31 Agustus. Hari Selasa ini menjadi kedua kalinya aku pergi ke sekolah mengendarai sepeda. Bedanya, hari ini aku hanya memperlambat waktu pergi karena merasa kemarin terlalu cepat.
Sesampainya di sekolah, aku memarkirkan sepeda dan melihat Alva yang tiba tidak lama setelahku. “Eh, Alva.” Aku menyapanya.
“Ya?” sahut Alva.
“Kamu naik sepeda juga?” balasku.
“I-iya.” Nada di akhir ucapannya terdengar naik, seperti menanyakan sendiri. Dia sepertinya gugup.
“Kalau tahu, seharusnya kita barengan,” ucapku sambil berjalan menuju kelas. Aku tidak mendengar jawaban Alva.
Waktu istirahat, kelas menjadi sepi karena siswa keluar untuk jajan dan hanya tersisa aku, Alva, Rendra dan Laras. Berempat.
“Hei, Alva. Jajan bareng?” Rendra mengajak Alva. Aku menduga dia sudah menjadi teman dekat dengan Alva sampai sangat tertarik untuk berkunjung ke rumahnya sejak kemarin.
“Nia. Jajan bareng?” Aku cukup terkejut atas ajakan Laras, apalagi dia mengucapkannya pada waktu bersamaan dengan Rendra.
“Tidak dulu.”
“Kenapa?”
“Bawa bekal “
Tiga kalimat itu secara tidak sengaja kami ucapkan bersama. Tidak dulu dan bawa bekal olehku dan Alva. Kenapa oleh Rendra dan Laras. Aku hanya heran sekaligus kagum bagaimana itu bisa terjadi.
“Baiklah. Kalau gitu, duluan ya.” Laras menjauh sambil mendekat kepada Rendra dan mereka berdua berjalan bersama keluar kelas.
Mengingat kejadian yang baru saja terjadi, membuatku tertawa kecil namun Alva memandangku. Aku yang terkejut memalingkan pandanganku kepada makanan agar dia berpikir bahwa aku fokus pada itu, tapi aku tetap tidak bisa menyembunyikan senyuman ini. Alva pun memandang makanannya.
Mencium aroma dari kotak bekal Alva, aku mulai penasaran apa yang dia bawa. “Hei, Alva. Bolehkah aku melihat bekalmu?”
Dia terkejut. “Hah? Kenapa?” Apakah dia tidak pernah dimintai seperti itu sebelumnya.
“Penasaran doang.” Untuk kali ini, aku mencoba jujur. Alva pun memalingkan dirinya, menghadapku sambil memegang kotak bekalnya.
“Cupcake,” ucapku. Pandanganku langsung fokus terhadap dua buah cupcake di kotak bekalnya. Sudah tertebak apa yang beraroma begitu enak dari sana.
“Ah, kakakku membuatnya sendiri.” Aku kagum mendengar hal itu. Kakak Alva sepertinya jago dalam memasak, mengingat makanan yang kami makan kemarin meski berbentuk cemilan. “Kau mau?” Alva menawarkannya. Salah satu cupcake itu diserahkan padaku.
Aku belum sempat menjawab, tapi aku cukup yakin ini akan enak. “Benarkah?” Aku menyambutnya langsung. “Terima kasih.” Ini membuatku bahagia dan aku mulai memakannya. Alva pun terlihat memakan punyanya dan menghabiskannya.
Aku teringat kemarin mereka mengembalikan piring kami dengan makanan itu lagi. “Kurasa aku perlu membalasmu.” Aku melihat kotak bekalku dan rasanya tidak ada yang setara dengan cupcake lezat itu. “Ini tidak sepadan tapi–”
“Tidak perlu.” Alva memotong ucapanku. “Kamu tidak perlu membalasnya.” Dia berhenti makan dan berpaling kemudian melanjutkannya.
“Ayolah. Terima saja.” Aku bangkit dari tempat dudukku, kemudian berjalan untuk meletakkan sepotong roti di kotak bekal Alva dan kembali.
“Te-terima kasih.” Aku tidak menjawabnya. Anggap saja balasan karena dia tidak menjawab ajakanku untuk pergi bersama tadi pagi.
Tidak berapa lama, Rendra dan Laras datang ke kelas dengan makanan. Laras berkata, “Kalian belum selesai ‘kan? Kami berencana makan bareng kalian.” Aku memperbolehkan dan mereka duduk di kursi masing-masing. Alva menghadap Rendra yang berada di belakangnya, dan Laras yang di depanku berpaling menghadapku.
“Hei, Alva. Hari ini aku ingin ke rumahmu. Boleh?” Rendra benar-benar semangat ingin berkunjung ke rumah Alva, entah apa sebabnya.
“U-untuk apa? Bukannya tugas kita telah selesai kemarin?” Jawaban Alva dapat kubenarkan. Tidak disangka kami dapat menyelesaikan tugas yang diberikan Bapak Darmawansyah pada hari itu juga.
“Hanya berkunjung sih….”
Alva menunduk. Dari ucapan sebelumnya, dia terdengar seperti ingin menghindari kunjungan orang lain ke rumahnya pada hari ini.
“Silakan saja. Lagipula, kakak sudah memperbolehkan dari kemarin.” Semangatnya Rendra perlu dipertanyakan saat itu.
“Kenapa kamu semangat gitu, Rendra?” Akhirnya, ada Laras yang mewakili.
“Kau tahu? Aku pernah mendengar bahwa orang yang pendiam akan lebih setia menjadi teman. Aku ingin membuktikannya, melihat Alva ini termasuk orang pendiam.” Alva yang dari tadi terus menunduk mengalihkan pandangannya kepada Rendra. Dia seperti terkejut. “Itu benar, Alva. Aku ingin menjadi temanmu.”
Saat itu, aku dapat melihat mata Alva agak berkaca-kaca. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia pernah alami, tapi aku yakin itu sangat berat baginya. Dia menyadari aku dan Laras memandangnya sehingga dia kembali menunduk.
“Ya. Aku juga berharap mengenalmu lebih jauh, Alva.” Aku mengucapkannya. Entah kenapa. Tapi aku benar-benar penasaran dengannya, mengapa hampir menangis setelah Rendra ingin menjadi temannya?
Sepulang sekolah, apa yang diucapkan Rendra kemarin benar. Alva biasanya pulang lebih dulu, bahkan hari ini tepat setelah guru pelajaran terakhir keluar. Aku mengikuti setelah merapikan semua dan memasukkan ke dalam ransel.
Sesampainya di parkiran, aku melihat Alva terdiam sambil memandangi sepedanya. Dia pun menuntunnya ke luar, alih-alih menaikinya. Saat itu, aku belum sadar apa yang terjadi. Jadi, aku menaiki sepeda sebagaimana biasa.
Dari kejauhan, aku dapat melihat Alva berhenti di depan pos satpam dan berbicara dengan satpam. Tentu saja aku tidak dapat mengetahui apa yang mereka bicarakan. Aku terus beranjak ke sana dan berhenti tepat di dekat Alva dan itu mengejutkannya.
“Eh, Alva.” Aku menyapa seperti setiba di sekolah pagi tadi. Bedanya, dia benar-benar tidak peduli denganku kali ini dan terus berjalan menuntun sepedanya.