arrow_back

Lembayung Senja

arrow_forward

“Ira! Main yuk!” teriak seorang gadis kecil di depan sebuah rumah.

“Ma! Ira pengen main ya!” bujuk gadis bernama Ira itu pada ibunya.

“Baiklah, tapi jangan lama-lama ya! Sudah sore soalnya,” jawab ibu Ira sambil mengelus kepala anaknya.

“Jadi kita kemana nih, Gita?” tanya Ira kepada teman yang memanggilnya.

“Kita main di hutan!” jawab gadis kecil bernama Gita itu.

Mereka pergi ke hutan dengan berjalan. Waktu semakin berlalu, hari semakin sore.

Di hutan itu, sudah ada Bayu, Ani dan anak-anak lainnya. “Ira sudah datang!” ucap Ani.

Rupanya Ira adalah seorang gadis kecil yang sangat disukai teman-temannya.

“Kita main apa nih?” tanya Ira.

“Kita main petak umpet!” jawab Gita.

Mereka memilih hutan sebagai tempat bermain petak umpet dengan alasan pohon yang banyak berarti tempat bersembunyi juga.

“Hompimpa alayum gambreng!”

“Ira jadi!”

“Yaah….”

“Kuhitung ya … satu!”

Anak-anak lainnya mulai memilih pohon mana yang mereka jadikan sebagai tempat bersembunyi, sementara Ira yang bertugas mencari, menutup mata dengan kedua telapak tangannya yang imut itu sambil menghadap kepada pohon terbesar seraya terus menghitung.

“Sepuluh!”

Ira membuka matanya. Keanehan pun terjadi, pohon besar yang berada tepat di hadapannya menghilang, begitu juga pohon yang lainnya. Yang ada hanya tanah luas tak berujung.

“Dimana aku?”

“Gita?! Ani?! Teman-teman?!”

Dia menoleh kesana-kemari mencari temannya. Sekali lagi, yang ada hanya tanah luas tak berujung. Dia menangis, merindukan teman dan ibunya namun hal itu tidak ada gunanya.

Datanglah seorang wanita kepadanya, seraya berucap “Janganlah bersedih.”

“Kamu bisa kembali bertemu temanmu asal kamu memperbolehkanku masuk.”

“Masuk?” tanya Ira.

Belum sempat mengiyakan, wanita itu berubah dan merasuki tubuh Ira. Ira merasakan sakit yang luar biasa. Pandangannya menghilang, tubuhnya tidak berasa lagi.


“Kok lama ya?” tanya Ani kepada Bayu di sebelahnya.

“Iya ya, biasanya dia jago loh,” jawab Bayu penasaran.

“Ira?” tanya Gita yang keluar dari tempat persembunyiannya.

Gita menyentuh pundak Ira. Dia dikejutkan oleh wajah Ira yang pucat dan pandangannya yang hilang. Ira mencekik leher Gita dan mengangkatnya.

“Ira? Ini bukan kamu, Ra!” jerit Gita. Dia sangat ketakutan sampai meneteskan air mata.

Ira menunjukkan taringnya kemudian menerkam leher Gita. Gita mulai pucat, kehabisan darah dan nyawanya pun hilang. Tubuh Gita yang lemah sekarang dilempar ke pohon besar itu.

Anak-anak lain yang menyaksikan hal itu, ketakutan. Mereka berlari terbirit-birit menyelamatkan diri.

Ira kemudian berjalan menuju sebuah gubuk, menyingkirkan semua yang mencegatnya. Bahkan hewan pun ketakutan melihatnya.

Dia menendang pintu gubuk itu. Di dalamnya ada seorang pria, bersemedi sambil membaca beberapa mantra dari sebuah buku yang nampaknya sudah kuno.

‘Wisnu!” teriak Ira.

‘Ira?” tanya pria bernama Wisnu itu sambil menutup buku kuno yang dipegangnya. Rupanya dia mengenal Ira.

“Aku bukan Ira. Aku adalah orang yang kau cari.”

Ira mendekati Wisnu perlahan, namun Wisnu malah ketakutan. Ketika Ira melompat menuju badannya, Wisnu melempar Ira ke dinding gubuk dan menghancurkannya.

Ira masih bisa bangun. “Kenapa kau menolakku?!” Suaranya berubah menjadi wanita dewasa.

Emosi Ira berubah, matanya memerah. Dia berlari ke arah Wisnu dan menghujaminya dengan tinjuan. Tinjuannya menjadi kuat walau tubuh sebatas anak kecil, sehingga membuat Wisnu muntah darah. Tubuh Wisnu mulai melemah, namun tinjuan Ira tidaklah berhenti.

