arrow_back

Konsep

arrow_forward

“Huft.” Aku menyesali keputusanku untuk jalan kaki. Hari ini terasa lebih panas dibanding biasanya, ditambah sambil menuntun sepeda yang semakin berat karena kedua bannya kempes.

Tidak lama kemudian, aku dikejutkan oleh Nia yang melaju dan berhenti kemudian ikut berjalan menuntun sepeda bersamaku. Sebelumnya kami hanya diam seiring aku terus tunduk.

“Aku telah melihatmu dari parkiran.” Aku tidak menyangka ucapan ini. “Tapi kenapa harus berjalan? Kakakmu?” Sepertinya Nia menanyakan kakak di mana.

“Dia bilang akan sibuk hari ini.”


Akhirnya aku tiba di rumah, sedikit lebih dulu dibanding Nia. “Kak, aku pu-“ Aku hampir lupa dia tidak ada di rumah sekarang.

“Alva, tadi kamu bilang kakakmu sibuk kan?” Nia lebih ingat. “Ke rumahku yuk,” ajaknya.

“Tapi sepedaku, aku letakkan di rum-“

“Bawa saja. Kami punya pompa.”


“Ibu, Ayah, aku pulang.”

“Selamat datang,” sambut Ayah Nia yang sepertinya kebetulan ingin keluar dari rumah. “Eh, Alva. Kenapa, sepedanya dituntun tidak dinaiki?”

“Ban dua-duanya kempes.” Nia menjawabkan.

“Makanan sudah siap,” ucap Ibu Nia terdengar dari dapur.

“Kamu makan juga.” Ayah Nia memandangku. “Biar om yang mengurus sepedamu.”

Aku hanya diam menunduk malu. “Ayo. Jangan malu-malu.” Nia mendorongku ke ruang makan mereka.

“Bekalku masih ada sisanya.”

“Bawa saja, kemudian taruh tasmu di sofa.” Nia berhenti mendorongku. Seolah menjadi isyarat bagiku untuk membuka tas dan mengambil kotak bekal. Aku melakukannya dan meletakkan tas dengan hati-hati di sofa.

Nia kembali mendorongku dan akhirnya kami duduk di kursi, menghadapi meja makan. Aku membuka bekalku yang tersisa sedikit lagi.

“Itu tidak cukup. Bu?” Nia melihat isi bekal.

“Ini.” Ibu Nia menyerahkan sepiring nasi dengan berbagai lauk.

Aku kembali diam, malu-malu sambil mengambil makanan perlahan.

“Jujur, cupcake buatan kakakmu itu enak.” Nia membahasnya selagi makan.

“Hah?” Ibu Nia belum paham. “Kue mangkuk?”

“Nah, itu.”

“Kakakmu buat itu?” Ibu Nia tiba-tiba bersemangat. “Apakah kakakmu menjualnya? Pengen beli.”

“Tidak tahu. Dia juga jarang membuat bekal untukku dan lebih sering memberi uang saku.”

“Yah…. Kalau jualan kasih tau ya.”


“Terima kasih atas makanannya. Maaf menyusahkan.”

“Tidak. Jangan bilang begitu. Kita ‘kan tetangga.” Ucapan Ibu Nia membuatku tenang, tapi juga membuatku berpikir sejenak. Bagaimana jika kami tidak pernah menjadi tetangga?

Aku membawa sepedaku yang telah dipompa oleh Ayah Nia. Andai beliau ada di sini sekarang, aku akan mengucapkan terima kasih langsung kepada beliau. “Terima kasih juga atas bantuan kalian pada sepedaku.”

“Ah, itu bukan apa-apa.” Aku hanya menahan haruku saat itu.

Kakakku tiba, bertepatan dengan aku yang pulang dari Rumah Nia. Dia melihat diriku setelah membuka pintu. “Ada apa, Alva? Kamu terlihat lelah.”

