arrow_back

Konsep

arrow_forward

“Apa yang terjadi dengannya?” tanyaku kepada Satpam karena penasaran.

“Kedua bannya kempes dan dia menanyakan padaku mengenai ketersediaan pompa. Aku memberi saran dan menawari bantuan untuk menelepon keluarganya, namun dia menjawab bahwa dia tidak yakin kakak akan menjemputnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk jalan kaki saja karena katanya rumahnya tidak begitu jauh.”

“Terima kasih informasinya.” Aku pun beranjak, mengayuh sepeda sambil berpikir perlahan selama di perjalanan.


Aku terus melaju dan bisa melihat Alva dari kejauhan. Kakinya sudah terlihat lemah, dia seperti kelelahan. Hari yang panas sambil membawa sepeda berat, itu pasti sangat menyusahkan.

Aku berhenti di sampingnya dan nampaknya dia terkejut. Aku turun dari sepeda dan turut menuntunnya.

Aku ingin berbicara dengannya, tapi tidak tahu bagaimana harus memulainya. “Aku telah melihatmu dari parkiran.” Akhirnya kalimat tersebut terpilih dan terucap.

“Tapi kenapa harus berjalan? Kakakmu?” Aku sangat penasaran kenapa dia mengambil keputusan ini. Mengapa ucapannya kepada Bapak Satpam bahwa dia sangat tidak yakin kakaknya akan menjemput.

“Dia bilang akan sibuk hari ini.” Ah, itu menjelaskannya. Bahkan kakaknya mungkin tidak ada di rumah hari ini saat dia tiba. Itu pikiranku.


Alva tiba di rumahnya, dan aku tinggal beberapa langkah lagi dari rumahku. “Kak, aku pu–” Alva sepertinya lupa, ucapannya langsung kupotong.

“Alva, tadi kamu bilang kakakmu sibuk ‘kan? Ke rumahku yuk.” Aku mengajaknya untuk ke rumahku saja. Dia terlihat benar-benar perlu istirahat.

“Tapi, sepedaku,” dia mengkhawatirkan sepedanya, “aku letakkan di rum–”

“Bawa saja. Kami punya pompa.” Apalagi yang bisa kutawarkan saat itu, selain pompa.

Akhirnya, aku tiba di rumah. “Ibu, Ayah, aku pulang.”

“Selamat datang.” Ayah menyambutku dengan pergi mendekati pintu. “Eh, Alva.” Dia juga menyadari kehadiran Alva. “Kenapa sepedanya dituntun tidak dinaiki?”

“Ban dua-duanya kempes,” jawabku. Saat itu, Alva mulai meletakkan sepedanya

“Makanan sudah siap.” Ucapan ibu terdengar dari dapur. Sepertinya makanan itu sekarang ditata di atas meja makan.

“Kamu makan juga.” Ayah berbicara dengan Alva. “Biar om yang mengurus sepedamu.”

Alva terlihat malu-malu. “Ayo, jangan malu-malu.” Aku mendorongnya masuk ke rumah.

“Bekalku masih ada sisanya.” Aku merasa ini hanya alasan yang diberikan oleh Alva. Tapi aku tetap beranggapan dia jujur.

“Bawa saja. Taruh tasmu di sofa.” Aku berhenti mendorongnya, membiarkan dia mengambil bekal dari tasnya. Setelah dia melakukan hal itu, Alva menaruh tas dengan hati-hati di sofa. Aku kagum dengan sifatnya yang ini. Jika aku, setelah mengambil bekal tinggal dilempar saja tas itu.

Aku kembali mendorongnya ke ruang makan. Kami duduk dan Alva membuka kotak bekalnya. Sisanya tinggal sedikit, bahkan aku sendiri kemungkinan tidak akan menganggap itu. “Itu tidak cukup.”

“Bu?” Aku memandang ibu. Berharap ibu memberikan yang lebih. Ibu turut memandang kotak bekal itu tapi Alva seperti tidak menyadarinya.