Wisnu membuka buku kuno itu dan membacakan sebuah mantra. Ira tiba-tiba tenang sementara Wisnu tertawa jahat.


Pada sore itu juga, berkendaralah seorang pria di jalanan yang sepi dengan sebuah motor yang cukup butut bahkan terlihat tidak pantas untuk dipakai lagi. Dia memilih menyanyikan sebuah kidung untuk menghilangkan kebosanannya dalam perjalanan.

Dangar-dangar kami bahiyau (Dengarkanlah kami memanggil)

Dangar-dangar kami manyaru (Dengarkanlah kami menyeru)

Ikam turun jangan saurangan (Kamu pergi jangan sendirian)

Bawa’i kawan nang sarasi (Ajak teman yang sebaya)

Kidung itu bernama Radap Rahayu. Secara harfiah, memang kidung itu seakan nasib si pria yang turun saurangan dan alangkah baiknya membawa teman. Namun makna sebenarnya, kidung itu menjadi panggilan terhadap makhluk halus yang biasanya dalam bentuk bidadari. Pria itu rupanya penyanyi kidung untuk tarian Radap yang berlatih selama perjalanan untuk pertunjukan besok.

Mendengar kidungnya itu, turunlah tujuh sosok wanita dari langit di tengah silaunya matahari. Mereka memakai jubah berwarna kuning keemasan dan selendang hijau di leher mereka. Masing-masing dari mereka membawa kendi kecil yang berisikan bunga, mereka ambil dan menaburkannya di jalanan.

Pria itu singgah sebentar, mencoba menghampiri mereka. Dia menyentuh tangan salah satu dari mereka. Bidadari itu memakai pusaka di kedua lengannya.

Ikam turun tangan dinginan (Kamu turun dengan tangan yang dingin)

Mamakai pusaka nang sarasi (Memakai pusaka yang serasi)

Kidung itu menggema dan anehnya, diiringi dengan gamelan dan gong. Hal tersebut membuat pria itu ingin menari. Namun dia sadar, bukan dia yang menyanyikan kidung itu. Sekarang pria itu bingung dari mana asal nyanyian itu.

Ketika pria itu memandang wajah ketujuh bidadari, mereka tersenyum menyeringai. Bidadari yang dipegang tangannya, genggaman tangan si pria mengarah ke lengan namun bidadari itu menahannya erat. Rupanya pria itu ingin mengambil pusaka, padahal hanya boleh digunakan oleh para penari dan bukan untuk disalahgunakan.

Mata ketujuh bidadari memerah, sementara pria itu berusaha lepas dari genggaman tangan. Lepaslah kepala mereka kemudian menghantam pria itu, menghisap darahnya sampai habis. Pria itu mulai pucat dan akhirnya kehilangan nyawa.

Tidak sampai disana, mereka menunjukkan taringnya dan mulai mengoyak-ngoyak wajah pria itu. Wajahnya hancur, tak berbentuk lagi.

Mereka mulai mengoyak baju pria itu, mengupas kulitnya, mematahkan tulang rusuknya dan mengambil jantungnya yang masih berdetak. Mereka berebut memakan jantung itu.

Dihancurkanlah tubuhnya, ada yang mengambil usus dan ginjalnya. Mereka memakannya dengan rakus.

Setelah organ dalam pria itu habis dilahap, mereka kembali masuk ke tubuh bidadari dan terbang meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan.

Ternyata mereka adalah Kuyang yang menyamar sebagai bidadari. Mereka marah kepada pria itu karena berani menyanyikan kidung itu bukan pada waktunya.


Hari semakin senja. Ibu Ira sedang memasak di rumahnya, menyiapkan makan malam nanti. Namun dia khawatir karena Ira belum pulang. Dia sambil memandangi jalan, menatapi kesepian. Hanya hembusan angin yang bisa didengar.

Dulunya, desa yang didiami keluarga Ira adalah desa yang ramai. Namun banyak warga yang memilih pindah karena sering mengalami hal menyeramkan. Akhirnya rumah-rumah terbengkalai di desa itu.

Keluarga Ira memilih tetap tinggal disana, karena rumah itu warisan nenek Ira. Lagipula, rumah itu satu-satunya rumah baanjung wan babubungan tinggi di desa.

Masakannya sudah matang. Ibu Ira mematikan kompor dan menyajikan makanan itu di meja makan yang berbentuk bundar. Dia menutupnya dengan tudung saji yang terbuat dari rotan.

