arrow_back

Lembayung Senja

arrow_forward

Mendengar mitos bahwa sekolahku itu bekas rumah sakit jiwa, terkadang aku merasakan bahwa mitos itu benar adanya. Banyak hal janggal yang kualami selama aku sekolah disini.

Hari ini, aku, Bima, Widya dan Ayu akan menguji mitos ini secara serius. Ketika waktu pulang tiba, kami pun tetap berada di kelas kami, bersiap-siap untuk melaksanakan pengujian.

Beberapa menit telah berlalu, keputusan pun sudah bulat. Tujuan pertama kami adalah lantai dua dari sekolah kami, entah ada apa yang ada disana, aku belum mengetahuinya.

Masalah utamanya adalah, ruangan di lantai dua terlalu banyak, sehingga kami bingung apa yang ingin diselidiki terlebih dahulu. Kami pun memilih berpencar, aku dengan Bima, Widya dengan Ayu.

Ruangan yang pertama kami selidiki adalah laboratorium IPA, entah apa alasan sekolah meletakkan ruangan tersebut di lantai atas. Seperti yang kami duga sebelumnya saat kami memasuki ruangan itu, keadaannya seperti terbengkalai sudah lama. Banyak alat peraga yang dipenuhi dengan sarang laba-laba. Di ruangan itu terdapat banyak toples yang berisi bangkai kodok.

“Iyuh, menjijikkan,” gumamku.

“Mungkin itu bekas penelitian siswa-siswa terdahulu,” ucap Bima menenangkanku.


Aku dan Widya pergi ke ruangan untuk ekstrakurikuler menjahit. Ruangan tersebut cukup berjauhan dengan laboratorium IPA yang dipilih Bima dan Anton. Pintunya cukup keras untuk dibuka.

“Mitos sebodoh apa yang mereka buat dengan ruangan ini?”

“Ya, kan banyak, Wid. Tapi kita dulu yang pasti harus tahu kebenarannya.”

“Hah! Ini membuatku malas!” Tampaknya Widya benar-benar tidak suka dengan kegiatan ini. Aku menghiraukannya dan mulai menyelidiki ruangan ini.

Alat-alat menjahit sudah berdebu, banyak diantaranya yang tidak bisa dioperasikan. Sementara itu, Widya hanya diam di lorong, tidak ingin masuk.

Di ruangan ini, ada lemari yang cukup besar. Aku membukanya. Di dalamnya terdapat alat peraga yang memakai pakaian batik indah.


Kami menjelajahi ruangan ini, dan kami menemukan peti yang cukup besar tersandar di dinding. Bima membukanya, di dalamnya terdapat rangka tubuh yang tertutupi plastik hitam.

“Kenapa mereka membiarkan rangka tubuh ini di dalam peti? Seharusnya mereka menunjukkannya,” ucap Bima.

“Tapi, Bim. Menurutku itu rangka tubuh asli dari manusia.”

Aku melihat wajah Bima sedikit pucat, kemudian dia berkata “Bohong!”

“Mana mungkin ini rangka tubuh asli, haha.” Aku mulai mendekati peti itu, mengangkat tangan dari rangka tubuh itu, dan menyentuh jari kelingkingnya. Jari itu patah dan hancur dengan mudahnya.

“AAA!!!”

Aku yang terkejut dengan teriakan itu menaruh kembali tangan rangka itu. “Dari mana teriakan itu?”

“Sepertinya itu Ayu.”

“Ayo kita kesana!” Kami pergi ke sumber suara. Terlihat dari jauh, Ayu memeluk Widya, wajahnya pucat karena begitu ketakutan.

“Apa yang terjadi, Yu?” tanya Bima.

“Ta-tangannya be-bergerak!”

“Tangan apa?” Ayu menunjuk ke dalam ruangan dengan tangannya yang gemetaran. Aku dan Bima memberanikan diri masuk ke dalam.

