arrow_back

Konsep

arrow_forward

“Ibu, Ayah, aku besok pindah sekolah.” Aku mengucapkan itu ketika pulang sambil melempar tasku.

“Kenapa tiba-tiba?” tanya ibu.

“Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba mendapat surat bahwa aku akan dipindahkan. Beberapa temanku juga mendapatkannya, dan setahuku mereka pergi ke sekolah yang berbrda denganku nantinya.”

“Kalau kamu ke mana?” tanya ayah mendekat sambil merangkulku. Dia menatap mataku. Aku kemudian menyebutkan sekolah baru, tempat belajarku nantinya.

Ibuku sangat terkejut. “Tapi sekolah itu terlalu jauh dari rumah kita.”

Aku yang belum tahu apa-apa saat itu menyahut, “Kita cari rumah untuk disewa!”

“Emang mudah ngomongnya ya….” Ciri-ciri kekesalan ibu mulai terlihat dari situ.

“Sini. Kita jalan-jalan. Siapa tahu ketemu.” Ayah berdiri. “Ganti bajumu dulu.”

“Kau terlalu memanjakan Nia,” ucap ibu yang benar-benar kesal saat itu. Mereka mulai berdebat selagi aku pergi ke kamar untuk ganti baju.

Saat aku keluar, orang tuaku sepertinya sudah berdamai setelah pertengkaran kecil itu. “Pasang helm-mu.” Aku mengambil helm dan memasangnya di kepalaku.


“Nah, kita ketemu. Syukurlah.” Aku tidak menyangka akan menemukan sebuah rumah, tidak begitu jauh dari sekolah baru. “Tapi yang punya siapa ya?” tanyaku dengan suara pelan. Aku pun turun dari motor untuk melihat-lihat rumah itu.

“Ayah tinggal sebentar dulu ya. Ngisi bensin di sana.” Ayah menunjuk penjual bensin eceran. “Kamu yang ke sana atau ayah yang menjemput ke sini?”

“Ayah yang ke sini,” pintaku.

“Baiklah. Ayah ke sana sebentar, nanti kembali.” Ayah pun berkendara untuk mengisi bensin. Aku bisa melihat ayah berhenti di sana dan membuka jok motor.

“Pertanyaanku belum terjawab. Ini punya siapa?” Aku tidak sengaja mengucapkannya cukup keras. Seseorang pejalan kaki yang lewat, sepertinya warga setempat menjawab, “Kenapa kamu tidak menanyakannya ke sebelah?”

“Benar juga,” sahutku dalam hati. “Sebelah rumah seharusnya tahu.”

Aku berjalan menuju rumah di sebelah dan mengetuk pintunya. Tidak lama menunggu, pintu itu dibukakan dan aku langsung berucap, “Ee, permisi?”

“Ada apa?” Seorang lelaki menyambutku. Dia terlihat sebaya, dan agak gugup entah kenapa.

“Apakah Anda pemilik rumah di samping?” Aku menunjuk tapi tetap mencoba sopan.

“Hah?” Dia kebingungan.

“Kami ingin menyewa rumah itu,” ucapku mewakili ayah. Dia sepertinya baru saja mengingatnya tepat setelah aku berucap demikian.

“Bukan, saya bukan pemilik rumah itu.” Dia terdengar sopan. “Tunggu sebentar.” Dia keluar dari rumah setelah menutup pintu dan berjalan menuju rumah yang ingin kami sewa. Aku hanya mengikuti meski tidak tahu apa yang akan dia lakukan.

“Sudahkah Anda menelepon nomor ini?” tanyanya menatap jendela.

“Maaf, tadi saya tidak melihatnya.” Aku terkejut sambil berusaha menyembunyikan malu. “Ketika bertanya dengan orang lewat, mereka menyuruh untuk bertanya ke sebelah.” Aku berbohong saat itu. Dia mungkin mendengar teriakan kecilku dan menyadarinya.

Anehnya, malah dia yang canggung dan bergegas pulang. Tidak lama kemudian, ayah kembali dan aku pun memberitahu tentang nomor telepon itu.


“Kita perlu mengadakan syukuran karena mendapat rumah ini untuk disewakan dengan harga yang lebih murah daripada bayangan.”

“Ya, rumah baru ini tidak terlalu buruk juga.” Ibu tersenyum kecil.

Syukuran kecil kami ternyata menyisakan makanan lebih. Ibuku pun memberi usulan untuk memberikannya kepada tetangga dan menyuruhku untuk melakukannya.

Seseorang membukakan pintu. Dia terlihat mirip dengan lelaki yang membantuku tadi tapi lebih besar posturnya. “Hah? Cepat sekali dia tumbuh?” pikirku pertama saat itu. “Ah, mungkin kakaknya.”

“Ini kami ada makanan lebih. Syukuran kecil-kecilan untuk rumah baru.”

“Terima kasih,” ucapnya sambil menyambut. “Makan yuk.” Dia mengajakku untuk masuk.

“Tidak dulu, terima kasih. Kami juga masih makan.” Aku berusaha menolak dengan halus kemudian pulang.


Pintu rumahku diketuk. Kami baru saja merapikan rumah karena banyak barang yang berserakan dan letaknya tidak sesuai dengan keinginan. Aku yang tidak begitu sibuk berinisiatif untuk membukakan.

“Permisi.” Aku seperti mengenal suara itu. Aku pun membukakan pintu sambil membetulkan ikatan rambut.

“Ini piring kalian.” Benar saja, itu lelaki yang membantu sebelumnya dan menjadi tetanggaku sekarang. Aku pun menyambutnya.

“Terima kasih,” ucapku

“Tidak. Kami yang seharusnya berterima kasih,” balasnya sambil tersenyum. Dia pun berpamitan untuk pulang ke rumahnya. Aku menutup pintu dan beranjak ke dapur.

“Bagaimana dia bisa tersenyum, padahal pertama kali tadi dia terlihat gugup? Apakah dia juga tidak tahu bahwa aku sebaya sehingga sespopan itu?” Pikiranku mulai banyak seiring berjalan.

“Apa itu?” tanya ibu yang baru saja selesai memindahkan sofa bersama ayah.

“Tetangga kita mengembalikan piring.”

“Lah? Cepat?” Ibu tidak percaya. Benar juga, tetangga kami sebelumnya memerlukan waktu berhari-hari untuk mengembalikan piring kami.

“Ada isinya lagi,” sahut ayah. Aku meletakkan di atas meja makan dan ayah langsung membuka kantong plastik yang membungkus.

“Apa ini? Berbagai cemilan?” Cemilan? “Tapi aku belum pernah melihat ini dijual di toko.”

“Mungkin mereka bikin sendiri,” balas ibu. Aku tidak percaya kalau itu benar.

Ayahku mencoba sepotong. “Hm, enak juga.” Aku pun penasaran dengan rasanya dan turut mencoba.

Aku tidak percaya dengan apa yang kurasa. Ini tidak sekadar enak juga, tapi bagiku sangat enak dan membuatku memakannya terus. Tapi aku harus ingat juga untuk menyisakan agar ibu dan ayah bisa memakannya juga. Saat itulah aku percaya bahwa mereka yang membuatnya.

Komentar