Dia masih menunggu suami dan anaknya karena mereka masih belum pulang. Ibu Ira pun duduk di depan pintu, kembali melihat ke kiri dan kanan berharap mereka muncul dari sana. Dia menghirup napas dan menghembuskannya.

Tiba-tiba, ibu Ira merasakan udara dingin berhembus di leher belakangnya. Dia menengok dan di belakangnya sudah ada seorang sosok yang kemudian menendang ibu Ira sampai terpelanting jatuh menimpa tangga dan terbaring di halaman. Sosok itu membanting pintu secara keras.

Tak lama kemudian, datanglah suaminya yang tentu saja juga ayah dari Ira. Dia datang dengan motor bututnya dimana bunyi knalpotnya terdengar menggema. Dia kemudian parkir di halaman.

“Ngapain kamu tiduran di halaman?” tanya sang suami sambil tertawa.

Dia pun naik ke rumah dan membuka pintu dengan mudahnya. Istrinya bangun terheran-heran kemudian menyapu pasir yang menempel di bajunya dan ikut naik.

“Kamu mandi duluan,” kata sang suami sambil menunjuk kamar mandi dan menyerahkan handuk. Mengisyaratkan bahwa istrinya perlu mandi sekarang juga, sementara dia duduk dekat meja makan.

Ibu Ira paham maksud sang suami dan dia langsung masuk ke kamar mandi. Di kala dia mengguyuri badannya dari kendi itu, anehnya air itu terasa kental. Ketika dia melihat isinya, ternyata darah. Dia langsung mengambil handuk dan keluar dari kamar mandi.

‘Sudah selesai?” tanya sang suami.

Sang istri hanya terdiam pucat dan duduk di dekat meja makan. Suaminya mengambil handuk kemudian pergi ke kamar mandi. Ketika sang suami mulai mandi, tercium bau terbakar dari dapur.

“Bukankah kompor tadi sudah kumatikan?” gumam ibu Ira.

Dia pergi ke dapur dan melihat sebuah sosok yang seperti manusia namun tubuhnya diliputi api. Dia membakar lantai dapur dengan kakinya.

Tiba-tiba, sosok itu menoleh ke arah ibu Ira. Dia mulai mendekat, api semakin menyebar selama dia berjalan. Dia berhadapan secara dekat dengan ibu Ira dan membuat ibu Ira ketakutan. Ibu Ira menutup matanya, tidak ingin melihat sosok itu.

Kemudian secara mengejutkan, guyuran air membasahi sosok itu. Dia berteriak kesakitan kemudian terbang pergi melalui jendela yang terbuka. Api di lantai juga padam akibat guyuran air itu.

Ibu Ira mulai membuka matanya dan sosok itu sudah menghilang. Dia berpaling ke belakang dan tidak ada orang disana. Dia menengok ke jendela yang membuka-tutup seperti diterpa angin kemudian menguncinya. Dia memastikan bahwa kompornya benar-benar mati, sehingga bencana yang lebih besar tidak akan terjadi.

Ibu Ira yang keheranan akan kejadian itu, kembali ke ruang makan. Suaminya baru saja selesai mandi dan tidak ada tanda-tanda mandi darah.

“Kamu belum ganti baju?” tanyanya. Ibu Ira pun sadar kemudian pergi ke kamarnya untuk berpakaian sambil memikirkan dari mana datangnya air itu.


Saat itu Wisnu membolak-balik halaman dari buku kuno itu, mencari mantra yang tepat untuk dilafalkan. Setelah beberapa saat, dia menemukan yang diinginkan namun dengan syarat meletakkan buku tersebut ke rihal besar di depan patung terbesar yang terletak di candi.

Dia menggendong Ira di punggungnya sambil pergi dengan jalan kaki menuju candi yang dimaksud. Perjalanannya akan cukup jauh mengingat candi itu bisa dikatakan terpencil dan jauh dari peradaban.

Sesampainya disana, candi itu terpagar oleh bambu. Wisnu kemudian menurunkan Ira dan berusaha membuka pagar itu sekuat tenaga namun tidak berhasil.

“Kamu lemah!” ucap Ira. Ira meletakkan tangannya ke pagar tersebut dan menghancurkannya seketika. Patahan bambu itu menyebar kemana-mana.

Wisnu terjatuh karena ketakutan. Ira kemudian menghampirinya sementara Wisnu mulai mundur.

“Aku tahu keinginanmu. Biarkan aku mewujudkanya.”

Wisnu keheranan sementara Ira mengambil buku kuno dari tangannya dan membawakannya ke komplek candi. Wisnu hanya mengikuti Ira.

