Anton, Widya, Ayu dan Doni adalah formasi baru setelah kematian Bima di sekolah mereka. Kali ini mereka menuntaskan niat mereka untuk menyelidiki sebuah candi yang terletak di hutan. Mereka kali ini diberi tugas untuk study tour, sebenarnya terserah para siswa untuk memilih kemana, namun entah kenapa tim ini memilih untuk pergi ke candi.
“Lah, kok candi nya jadi gini?” tanya Widya.
“Emangnya kenapa?” tanya Ayu balik.
“Beberapa bulan yang lalu aku kemari, belum seperti ini,” jawab Widya.
“Memang, selama beberapa bulan ada seorang pria yang merenovasi beberapa hal dari candi ini. Tidak semuanya, hanya gerbang ini dan patung di dalam sana,” kata Doni.
“Kamu tahu hal ini?” tanya Anton. “Aku hanya sering melihat beliau, karena aku sering lewat sini,” sahut Doni.
“Kita tidak salah memilih anggota baru,” ucap Anton.
“Jangan begitu, aku memohon kerja samanya saja,” kata Doni.
“Widya, apa hal yang bisa kita ketahui dari sini?” tanya Anton.
“Biar kubuka buku yang kubawa ini.”
Perhatian mereka teralihkan oleh bunyi knalpot yang begitu nyaring mendekat ke arah mereka.
“Ada apa ini anak-anak?” tanya seorang pria turun dari motornya.
“Itu pria yang kumaksud,” tunjuk Doni.
“Anu pak, kami ingin mempelajari lebih banyak tentang candi ini,” jawab Anton.
“Oh silahkan, saya hanya ingin melanjutkan pekerjaan saya.”
“Tunggu, bapak penjaga museum ‘kan?” tanya Widya. Beliau hanya tersenyum dan membawa kotak alat bersamanya. “Aku yakin itu beliau.”
“Siapa yang kamu maksud?” tanya Ayu.
“Beliau, aku yakin beliau penjaga museum itu,” jawab Widya. “Aku memilih untuk mengikuti beliau saja. Aku benar-benar penasaran dengan beliau.”
“Sejarah Candi Raya,” ucap Anton membaca judul buku itu. Dia pun membaca isi bukunya.
“Pada abad kedua belas masehi,berdirilah sebuah kerajaan bernama Tanah Arum. Sempat dipimpin oleh lima raja berturut-turut, namun akhirnya runtuh pada abad kelima belas masehi.”
“Baru saja aku mau nanya dimana kerajaannya, ternyata udah dijawab, sudah runtuh enam abad yang lalu,” komentar Anton.
“Diceritakan bahwa seorang pemuda bernama Singadarma berkelana di desa yang tidak diketahui namanya. Singadarma adalah penduduk kerajaan yang tersisa dari Kerajaan Tanah Arum yang diruntuhkan oleh beberapa kerajaan lain secara bersamaan. Dia pun mulai pergi menjauh dari tanah aslinya.”
“Di desa yang tidak diketahui namanya ini, dia menemukan sebuah hutan yang cukup besar dengan pohon beringin di tengahnya. Hal itu cukup menariknya, namun dia memilih untuk agak menjauh dari pohon besar itu. Pada akhirnya, dia mendirikan sebuah kerajaan baru yang tetap dinamainya sebagai Kerajaan Tanah Arum.”
“Hm, cerita yang menarik,” komentar Doni.
“Dari cerita ini seharusnya kita terlebih dahulu pergi ke hutan yang dimaksud ini. Kurasa masih ada sampai sekarang,” ucap Anton.
“Tapi bagaimana dengan Widya?” tanya Ayu.
“Mari kita mengambil keputusan bersama.” Mereka pun mendiskusikan hal ini, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi, namun pada akhirnya, pilihan mereka adalah menuju hutan dulu baru ke dalam candi. Mereka benar -benar ingin mengetahui jejak Singadarma ini dalam mendirikan Kerajaan Tanah Arum. Dan akhirnya, Study Tour mereka ditunda sementara demi kerincian legenda ini.
“Pak, anda mau membuat apa?” tanya Widya.
“Saya? Saya ingin membuatkan pagar untuk jembatan ini,” jawab pria yang membawa kotak alat itu. Widya mengangguk.
“Anu, saya boleh tau nama bapak?”
“Tentu, nama bapak Indra.”
“Berarti bener dong, anda penjaga museum kan?”
“Ya, tapi sudah dipecat.”
“Lah, kok dipecat? Padahal, anda bagus loh dalam menjelaskan benda-benda di museum itu.” Indra kemudian menjelaskan bahwa dia gagal menjaga sebuah buku. Ada yang mencurinya namun dia tidak sempat menangkap pelakunya.
“Buku yang mana?” tanya Widya lagi.
“Yang di dalam akuarium itu.”
“Astaga. Itu yang dicuri? Udah ketemu?”
“Sepertinya. Jadi, saya amankan dan saya kembalikan ke tempat seharusnya.” Widya kemudian menanyakan tempatnya.