“Ini.” Ibu menyerahkan sepiring nasi dan lauk. Alva terlihat kembali malu dan dia makan secara perlahan.

Aku sebenarnya kurang menyukai kesunyian di tengah makan, sehingga memutuskan untuk membuka pembicaraan. “Jujur, cupcake buatan kakakmu itu enak.”

“Hah?” Ibuku mendengarnya. Dia entah terkejut atau hanya belum paham. “Kue mangkuk?”

“Nah, itu.” Sepertinya aku memilih kata yang kurang tepat untuk menjelaskannya pada ibu.

“Kakakmu buat itu?” Ibuku malah bersemangat. Dia memandang Alva. “Apakah kakakmu menjualnya? Pengen beli.”

Alva berhenti makan sejenak, dia menjawab pertanyaan itu. “Tidak tahu. Dia juga jarang membuat bekal untukku dan lebih sering memberi uang saku.”

“Yah…. Kalau jualan kasih tau ya.” Ibuku sepertinya suka dengan makanan yang dibuat oleh kakak Alva.

Singkat cerita, kami selesai makan. Alva berdiri lebih dulu. “Terima kasih atas makanannya. Maaf menyusahkan.”

Ibuku menjawab, “Tidak. Jangan bilang begitu. Kita ‘kan tetangga.” Alva terlihat sedikit malu kemudian mengambil tasnya dan berjalan menuju sepeda yang telah dipompa ayah.

“Terima kasih juga atas bantuan kalian pada sepedaku.” Alva memandangku juga ibuku yang masih di ruang makan.

“Ah, itu bukan apa-apa,” jawabku. Aku bisa melihat matanya agak berkaca-kaca. Masih banyak yang tidak kutahu dengan Alva, dan itu membuatku ingin mengantarnya ke rumah.

Aku melihat Kakak Alva sampai di rumah mereka. “Ada apa, Alva? Kamu terlihat lelah.” Aku mendengar sayup-sayup suara itu.

Sedikit mengintip, aku melihat Alva menaruh sepedanya di teras dan tak lama kemudian, suara tabrakan terdengar. Aku yang tidak ingin dilihat Alva sedikit mundur dan melihat seseorang jatuh dari motornya di jalan.

“Bapak Darmawansyah?!” Aku juga terkejut mendengar itu. Alva benar. Itu wali kelas kami.

Aku berharap tidak begitu malu saat itu sehingga bisa membantu. Tapi Alva sangat semangat dan dia menyeberang tanpa melihat. Mobil melaju dari kejauhan dan seseorang harus menghentikannya.

Aku berharap itu aku, tapi kakaknya berhasil menahan. Alva terlihat agak kesal sampai mobil itu lewat di depannya.

“Kamu seharusnya hati-hati.” Aku kembali mendengar suara itu dan mulai memberanikan diri untuk muncul. Aku melihat kakak Alva menarik Alva, menjauh dari jalan. “Aku tidak mau kehilangan lagi.”

Apa maksud kakak Alva? Apakah itu sesuatu yang membuat Alva begitu mudah terharu dengan hal yang bagiku sederhana?

Apapun itu, kakak Alva memeluk adiknya dengan erat. “Bawa naik sepedamu. Biar kakak yang menolong beliau. Guru di sekolahmu ‘kan?”

Alva mengangguk. Dia menyapu pipinya. Aku yakin dia saat itu menghapus air mata.

Dari sana, aku hanya menonton masyarakat termasuk kakak Alva yang membantu Bapak Darmawansyah, sampai selesai. Beliau terlihat tidak terluka begitu parah, mungkin hanya lecet sehingga bergegas pulang. Aku pun kembali masuk ke dalam rumah. Ibuku bertanya apa yang terjadi dan aku menjelaskan sebisa mungkin.

Keesokan hari, kakak Alva mengetuk rumah. Dia menitipkan surat padaku untuk disampaikan ke kelas. Saat itu, aku tahu bahwa Alva jatuh sakit. Dugaanku, dia sangat kelelahan setelah membawa sepeda.

Komentar