Terdengar suara gemuruh dari tanah yang membuat Wisnu menoleh ke belakang untuk melihat asalnya. Tiba-tiba, bambu yang telah dihancurkan kembali tumbuh dan membuat jalan keluar benar-benar terhalang.

Wisnu kembali ketakutan setelah melihat hal tersebut. Sementara itu Ira sudah berjalan jauh dan membuat Wisnu harus mengejarnya.

Mereka melewati sebuah jembatan kecil yang membentang di atas danau kecil berair keruh. Ketika melewatinya, air mulai beriak kemudian muncul buaya putih muncul dari danau itu.

Buaya itu menghantam tangan Ira yang sedang memegang buku. Terjadi perkelahian disana. Ira berhasil menyelamatkan buku itu dan melemparkannya kepada Wisnu. Wisnu berhasil menangkapnya namun buaya itu menelan Ira dan kembali ke danau. Riak di air hilang, membuatnya menjadi jernih dan terlihat bahwa sebenarnya danau itu dalam.

Wisnu melanjutkan perjalanannya dalam mencari patung terbesar. Akhirnya dia menemukannya, patung itu sudah diliputi oleh lumut dan tanaman merambat.

Dia ingin meletakkan buku kuno itu di atas rihal yang terbuat dari bambu itu. Namun sebelumnya dia membuka buku itu tepat di halaman tertulis mantra yang diinginkan.

Kemudian terdengar bunyi semak-semak terinjak. Datanglah buaya putih itu lagi. Dia memuntahkan seseorang namun bukan Ira melainkan seorang wanita berpakaian serba putih.

‘Serahkan buku itu! Biarkan aku hidup abadi!”

“Tidak akan! Aku hanya ingin Putri kembali!” tolak Wisnu. “Kamu sudah berbohong bahwa kamu tahu maksudku!” Wanita itu tertawa jahat mendengar perkataan Wisnu.

“Kamu ‘kan yang membunuhnya?!” tanya Wisnu marah. “Aku tahu kamu memakannya hidup-hidup demi keinginan hidupmu abadi!”

Wanita itu memerintahkan kepada buaya untuk menyerang Wisnu. Wisnu berusaha kabur tapi kakinya dihantam oleh buaya itu dan putus. Wisnu tetap lari dengan kakinya yang pincang dan darah yang berceceran.

Wisnu berhasil sampai ke jembatan, namun tubuhnya melemah akibat darah yang terus berkurang. Akhirnya dia pun mati dan terjatuh ke danau yang dalam itu. Danau yang jernih perlahan berubah menjadi merah.

Si wanita mengetahui hal itu kemudian memerintahkan buaya putih untuk mengambil buku itu. Buku itu sekarang berada di tangan si wanita. “Akhirnya aku akan hidup abadi!” ucapnya kemudian tertawa jahat.

Dia membuka buku itu tepat dimana mantra yang dia inginkan tertulis, meletakkannya di rihal itu kemudian membaca mantra itu. Tanah mulai berguncang, patung di belakang rihal itu mulai retak dan menimpa si wanita.


Ibu Ira kembali setelah berpakaian. Beliau kemudian menceritakan tentang apa yang terjadi di dapur.

“Yang kamu lihat itu namanya hantu api. Seandainya di desa ini ada penghuni lain, mungkin kita akan mengadakan baarak kitab agar tidak ada kebakaran yang lebih besar,” ucap suaminya yang berbaring dengan bantal di pinggul kemudian bangun dan menduduki bantal tersebut. “Oh ya, dimana Ira?” tanya sang ayah.

“Tadi dia bilang ingin main tapi belum pulang,” jawab istrinya. “Tunggu, kenapa kamu menduduki bantal?”

“Astaga, aku tidak sengaja”

Dia langsung mengambil bantal tersebut. Ketika dia ingin menaruhnya ke kepala sebagai tanda penghormatan, keluarlah pipijit yang sangat banyak dan mulai merambah ke wajahnya.

Dia berteriak tidak karuan seraya membanting bantal itu ke lantai. Mencoba berlari ke arah kamar mandi, dan membasuh mukanya. Entah kenapa, air itu kembali berubah menjadi darah, akhirnya wajahnya memerah.

Ketika dia keluar dari kamar mandi, Ibu Ira pun ketakutan. Tapi entah dari mana, guyuran air membasahi tubuh sang suami.

Tubuh sang suami langsung bersih. Percikan air itu mengenai bantal dan pipijit itu langsung mati. Ketika bantal itu ditepuk, keluarlah setumpuk pipijit yang sudah mati.

“Dari mana datangnya air ini?” tanya Ibu Ira.

“Dari rasanya, ini air dari telaga yang ada di candi.”