“Di depan patung itu,” tunjuk pak Indra ke arah patung paling besar.
“Oh ya, kamu gak ikut mereka kah?” tanya pak Indra.
“Gak dulu, saya lebih senang bertanya langsung dengan orang yang tahu sejarah kota kita ini.”
Pak Indra hanya tersenyum. Sementara Widya mulai berkeliling untuk melihat bangunan candi ini.
“Menuju kesini kan?” tanya Anton.
“Kayaknya iya,” jawab Ayu.
“Masalahnya tidak ada ilustrasi di buku ini, jadi aku tidak tahu bagian mana yang dimaksud,” ucap Anton sambil membaca buku.
“Anton, awas kakimu!”Teriak Ayu.
Anton menurunkan bukunya untuk melihat apa yang di depan kakinya. Rupanya hampir saja kakinya terkait akar sebuah pohon yang agak mencuat. Dia pun melihat secercah sinar di antara timbunan daun.
“Pegang buku ini,” ucap Anton seraya menyerahkan buku yang dipegangnya. Dia mulai membersihkan timbunan daun itu, dan terlihatlah sebuah buku. Buku itu sepertinya kuno.
“Buku apa ini?” tanya Anton sambil mengangkat buku itu.
“Buku ini….”
“Ada apa?” tanya Ayu.
“Buku ini hanya ada dua di kota ini. Setahuku salah satunya di museum, namun salah satunya masih menghilang,” papar Doni.
“Wah, berarti ini buku yang sangat penting. Boleh kubuka?”
“Jangan dulu, lebih baik kita bertanya kepada yang tahu,” jawab Doni.
“Hm, benar juga. Ayu, kita tukeran buku.”
“Baiklah.”
Anton mulai memerhatikan ke sekitar. Di depannya dia melihat sebuah gubuk. Dia mendekati gubuk itu. Dia membuka pintunya secara perlahan. Decitan pintu itu begitu terdengar di telinganya. Ternyata isinya kosong dan dia pun menutup pintunya kembali.
Dia berpaling. Dia menyadari bahwa yang di depannya sekarang, hutan ini mulai meluas dan menjadi area yang nampaknya berbeda dari yang lain.
Dia kemudian berjalan ke arah sana. Pandangannya mulai kosong. Teriakan dari Ayu tidak bisa lagi didengarnya. Doni yang mencoba menghalangi pun ditepisnya.
Ayu dan Doni keheranan, kemana dia menuju. Mereka hanya mengikutinya secara perlahan. Sampai mereka tiba, di pohon beringin besar itu.
Akhirnya, dia tersadar. Dia mengguncang kepala dan mengusap matanya. “Dari mana aku tadi?” tanya Anton.
“Kamu tidak sadar?” tanya Ayu balik.
“Sepertinya ada sesuatu yang di dalam gubuk itu yang sempat memengaruhiku. Aku merasakannya namun tidak bisa mengendalikannya.”
Mereka kemudian dikagetkan dengan mayat seorang gadis yang tiba-tiba begitu saja bangkit. Ayu berlindung di balik Doni.
“Siapa anak ini?” tanya Anton.
Gadis itu hanya maju beberapa langkah, mencoba mendekati Ayu, namun jatuh tepat di depan Doni. Ayu pun pingsan, sementara Doni berusaha menyadarkan. Anton kembali membuka bukunya, di halaman yang sama seperti yang dibukanya sebelum pergi ke hutan ini.
“Akhirnya, kita menemukan pohon beringin yang dimaksud itu. Kita menemukannya tepat di hadapan kita.”
Widya kembali ke dekat pak Indra. Rupanya dia sudah selesai berkeliling.
“Apa yang kamu lakukan barusan?” tanya pak Indra sambil terus memasangkan pagar kepada jembatan yang sudah separuh jalan itu.
“Saya hanya melihat-lihat pak.” Pak Indra kemudian menanyakan apakah Widya menemukan hal yang menarik.
“Tidak juga, karena banyak hal yang saya baca dari buku sudah tidak ada disini.”
“Itu adalah akibat dari kurangnya penjagaan di candi ini. Mungkin masih ada, tapi hanya tertutup oleh sesuatu.”
“Hm, kenapa saya gak kepikiran ya?” Widya kembali berjalan. Kali ini dia menuju hutan kecil dalam komplek candi itu.
“Sekarang, kemana tujuan kita?” tanya Anton.
“Coba baca bukunya,” jawab Doni.
“Hm, dituliskan bahwa dia mendirikan candi yang jauh dari sini. Berarti kita pulang dong?”
“Iya. Gara-gara kesini, Study Tour kita tertunda,” ucap Ayu yang sudah sadar.
“Tapi aku masih bertanya-tanya, apa alasan Singadarma itu memilih tempat yang jauh dari pohon ini. Memangnya ada apa?” Anton mencoba mendekati pohon itu. Tiba-tiba batang pohon itu terbuka dan menutupi Anton.
“Anton!” teriak Ayu yang masih duduk.
“Kemana perginya?” tanya Doni.
