arrow_back

Konsep

arrow_forward

“Selamat pagi.” Nia menyapa Rendra dan Laras yang sudah ada lebih dahulu di kelas pagi itu.

“Pagi,” sahut mereka serentak. Mereka memandang Nia yang terus berjalan menuju meja guru kemudian membuka tasnya, mengeluarkan sebuah kertas, dan meletakkannya di sana.

“Apa itu?” tanya Laras.

“Surat dari Alva. Dia sakit sehingga tidak bisa berhadir hari ini.”

“Ada apa, Rendra? Kamu terlihat sedih?” Laras menatap wajah Rendra.

Rendra tunduk sejenak kemudian tersenyum. “Sebenarnya aku cukup dekat dengan Alva sejak SMP. Dia sebenarnya sudah cukup sering jatuh sakit seperti ini. Kakaknya biasanya selalu terlambat mengantarkan surat sehingga pelajaran pertama dia sering dianggap tidak hadir. Saat itu aku sangat merasa bersalah karena tidak bisa membela Alva. Alasannya, aku tidak bisa menjawab apakah aku benar-benar melihat Alva sakit di rumahnya, sedangkan rumahnya sendiri aku tidak tahu di mana. Aku masih penasaran kenapa dia terus menjauh.”

Nia hanya terdiam mendengar sementara Laras terkejut karena mendengar informasi baru. “Jadi itu sebabnya kamu begitu tertarik untuk pergi ke rumahnya.”

“Hari ini adalah kesempatan terbesar bagimu, Rendra. Aku pun–meski tetangganya–juga berniat untuk mengunjunginya hari ini.”


Makan bersama selama waktu istirahat terasa berbeda dengan ketiadaan Alva meski hari itu bagi teman-teman mereka yang baru. Rendra dan Laras memutuskan untuk makan di kantin saat itu. Nia tetap memakan bekalnya, sendirian di kelas.

Tidak lama kemudian, sesorang masuk. Itu seorang lelaki bernama Erry. Semua orang seakan telah tahu bahwa dia menjadi yang ternakal, bahkan untuk satu sekolah.

Dengan gayanya yang agak sempoyongan, dia melihat ke meja guru.

“Apa yang kau mau lakukan?” Erry tidak menghiraukan Nia dan mulai mengambil surat Alva dari meja guru. “Letakkan kertas itu.”

“Ini hanya kertas,” jawab Erry dengan santai.

“Itu hanya kertas bagimu, tapi lebih penting bagi orang lain.” Nia berdiri, menutup makanannya dan mengancam.

“Jika kamu menghilangkan kertas itu, kamu sama saja seperti menghilangkan satu orang dari hidupmu.” Nada bicara Nia mulai tinggi. Dia benar-benar marah saat itu. “Aku yakin orang-orang sepertimu lah yang membuat Alva malas bergaul.”

“Sekarang, keluar dari kelas ini dan jangan kembali sampai waktu istirahat berakhir.” Nia berubah menjadi wanita yang lebih tegas, berbeda dengan sikap lembut yang dia tunjukkan selama ini.

Meski kesal, Erry mendengarkan perintah itu dan keluar dari kelas.

“Apa yang terjadi?” tanya Laras. Dia dan Rendra telah selesai makan di kantin.

“Bukan apa-apa.” Nia sontak malu. Nada bicaranya kembali normal kemudian duduk di kursinya dan melanjutkan makanannya.


Waktu pulang telah tiba. Rendra, Laras dan Nia berkumpul di parkiran. Mereka pergi bersepeda bersama menuju rumah Alva.

Sesampainya di rumah Alva, Rendra lebih dahulu memanggilnya. “Alva!”

Mereka menunggu cukup lama sebelum dibukakan kakaknya. “Halo. Kalian pasti temannya bukan?” sambut Alvia. “Silakan masuk. Dia masih berbaring di kamarnya. Suhunya mulai turun tapi tenaganya belum pulih sepenuhnya.” Alvia kembali masuk, dia terlihat sibuk.

“Kamarnya di lantai dua. Masuk saja, aku yakin pintu kamarnya masih terbuka.”

“Bagaimana dengan kakak?” tanya Nia.

“Aku? Aku harus memasak dulu. Sampai sekarang dia belum mau makan. Wajar saja tenaganya hampir tidak ada.”

“Berarti, kami izin naik,” ucap Laras.

“Silakan saja. Aku malah menyuruh kalian barusan.”

Rendra, Laras dan Nia bergiliran menaiki tangga kecil itu untuk menemui Alva.

Sesampainya di atas, Alva mencoba bangun perlahan dari tempat tidurnya. “Jangan paksakan dirimu. Kembali saja berbaring,” ucap Nia yang melihat walau posisinya paling belakang dan baru saja sampai di atas.

“Apakah ada tugas atau PR hari ini?” tanya Alva. Suaranya sedikit serak.

“Tidak ada,” jawab Rendra.

“Tapi tetap saja aku tertinggal banyak hal pastinya. Aku akan meminjam catatan salah satu dari kalian.”

“Kamu sedang sakit tapi masih memikirkan sekolahmu?” tanya Laras.

Dalam posisi berbaring, Alva mengangguk kemudian batuk. Dia mencoba meraih botol air tertutup di samping tempat tidurnya. Tapi dia luput dan membuat botol itu jatuh bergulir menuju Nia. Nia menyambutnya, kemudian mendekat dan membukakan tutup botol serta mendekatkannya ke mulut Alva yang baru saja bangun.

“Aku bisa melakukannya sendiri.” Alva mengambil botol itu dan tanpa sengaja menyentuh tangan Nia. Nia malah tersipu malu dan itu membuat Alva kebingungan. Alva pun minum dan mengembalikannya kepada Nia. Nia menutup botol itu sambil memalingkan wajahnya.

Rendra tersenyum. “Akhirnya aku bisa juga ke rumahmu. Dengan kesempatan ini, aku meminta maaf atas pertemanan kita di SMP dulu. Aku berharap kita dapat menjadi sahabat di SMA ini.”

“Itu bukan karena riset tentang orang pendiam yang kamu sebutkan itu, Rendra?” celetuk Laras.

“Diamlah,” sahut Rendra. Hal itu membuat Alva tersenyum. Dia terlihat sedikit lebih semangat.

Alvia naik ke lantai dua sambil membawa nampan berisi makanan dengan hati-hati. “Makanan sudah siap. Aku yakin kalian belum makan siang juga. Dengan makanan yang kubawa ini, mari kita makan bersama dan berdoa untuk kesembuhan Alva.”

Mereka berdoa kemudian mulai makan. “Mari kita perkenalan dulu. Kalian sudah tahu Alva. Kakak sudah tahu Nia karena dia tetangga. Sekarang, nama kakak Alvia. Aku harap dapat mengenal kalian juga.”

“Berarti aku tidak perlu memperkenalkan diri lagi,” ucap Nia dengan nada bercanda.

“Nama saya Laras.” Perkenalan sederhana dari Laras.

“Nama saya Rendra. Sebenarnya saya sudah menjadi teman Alva sejak SMP tapi baru sekarang dekat dengannya.”

“Benarkah, Rendra?” Pertanyaan Alvia dijawab Rendra dengan anggukan. Alvia memandang Alva yang menunduk untuk makan. Dia menyuap makanannya secara perlahan. “Aku yakin kamu tahu apa yang dialaminya. Jadi, aku berharap agar tidak melakukan hal yang sama kepada Alva.”

“Ah, itu…. Aku berjanji.”

Nia terlalu penasaran saat itu. “Memangnya kenapa?”

Komentar