arrow_back

Konsep

arrow_forward

Senin, 30 Agustus. Aku sekarang di sekolah baru, mengendarai sepeda cukup pagi. Aku sebenarnya tidak tahu di mana harus parkir, hanya mengikuti pelajar yang juga menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah.

Pagi itu, aku berurusan dengan bagian kesiswaan yang sepertinya langsung mencariku setibanya di sini. Bagiku ini hanya verifikasi data untuk membuktikan bahwa aku siswi yang benar-benar dipindahkan dari sekolahku yang sebelumnya. Untungnya, aku tidak harus ikut upacara.

Aku diletakkan di kelas beliau Bapak Darmawansyah, yang katanya juga akan menjadi guru bahasa Inggris. Kebetulan sekali, hari ini adalah pelajaran pertama dan aku akan memasuki kelas saat itu.

Karena pintu tertutup, aku tentu harus mengetuknya. Pintu dibukakan oleh seorang guru laki-laki. “Ah, ini pasti Bapak Darmawansyah yang dimaksud,” pikirku.

“Kamu orangnya?” Aku menjawab dengan anggukan. “Silakan masuk, kebetulan sekali pelajaran baru saja akan dimulai.”

Aku memasuki kelas dan cukup terkejut dengan posisi meja. “Tugas kelompok?” Aku menebak. Aku bahkan tidak tahu harus memandang ke mana.

“Baiklah, perkenalkan dirimu.” Bapak Darmawansyah mengucapkannya sambil kembali duduk.

“Halo. Namaku Nia. Salam kenal.” Aku menunduk kecil. Rasanya agak malu.

Aku memandang Bapak Darmawansyah, harus tahu apa yang selanjutnya harus kulakukan. Beliau memandang para murid.

“Nia, sini!” Seorang perempuan berbisik, sepertinya mengajakku untuk bergabung dengan kelompoknya.

“Kamu siapa?” pikirku.

“Kamu mendengarnya, Nia. Bergabunglah dengan kelompok mereka.” Aku melihat Bapak Darmawansyah hanya tersenyum atas kelakuan perempuan itu.

Aku berjalan menuju kelompoknya. Dia berdiri dan menyiapkan tempat duduk untukku. “Oh ya, namaku Laras.” Dia memperkenalkan diri.

“Namaku Rendra.” Seorang lelaki yang berada di kelompok sama memperkenalkan diri. Masih ada satu anggota lagi, laki-laki juga. Aku memperhatikan sebentar wajahnya, seperti mengenal dan pernah melihat. Aku pun duduk dan baru teringat bahwa dia adalah tetanggaku.

“Ya, fokus semuanya. Buka buku kalian dan lihat apa yang akan kita bahas hari ini.” Bapak Darmawansyah memulai pelajaran.


“Bapak akan menjadikan ini PR dan kalian harus mengumpulkannya Senin depan!” Tebakanku benar. Pembuatan kelompok ini memang untuk mengerjakan tugas. Bapak Darmawansyah pun meninggalkan kelas sementara siswa mengembalikan tempat duduk menjadi semula.

“Bagaimana cara kita mengerjakannya?” Rendra bertanya. Laras menyarankan waktu istirahat. “Moh. Aku gak mau ngorbanin waktu itu dan kelaparan nantinya.”

“Benar juga.” Laras membenarkan sambil menhangguk. “Mau tidak mau, kita harus bertemu di salah satu rumah. Yang jelas bukan rumahku.”

“Bukan juga rumahku.” Rendra menyahut. “Bagaimana denganmu, Alva?”

“Alfa? Alva? Pakai f atau pakai v?” Aku melihat buku tempat kami menulis nama. “Oh, pakai v.” Entah kenapa aku malah memikirkan itu. Alva terlihat terkejut sehingga terdiam.

“Entahlah. Aku belum pernah kedatangan orang lain sebelumnya sehingga harus bertanya kepada kakak terlebih dahulu.”