Aku tersenyum kecil dan menaruh sepedaku di teras. Tepat di saat aku ingin bicara, tiba-tiba terdengar suara tabrakan. Seseorang jatuh dari motornya tepat di depan kami.

Pikiranku sontak ingin menolong orang itu, aku mengenalnya. “Bapak Darmansyah?!”

Saat aku ingin menyeberang, tanganku ditahan. Saat itu aku benar-benar ingin marah pada kakak karena dia tidak membiarkanku untuk menolong. Tapi–

Sebuah mobil melaju cukup kencang. Seolah tepat di depan wajahku dan aku merasakan angin berhembus, menyapu bajuku.

“Kamu seharusnya hati-hati.” Kali ini kakak menarikku. Aku terdiam karena sesuatu yang lebih buruk dari kejadian sebelumnya bisa saja terjadi.

“Aku tidak mau kehilangan lagi.” Kakak memelukku dengan erat. Entah kenapa aku memiliki firasat, sesuatu yang buruk juga terjadi pada kakak hari ini.

“Bawa naik sepedamu. Biar kakak yang menolong beliau. Guru di sekolahmu ‘kan?”

Aku hanya mengangguk. Kali ini, aku tidak sanggup menahannya. Aku merasakan air mata mengalir di pipiku namun sontak menyapunya. Kakakku melihat jalan ke arah kiri-kanan kemudian menyeberang dan turut membantu Bapak Darmawansyah.

Singkat cerita, aku hanya berada di teras, menyaksikan semuanya karena sedikit trauma atas mobil yang melaju tadi. Sepertinya Bapak Darmawansyah terlihat baik-baik saja dan bergegas untuk pulang sementara kakak pulang.

“Sepertinya kamu belum mandi, mengingat biasanya langsung dilakukan setelah pulang sekolah. Apalagi kamu baru saja dari rumah Nia dengan sepeda. Sesuatu pasti terjadi. Ceritakan pada kakak.” Kakak merangkul bahuku dan membawa ke lantai dua.

Aku tidak menyangka dia membawaku ke kamarnya. Cukup berantakan karena buku berserakan di mana-mana. Sepertinya dia lupa merapikan tapi aku menyadari satu hal. “Kakak pasti belajar sangat giat dan keras.” Kakak hanya tersenyum kecil.

“Berbaringlah. Serius, kamu benar-benar terlihat lelah.”

Kami berbaring bersama untuk sekian lama setelah tidur di kamar masing-masing. Kakak menatapku dan tatapan itu, pertama kalinya aku merasakan pandangannya. Aku seperti pernah merasakan perasaan yang sama saat kecil.

“Sekarang, ceritalah. Kakak akan mendengarkanmu.”

Aku pun mulai menceritakan semuanya.

“Bagaimana dengan kakak? Apakah ada sesuatu yang terjadi?”

“Ya…. Hanya tidak berjalan sesuai harapan. Semoga bisa lanjut.” Kakak memandang ke atas selagi berpikir. Firasatku kembali mengatakan bahwa yang dihadapinya cukup berat.


“Kamu benar-benar demam hari ini rupanya,” ucap kakak sambil melepas telapak tangannya yang baru saja memeriksa suhu badanku dengan menempelkan di dahi.

Kakak bergegas keluar kamar sebentar. Cukup lama dan aku hampir tidak bisa bergerak karena tubuhku berasa sangat lemah.

Kakak kembali. “Aku sudah menitipkan surat dengan Nia. Sekarang, kamu hanya perlu fokus istirahat hari ini. Jangan lupa minum obat dan perbanyak tidur.”

Kakak berdiri. “Kakak mau ke mana?” tanyaku dengan suara lemah. Kakak berhenti sejenak dan berpaling.

“Tenang. Kakak tidak ke mana-mana kok hari ini. Hanya mengambilkan air untuk kamu minum obat.”

“Kakak tidak bohong kan?”

“Tentu. Untuk apa kakak berbohong?” Kakak pun turun ke lantai satu.

Komentar