Kami pun menemukan yang di maksud Ayu, alat peraga yang terletak di dalam lemari. “Pakaiannya cukup bagus,” ucap Bima sambil menyentuh tangan alat peraga. Setelah beberapa saat, dia seolah menyadari sesuatu dan melepas tangan itu.

“Ada apa?”

Aku pun disuruhnya melihatnya dengan mataku sendiri. Aku sempat bingung, sampai aku menyadari, jari kelingking dari alat peraga itu putus.

“Jangan-jangan—”

“Ah!” teriakku menyadari hal ini.

“Ya, ini seakan memiliki roh yang sama dengan yang di laboratorium IPA.”

“Pokoknya, kita harus menanyakan ini kepada Pak Arya!” ucapku sambil keluar.

“Siapa itu Pak Arya?” tanya Widya.

“Kamu belum tahu? Dia ‘juru kunci’ sekolah kita loh! Masa kamu gak tau?” ucap Ayu yang mulai reda ketakutannya.

“Gak ah! Aku males liat beliau.”

“Kenapa?” tanya Ayu.

“Beliau aneh.”

“Aneh kenapa?”

“Beliau sering bersenandung yang menurutku gak jelas.”

“Aku gak pernah liat beliau kayak gitu,” sahut Bima.

“Ah, udahlah.” Widya yang nampak mulai tidak menyukai dengan kegiatan ini, turun terlebih dahulu.

“Wid!”

“Udah lah, Yu. Perasaannya mungkin kurang enak. Lebih baik kita biarkan dia pulang.” Bima mencoba membujuk Ayu, mengingat Widya sebagai rekannya di penyelidikan ini.

“Jadi, apa tujuan kita selanjutnya? Nanyain dulu apa nyari petunjuk lagi?” tanya Bima.

“Lebih baik kita tanyakan dulu,” sahutku.

“Tapi aku takut apa yang dibilangin Widya tadi,” kata Ayu.

“Tidak apa-apa, kamu bersama kami sekarang,” kata Bima.

“Baiklah, mari kita turun sekarang.”


Aku telah sampai ke rumah. Hari ini sebenarnya sebuah kebetulan bahwa orang tuaku sedang tidak ada di rumah, jadi aku sendirian.

Aku pulang karena aku malas bertanya dengan pak Arya karena keanehan beliau, lagipula aku mempunyai referensiku sendiri tentang sejarah sekolahku. Aku mulai mencari di tumpukan bukuku, dan akhirnya aku menemukannya. Aku lebih memilih membaca buku itu daripada bertanya dengan pak Arya.


“Halo? Ada orang di rumah?” tanyaku sambil mengetuk pintu beberapa kali.

Kami sudah lama berdiri disini menunggu seseorang membukakan pintu dan merespon kedatangan kami, tapi hasilnya tidak ada. Aku menarik gagang pintu, mencoba membukanya, ternyata terkunci.

“Sepertinya beliau tidak ada di rumah,” ucapku.

“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Ayu.

“Berarti kita harus menyelidikinya sendiri,” jawab Bima.

“Tenanglah, aku kembali.” Ternyata, itu suara Widya. Dia datang dengan membawa beberapa senter. Kami terkejut dengan kedatangannya.

“Aku hanya kasihan dengan Ayu,” ucapnya sambil membagikan senter. “Dan aku membawa informasi.” Widya tersenyum saat mengucapkan hal tersebut.

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Seperti yang sudah kita tahu sebelumnya, sekolah ini sebenarnya bekas rumah sakit jiwa.”

“Sudah kuduga,” ucap Bima.

“Jangan potong pembicaraanku!” Widya begitu marah ketika pembicaraannya dipotong. Bima pun langsung terdiam.

“Salah satu ‘kasus’ yang terkenal adalah seorang pasien wanita, dia dikenal karena ketidakwarasannya yang diduga disebabkan oleh stres. Ada yang menyebutnya bunuh diri, ada juga yang menyebutkan pihak rumah sakit jiwa yang tidak bertanggung jawab akan wanita tersebut.”

