makanannya, dan itu membuatku berpikir lebih baik fokus ke makananku juga.
“Hei, Alva. Bolehkah aku melihat bekalmu?”
“Hah? Kenapa?” tanyaku agak terkejut.
“Penasaran doang.”
Aku pun berpaling mengingat aku duduk di barisan kedua dan dia di sebelah kiri belakang, barisan ketiga.
“Cupcake.” Pandangannya fokus pada dua kue mangkuk yang ada di dalam kotak bekal.
“Ah, kakakku membuatnya sendiri.” Nia terlihat kagum mendengar hal itu. “Kau mau?” tanyaku sambil menyerahkan salah satu kue mangkuk kepadanya.
“Benarkah?” Nia langsung menyambutnya. “Terima kasih,” ucapnya dengan senyuman kecil dan memakannya. Aku berpikir untuk memakan punyaku juga dan menghabiskannya.
“Kurasa aku perlu membalasmu.” Nia melihat isi kotak bekalnya. “Ini tidak sepadan tapi–”
“Tidak perlu. Kamu tidak perlu membalasnya,” ucapku saat berhenti makan.
Aku pun berpaling dan fokus makan. “Ayolah, terima saja.” Nia berjalan ke arahku dan menaruh sepotong roti di kotak bekalku kemudian langsung kembali ke kursinya.
“Te-terima kasih.” Dia tidak menjawab. Aku tidak yakin apakah dia mendengarnya.
Tidak lama kemudian, Rendra dan Laras kembali ke kelas membawa makanan. “Kalian belum selesai ‘kan?” tanya Laras. “Kami berencana makan bareng kalian.”
“Boleh kok.”
Rendra dan Laras pun duduk di kursi mereka. Rendra di belakangku dan Laras di depan Nia. Aku dan Laras berpaling sehingga aku menghadap Rendra dan Laras menghadap Nia.
“Hei, Alva. Hari ini aku ingin ke rumahmu. Boleh?”
“U-untuk apa? Bukannya tugas kita telah selesai kemarin?” Aku mencoba menghindar mengingat kakak akan telat pulang.
“Hanya berkunjung sih….”
Aku menunduk berpikir. “Silakan saja. Lagipula, kakak sudah memperbolehkan dari kemarin.” Entah kenapa, Rendra begitu semangat.
“Kenapa kamu semangat gitu, Rendra?” Bahkan Laras mempertanyakan hal itu.
“Kau tahu? Aku pernah mendengar bahwa orang yang pendiam akan lebih setia menjadi teman. Aku ingin membuktikannya, melihat Alva ini termasuk orang pendiam.” Aku sontak memandang Rendra atas ucapannya. “Itu benar, Alva. Aku ingin menjadi temanmu.”
Aku benar-benar tidak menyangka akan mendengar ucapan itu dari seseorang, orang lain di hidupku. Aku berusaha keras menahan air mataku menetes karena ini kali pertamanya ada orang yang mendekati dan ingin berteman denganku.
Aku juga sadar Nia dan Laras menatapku dan itu membuatku malu. Aku pun memalingkan diri dan makan di mejaku saja.
“Ya. Aku juga berharap mengenalmu lebih jauh, Alva.” Aku yakin Nia yang mengucapkan hal itu.
Waktu pulang tiba. Aku keluar dari kelas lebih dulu dibanding yang lain. Tepat setelah guru keluar dari kelas, aku mengikuti dari belakang dan langsung menuju parkiran dimana aku meletakkan sepeda.
Aku tidak menyangka apa yang kulihat. Ban sepedaku kempes. Keduanya. Seharusnya aku tidak berpikiran negatif tapi entah kenapa aku sangat yakin seseorang melakukan itu kepada sepedaku. Mengeluarkan seluruh udara dari ban. “Pagi tadi gak gini. Apa aku ngelindes paku ya?”
Aku hanya menuntunnya ke luar sekolah dan Pak Satpam menyadari hal itu. “Kenapa dek?”
“Ba-bapak punya pompa?” Pandangan Pak Satpam fokus ke arah ban sepedaku dan beliau mulai menyadari masalahnya.
“Sayangnya kami tidak punya pompa. Bapak juga tidak yakin ada orang dekat sini yang punya. Tapi melihat kejadian seperti ini, sepertinya bapak akan membicarakannya dengan bagian tata usaha agar menyediakan pompa, semoga tidak terjadi lagi.” Pak Satpam prihatin. “Bagaimana kalau menelepon keluargamu?” saran beliau.
“Saya tahu nomor kakak, tapi saya tidak yakin dia akan menjemput.”
Pak Satpam malah tertawa kecil. “Kamu tidak harus kaku seperti itu. Kalau sama Bapak, boleh kok pakai aku-kamu. Kalau sama guru lain gak kan?”
Tetap saja aku canggung sehingga menunduk. “Rumahmu jauh kah?”
“Tidak juga. Jadi saya berencana untuk jalan kaki saja.” Aku menunduk. “Tapi terima kasih atas bantuannya, Pak.”
Aku baru saja ingin mengeluarkan sepedaku yang sedikit lagi berada di pagar dan dikejutkan oleh Nia yang tiba-tiba berhenti. “Eh, Alva.” Aku tidak mempedulikannya dan mulai berjalan.