“Bagaimana kalau di rumahku?” Aku menawarkan. Aku agak bingung kenapa Alva juga terlihat terkejut saat aku mengucapkan hal tersebut. “Nanti kita pulang sama-sama. Tidak jauh kok dari sekolah.”

“Baiklah. Terima kasih atas hal itu, Nia.” Rendra terlihat bersyukur.

“Ya. Kita bisa mengenal lebih jauh,” ucap Laras. Ini cewek kok pede banget sih?


Waktu pulang tiba. “Eh, Alva mana?” tanya Laras.

“Ah, pasti dia pulang duluan lagi,” sahut Rendra. “Terus, dia tau rumahmu gak, Nia?”

“Aku yakin dia bakal datang kok,” jawabku tersenyum.

Singkat cerita, Laras dan Rendra pulang bersamaku, karena aku harus menuntun mereka ke rumahku. Aku meminta izin kepada mereka untuk ganti baju terlebih dahulu. Kami cukup lama mendiskusikan tugas dan Alva belum datang juga.

Setelah menunggu, Alva datang dengan pakaian biasa. Dia telah mengganti seragamnya.

“Alva, kamu telat lo,” sambut Laras. Wah, ini cewek memang beda banget ya. Aku hanya bisa tersenyum.

“Maaf,” ucap Alva menunduk.

“Eh, curang. Kamu sudah ganti baju,” balas Rendra. “Tapi kok, kamu jalan doang? Kami pake sepeda lo.”

“Apanya, orang rumah dia di sebelah,” sahutku.

“Hah?” Rendra dan Laras terkejut. Alva memalingkan wajahnya, sepertinya dia malu.

“Jangan-jangan, kamu sudah pernah masuk rumah Nia?” Laras bertanya.

“Tidak!” Alva sontak menyahut. “A-aku hanya sampai di depan rumahnya.” Dia juga gugup sepertinya. Tapi dia jujur.

“Oh ya, apa kata kakakmu?” Aku sempat bingung kenapa Rendra bertanya demikian, tapi aku teringat ucapannya di sekolah.

“Boleh kok.” Sepertinya dia benar-benar menanyakan itu kepada kakaknya. Rendra terlihat tersenyum gembira dan tidak sabar. “Besok kalau belum selesai, kita bisa ke rumah Alva.”

“Berarti yang membukakan pintu kemarin itu kakakmu?” Aku bertanya hanya untuk memastikan. Alva pun hanya menjawab dengan anggukan. “Pantas saja mirip.” Astaga, kenapa aku mengucapkan itu?

“Omong-omong, mana orang tuamu?” tanya Laras padaku. Dia melihat-lihat ke dalan rumah dari tempat duduknya.

“Ada kok.” Kebetulan sekali ibuku muncul untuk menyuguhkan minuman, disambung ayah yang memberikan cemilan.

“Apakah di sini ada Alva?” Aku cukup terkejut dengan pertanyaan ayah. Bagaimana ayah tahu dan mengapa langsung mencarinya?

Alva mengangkat tangan perlahan, Rendra menunjuknya. “Oh, kamu orangnya. Kebetulan sekali. Pagi tadi aku berbicara sebentar dengan kakakmu, Alfia.”

“Alvia? Alfia? Nama mereka membingungkan. Bahkan dari nama pun mirip.” Pikiranku mulai bermacam-macam.

“Paman mengenal kakakku?” Alva memanggil ayah sebagai paman. Kenapa bukan om atau mas?

“Tidak juga. Dia memperkenalkan diri setelah kutanyakan namanya.” Ah, ayah sudah biasa melakukan hal ini pada orang yang baru dikenalnya. Aku takut orang lain malah canggung atas hal ini. “Ucapan Nia ada benarnya. Kalian benar-benar mirip.” Ternyata ayah mendengar ucapanku. Aku mulai malu, tapi sempat melihat Alva tersenyum kecil sebelum menunduk.

Komentar