“Nah! Sudah selesai! Silahkan bicara bagi yang mau,” pungkas Widya.

“Aku tidak ingin berpikiran negatif, tapi aku lebih berasumsi bahwa pendapat kedualah yang lebih benar. Aku dan Anton sudah melihat rangka tubuh asli di laboratorium IPA, menurutku rangka tubuh itulah milik wanita itu, dan rohnya masuk ke alat peraga yang ada di ruangan ekskul menjahit itu.”

“Untuk apa senter itu?” tanyaku.

“Untuk pergi ke ruangan UKS, ada yang harus kita ketahui dari sana, tapi disana ‘kan gelap?”

“Tapi kan, UKS kita dua, di lantai satu dan di lantai dua.”

“Oleh karena itu, kita akan bagi tugas lagi. Karena aku bersama Ayu dan Ayu sepertinya kurang suka dengan lantai dua, maka aku memilih lantai satu saja.”

“Otomatis kami ke lantai dua?” tanya Bima.

“Ya, setuju dulu gak, Yu?” Ayu hanya mengangguk.

Aku dan Bima kembali ke lantai dua, menuju UKS di lantai sana. Ternyata benar, ruangan itu gelap, kami menyalakan senter itu dan mulai menjelajah ruangan itu.

Ruangan itu masih rapi, tentu saja mengingat ruangan itu masih dipakai karena aku tahu beberapa siswi di lantai dua sering kesurupan dan dibawa ke UKS. Tapi anehnya, ada satu kasur yang cukup usang, seakan tidak pernah dipakai sama sekali.

“Apakah ruangan ini bekas salah satu ruangan dari rumah sakit yang masih dipakai?” tanya Bima padaku.

“Entahlah. Pengetahuanku tentang sekolah ini masih kurang.”


“Wid, kenapa harus UKS sih?”

“Ada hal yang harus kita tahu.”

“Apa itu?”

“Wanita itu stres ketika dia hamil. Sedangkan saat dia melahirkan, bayinya sampai sekarang tidak tahu dimana letaknya. Hal itu semakin membuat dia tidak waras.”

“Berarti tujuan kita?”

“Ya, mencoba mencari paling tidak rangka tubuh bayi itu.”

“Baiklah.”


“Apa ini?” ucapku sambil melihat ke bawah kasur dan mengambil sebuah kain.

“Tapih bahalai ? Untuk apa itu?” tanya Bima.

“Biasanya kalau tidak untuk saat melahirkan, untuk menutup mayat.”

“Kalau kita katakan untuk menutup mayat, kita sudah menemukan rangka tubuh itu tertutup oleh plastik besar. Berarti ini untuk saat melahirkan.”

“Melahirkan? Bukannya sekolah ini bekas rumah sakit jiwa? Bukan rumah sakit biasa?”

“Iya juga ya.”

“Lebih baik kuambil saja, nanti kutanyakan dengan Widya tentang tapih bahalai ini. Jadi, kita keluar saja, kurasa hari semakin sore,” ucapku.


Ayu selalu memegang tanganku, seolah tidak ingin terpisah denganku, sementara aku menyoroti sudut demi sudut ruangan ini dengan senterku.

Di ujung ruangan, aku menemukan plastik hitam besar, seolah menutupi sesuatu. Aku memberanikan diri membukanya, ternyata ada peti disana.

“Pegang senterku.”

Aku berusaha membuka peti itu dengan kedua tanganku, dan di dalam peti itu ada plastik lagi. Kubuka plastik itu, dan akhirnya kutemukanlah rangka tubuh manusia yang kecil.

“Akhirnya kita menemukannya. Berarti apa yang orang bicarakan itu benar.” Aku menutup kembali rangka dan peti itu, dan Ayu menyerahkan kembali senterku.