Mereka pun bersepakat untuk pergi ke candi. Ayah Ira membawa istrinya dengan motor butut kesayangannya itu.

Sesampainya di candi, mereka menemukan pintu gerbang terhalang oleh bambu. Ibu Ira seolah teringat sesuatu, dia mengucapkan sebuah mantra dan bambu itu hancur. “Inikah yang diajari ibuku dulu?” gumamnya.

Mereka pergi ke dalam dengan cepat, meninggalkan motor di luar candi, melewati jembatan yang melintang di atas danau itu. Dari jembatan itu, ayah Ira mengambil air yang saat itu jernih dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam mulut kemudian memuntahkannya.

“Ya, ini airnya.”

“Tapi bagaimana air ini bisa sampai ke rumah kita?” tanya ibu Ira.

“Aku tidak tahu, tapi lihat disana, kenapa patung itu roboh?” tunjuk ayah Ira.

Ayah Ira bergegas menuju ke sana, sang istri hanya mengikutinya. Akhirnya, mereka menemukan jasad wanita berpakaian putih. “Dia mirip ibuku.”

“Kurasa ini memang ibumu, aku mengenalinya.”

“Tapi apa yang dia lakukan? Kukira saat dia menghilang, sudah mati.”

Ayah Ira melihat sebuah cahaya di antara reruntuhan patung. Dia membersihkannya. Ternyata cahaya itu berasal dari buku kuno itu. “Kehidupan abadi.” Ucapan tersebut sangat menjelaskan apa yang ingin dilakukan oleh nenek Ira.

Tiba-tiba, datanglah buaya putih besar dari semak-semak. Ibu Ira sangat ketakutan dan memeluk suaminya. Ternyata, buaya itu memuntahkan seorang gadis kecil. Itu Ira. Tangannya sedikit lecet mengingat pertarungan kecilnya dengan buaya.

“Ira?” tanya ibunya.

“Ibu? Ayah?” Mereka berpelukan sesaat disana.

“Apa yang wanita ini lakukan kepadamu sehingga kamu ditelan buaya putih itu?” Ketika Ibu Ira ingin menunjuk buaya putih itu, dia sudah menghilang.

“Mengapa kamu menuduh ibumu sendiri?”

“Karena dari seluruh desa kita, hanya dia yang bisa memakai semua mantra di buku itu! Saking pelitnya, dia hanya mengajariku sedikit.”

“Aku diberitahu oleh buaya itu bahwa aku dirasukinya, sampai aku membunuh Gita dan paman Wisnu.”

“Wisnu? Ternyata … saudaraku itu—” Ayah Ira berpikiran bahwa Wisnu menghilang.

“Lupakan hal itu. Kita perlu cepat pulang, hari hampir malam,” pungkas Ibu Ira. Dia melihat-lihat buku itu dan menemukan sebuah halaman.

“Kehidupan damai. Baiklah, akan kucoba.” Dia meletakkan buku itu ke rihal beton itu. Membaca mantranya. Cahaya terang muncul dari buku itu, seolah menjadi suar yang bersinar. Dia meletakkan sedikit batu untuk menahan agar halaman itu tidak berpindah karena tertiup angin.

“Semoga itu bertahan lama, tapi sekarang saatnya kita pulang.” ucap Ibu Ira. Mereka keluar dari candi itu. Sang buaya mengikuti dari belakang, seolah ingin mengucapkan “Sampai jumpa!” kepada mereka, namun dia berhenti di depan pagar.

Keluarga Ira pun menaiki motor butut sang ayah dan pulang. Seperginya mereka, tanah di candi bergemuruh kemudian bambu tumbuh lagi menutup jalan masuk.

Di jalan, mereka juga melihat motor butut dan jasad pria yang hancur itu, tapi mereka tidak menghiraukannya karena mereka benar-benar ingin pulang, takut hal buruk terjadi kepada mereka lagi.

Mereka sampai di rumah. Mereka naik dan masuk. “Kamu mandi ya. Lain kali, kalau sudah senja, kamu jangan main lagi.”

Satu pertanyaan yang belum terjawab adalah bagaimana bisa buaya putih besar itu melahap Ira dan mengeluarkannya dalam keadaan hidup. Mungkin dia adalah penjaga keluarga Ira atau sesuatu yang dia makan akan terpindah ke dunia lain terlebih dahulu. Tidak ada yang mengetahuinya. Buaya putih itu tetaplah menjadi misteri.

Hari pun berubah menjadi malam. Pintu ditutup dan dikunci. Mereka pun hidup damai setelahnya.

Komentar