“Baiklah, tugas kita selesai. Mari kita keluar,” ucap Widya.


Kami berkumpul di halaman sekolah, membicarakan tentang hal ini.

“Apa yang kalian temukan?” tanya Widya.

Aku menyerahkan tapih bahalai yang hanya kulipat secara kumuh itu kepadanya.

“Apa itu?” tanya Ayu.

“Ini namanya tapih bahalai, Ayu. Biasanya ini digunakan untuk menutup jasad,” jawab Widya.

“Tapi kurasa tidak kali ini, tapih itu dipakai saat melahirkan. Aku setuju dengan pendapatmu, Wid. Ada seorang wanita yang pernah dirawat disini, yang kemungkinan hanya bersisa rangka tubuh dalam peti di laboratorium IPA lantai dua yang aku dan Anton temukan itu,” kata Bima.

“Peti? Kami juga menemukan rangka tubuh dalam peti di UKS lantai satu tadi,” kata Ayu.

“Sepertinya kita harus melihatnya dengan mata sendiri. Ayu, mari kita ke lantai dua!” seru Widya.

“Baiklah.”


“Apakah kamu ingin melihat rangka tubuh itu juga, Bim?”

“Tentu!” sahut Bima bersemangat.

Kami langsung menuju ke UKS. Sesampainya disana, keadaannya berbeda jauh dengan UKS yang dilantai dua. Kurasa UKS ini jarang dipakai, sehingga lebih terlihat sebagai gudang.

“Dimana peti itu?” tanyaku.

“Mungkin tertutup plastik itu,” jawab Bima sambil menyorotnya dengan senter.

Aku langsung membuka plastik itu, dan benar saja ada peti disana. Aku membuka peti itu dengan tangan kananku dan memegang senter di tangan kiriku walaupun kesusahan, ternyata terdapat plastik lagi. Aku membuka plastik itu dan benar saja ada rangka tubuh kecil disana.

“Perlukah kita buktikan lagi?”

“Kurasa tidak perlu, karena rangka tubuh bayi lebih rapuh.”

“Ah, gak ah,” sahut Bima sambil mengambil rangka itu. Kepala rangka itu terlepas.

“Sudah kubilang, Bim.”

Bima yang cukup pucat mengembalikan rangka itu ke peti lagi, dia menutupnya langsung dan berlari.

“Bim, tanggung jawab!” teriakku sambil mengejarnya.


Aku baru saja membuka peti ini, dan rangka itu bergerak. Ayu ketakutan, dia berlari keluar meninggalkanku. Sementara itu, rangka itu mulai bangun. Aku yang ketakutan, melepas peganganku dari peti itu dan menghancurkan lengan kirinya.

Ketika aku keluar, dia menghilang. “Kemana menghilangnya?”

Aku mulai menyusuri lorong di lantai dua ini. Kemudian aku tersadar, pintu ruang ekskul menjahit itu tertutup.

“Membukanya saja susah, apalagi menutup. Bagaimana mungkin tertutupnya pintu itu tidak ada suaranya?”


BRAK!!

“Suara apa itu?” tanyaku. Aku yang berada di halaman sekolah, memandang lantai dua yang sepertinya sumber suara. Aku susah melihatnya, mengingat silaunya cahaya matahari ini.

Aku diterpa kebingungan, apakah aku hanya akan terus berlari sementara dikejar Anton, atau aku pergi menemui Ayu yang di atas sana. Aku pun memilih pergi ke atas saja.


“Ayu!” teriakku sambil menggedor pintu ruangan itu karena benar-benar susah untuk dibuka.

Tiba-tiba itu terbuka secara keras, mendorongku sampai hampir jatuh dari balkon. Ketika kulihat siapa mendorong pintu itu, ternyata itu adalah Ayu, dengan memakai batik yang dia tidak memakainya sejak pagi tadi.

Aku kemudian mendengar langkah kaki cepat dari tangga, ternyata itu hanya Bima. “Ada apa?” tanyanya.

Ketakutanku yang menjadi-jadi membuatku bisu. Aku hanya memberi isyarat dengan memandang kepadanya kemudian kepada Ayu. Dia sepertinya memahami apa maksudku.

“Ayu?” Bima mulai mendekati Ayu.

“Aku bukan Ayu!” Teriakannya itu mengejutkanku.

“Lalu siapa dirimu?” tanya Bima padanya.

“Aku adalah ibu dari bayi yang kau patahkan lehernya itu!”

Aku mencoba memahami perkataannya itu, kemudian aku tersadar. “Bima, sepertinya aku tahu apa yang kamu lakukan.”

Bima mulai ketakutan, dia berlari menuju tangga lagi, tapi kali ini, Anton berhasil menghalanginya.

“Mau kemana kau?” ucap Anton.

“Baiklah! Aku salah!” teriak Bima yang mulai panik dan terjun dari balkon. Dia terjatuh dengan kepalanya duluan dan dia pingsan. Beruntung sekali kepalanya tidak pecah.

Sontak Ayu menghilang di depan mata kami. Kami pun turun mencoba mendekati Bima.

Dalam perjalanan turun, Anton berkata, “Ceritakan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Aku tidak bisa menceritakannya sekarang,” sahutku.


“Dimana aku?”

Sebelum aku berada di kamar persalinan ini, aku berada di lantai dua sekolahku. Hanya saja, saat aku ketakutan, pandanganku tertutup dan aku merasa digerakkan oleh seseorang. Saat itulah, aku tidak merasakan tubuhku lagi.

Aku hanya bisa melihat persalinan seorang wanita. Salah satu dokter mengangkat bayi yang baru keluar dari rahim itu. Namun ekspresi dokter itu berubah. Dia memakan bayi itu hidup-hidup, bahkan dia begitu rakus dalam melahapnya.

Wanita itu mulai memberontak, namun ternyata tangannya terborgol sehingga dia tidak bisa melakukan apa-apa.

“Ini sebenarnya siapa yang tidak waras?” tanyaku mencoba memahami.


“Bima? Kamu tidak apa-apa?” tanya Widya.

Seharusnya mustahil orang yang terjun dari lantai dua, apalagi jatuh dengan kepala lebih dahulu bisa sadarkan diri dalam waktu yang singkat. Rupanya, Bima cukup kuat sehingga dia dapat membuka matanya.

Kemudian, kami kedatangan seorang anak lelaki. Dia memandang kami dengan tatapan kosong. Dia menunduk, kepalanya terlepas dan berguling ke arah kami, berakhir dengan posisi tegak dan dia tersenyum menyeringai. Widya ketakutan, dia memegang lenganku dan berlindung di belakangku.

Tiba-tiba, wanita itu muncul lagi di hadapan kami, mengambil kepala anak lelaki itu dan mendekatkannya ke kepala Bima. Anak lelaki itu langsung mencabik leher Bima. Darahnya berhamburan kemana-mana. Hal itu memastikan Bima tewas di hadapan kami. Akhirnya, aku juga ketakutan.

“Tenanglah, kami tidak akan menyakiti kalian, selama kalian tidak menyakiti kami.”

Dia menggendong anak lelaki itu dan menghilang. Cahaya matahari yang menyilaukan terhenti, langit senja pun menunjukkan lembayungnya.

“Indah, tetapi jika muncul pasti menandakan bencana.”

“Ada apa?” tanya seorang wanita dengan langkah kaki terdengar di tangga.

Aku yang ketakutan, menoleh ke belakang. Ternyata itu Ayu, aku yakin itu benar-benar dia, karena dia masih dalam pakaian sekolah. Mengingat kami belum pulang sampai sekarang.

Sesampainya di bawah, dia cukup terkejut melihat Bima. “Apa yang terjadi?”

“Terlalu panjang untuk dijelaskan, Yu,” jawab Widya.

“Mungkin nanti ada waktunya kita berbagi cerita. Tujuan kita sekarang adalah pulang secepatnya, mengingat waktu sudah senja,” ucapku.


Beberapa hari setelah Bima dikuburkan, sepulang sekolah kami bercerita.

“Baiklah, siapa duluan?” tanyaku.

“Kalian saja, aku masih penasaran,” jawab Ayu.

“Jadi, seperti yang kalian tahu, kalian menemukan rangka tubuh itu di UKS lantai satu kan? Bima yang ‘bertangan gatal’ itu mengambil rangka itu dan leher rangka itu pun patah. Padahal aku sudah melarangnya, tapi dia tidak peduli denganku.” Widya dan Ayu mengangguk.

“Bagaimana denganmu, Yu?”

“Aku ketika ketakutan melihat rangka itu bergerak, berlari keluar. Tak lama kemudian, mataku tertutup dan aku seolah diculik. Kemudian aku diperlihatkan akan kejadian di alam gaib yang menurutku seperti masa lalu, seolah aku benar-benar berada disana. Sangat menyeramkan untuk diingat.” Suasana hening sesaat setelah Ayu menyelesaikan ceritanya.

“Kematian Bima ini, menyisakan beberapa pertanyaan,” ucapku.

“Apa itu?” tanya Widya penasaran.

“Kemana sebenarnya Pak Arya?”

“Iya juga ya, sampai hari ini kita belum melihatnya,” ucap Ayu.

“Padahal kita perlu kebenaran dibalik semua ini.”

“Bagaimana kalau kita coba lagi pergi ke rumah beliau?” saran Widya.

“Hm, ide bagus. Mari kita kesana.”


“Lah, kok bisa dibuka? Perasaan kemarin terkunci deh?” ucapku sambil membuka pintu rumah pak Arya.

“Permisi.”

Aku pun masuk ke dalam rumah itu bersama Widya dan Ayu. Rumah ini cukup rapi, untuk yang hanya seorang diri tinggal disini. Widya dengan berani menjelajah rumah ini, aku dan Ayu hanya mengikuti dari belakang. Dia mencurigai sebuah ruangan dan memasukinya. Ternyata itu adalah kamar pak Arya.

Di samping kasurnya, ada sebuah meja dan kursi, sepertinya tempat beliau menulis. Widya mendekat ke meja itu, dan dia melihat sebuah buku kemudian membacanya selama beberapa menit.


“Baiklah, Ayu. Meskipun ceritamu sepertinya mustahil terjadi, tapi nyatanya hal itu terjadi di waktu pak Arya masih muda. Dia mencatatnya di buku ini.”

“Wanita itu rupanya istri dari pak Arya sendiri. Karena kekurangan biaya, terpaksa operasi persalinan di lakukan di rumah sakit depan rumahnya ini.”

“Tulisan terakhirnya, dia merencanakan pergi untuk melaksanakan risetnya ke candi.”

“Candi? Mungkin kita bisa melakukannya nanti,” ucapku.

“Tapi apa alasan mereka merubahnya menjadi sekolah?” tanya Ayu.

“Untuk menutupi kejadian itu tentunya,” jawabku.

“Kau salah, Ton. Nyatanya pemerintah yang membuat bangunan ini menjadi sekolah, karena mereka berkali-kali membangun sekolah di tempat lain, semuanya berakhir bencana kecuali tempat ini. Hal tersebut pun diizinkan oleh pak Arya yang kau sebut sebagai juru kunci.”

“Pak Arya seharusnya tidak akan mau, dia akan membiarkan semua orang tahu bahwa terjadi pembunuhan di rumah sakit itu, tapi sepertinya pihak pemerintah yang memaksa beliau.”

Widya menjelaskan dengan sangat bagus, sehingga kami paham apa yang sebenarnya terjadi di sekolah.

Komentar