“Aduh!” ucap Anton terjatuh. Dia kemudian berdiri dan menyapu bajunya.
“Dimana aku?” tanyanya. Dia melihat ke sekitar, hanya tanah luas tak berujung yang menemaninya.
“Bagaimana cara aku keluar dari sini?” Dia menghela napas dan menutup matanya.
Batang pohon itu terbuka dan mengeluarkan Anton dengan tubuh yang masih utuh.
“Anton? Kamu tidak apa-apa?” tanya Ayu yang sudah berdiri.
“Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Anton.
“Apa yang terjadi barusan?”
“Tidak tahu. Bahkan aku berpikir aku akan terjebak disana selamanya. Aku seakan-akan masuk ke dunia lain gara-gara pohon ini.”
“Bohong! Kau hanya membuatku takut!” ucap Ayu.
“Sayangnya itu adalah sebuah kebenaran. Lupakan saja itu, mari kita kembali ke candi.”
Matahari sudah tergelincir, sementara mereka masih berada di hutan itu.
“Aku rasa kita salah jalan kali ini, Anton.”
“Ada desa!” tunjuk Ayu.
“Mari kita kesana sebentar, semoga ada orang disana yang bisa mengarahkan kita.”
“Baiklah.”
Widya terus mencari sesuatu di hutan yang terletak di daerah candi itu. Dia kehilangan arah sekarang. Dia mencoba keluar dari hutan itu, namun tidak bisa.
Anehnya, dia melihat pintu terletak di tengah hutan kecil itu. Dia mendekatinya. Dia kemudian membukanya, dan memasukinya.
Pintu itu mengarahkannya ke sebuah rumah. Rumah itu nampak cukup tua, didasarkan pada banyaknya sarang laba-laba di langit-langit rumah.
Dia melihat ke sekitar dan menemukan sebuah lukisan besar dari seorang wanita. Wanita itu cantik, dengan memakai gaun putih.
“Siapa dia?” tanya Widya pada dirinya sendiri sambil mencoba mengingat-ingat.
Tak lama kemudian, dia mengingat siapa wanita itu. Setelah dia tahu wanita itu siapa, dia segera mencari pintu keluar dari rumah itu karena tidak ingin berlama-lama di dalamnya.
“Anton, nampaknya rumah itu ada orangnya,” tunjuk Doni.
“Iya tuh. Seorang wanita yang sedang menjahit pakaian.”
Anton memberanikan diri mendekat ke rumah tersebut. “Permisi,bu.”
“Ya,ada apa dek?”
“Anu, kami tersesat. Jalan menuju candi, ke arah mana ya?”
“Oh, candi? Candi ke arah sana. Lurus saja,” tunjuk wanita itu. “Ngomong-ngomong, kalian dari mana nih? Kok baju sekolah?”
“Kami dari SMA 1 Tanah Arum bu.”
“SMA 1? Kalian tenang gak sekolah disana?”
“Gak juga sih, banyak kejadian yang tidak mengenakkan, seperti siswi yang kesurupan,” jawab Anton.
“Kalau bisa, kalian lebih baik menjauh. SMA kalian terlalu dekat dengan candi itu. Lagipula, SMA kalian juga bekas rumah sakit.” Wanita itu nampaknya sangat mengetahui tentang SMA 1 Tanah Arum.
“Tunggu dulu,apa yang kamu pegang?” tanya wanita itu menunjuk ke tangan Ayu. Wanita itu tiba-tiba berhenti menjahit dan sepertinya berjalan ke arah pintu. Dia pun menuruni tangga. “Boleh ibu minjam?”
“Tentu,” jawab Ayu sambil menyerahkan buku yang dipegangnya.
Wanita itu melihat sampul buku itu. Dia nampak kebingungan.
“Ada apa bu?” tanya Anton.
“Ibu merasa suami ibu sudah menaruh buku ini di candi. Tapi kok bisa ada di kamu? Nyuri ya?”
“Gak kok bu,” jawab Anton.
“Mungkin, ibu salah paham. Buku yang seperti ini memang ada, dan ibu sudah ngasih tau bahwa yang satunya itu udah di candi,” papar Doni mencoba menengahi.
“Astaga, ibu lupa bahwa ada dua buku.”
“Dari mana ibu tahu?”
“Karena ibunya ibu yang menulis buku itu,” ucap wanita itu sambil menyerahkan buku itu kepada Ayu lagi. “Jadi, nak. Kalian boleh membuka buku ini dengan catatan, kalian berhati-hati dengan mantra di dalam buku ini.”
“Memangnya ada apa?” tanya Anton.
“Isi buku ini terbagi dua. Ada yang semuanya baik, ada yang semuanya buruk,” jawab Doni yang ternyata mengetahui hal tersebut.
“Apa yang dikatakannya itu benar, dan yang baik sudah diamankan di tempat seharusnya. Sekali lagi, ibu hanya memperingatkan kalian untuk berhati-hati.” Wanita itu kembali masuk ke dalam rumah dan melanjutkan menjahit.
“Baiklah, kalian sudah mendengar apa kata ibu itu. Semoga kalian bisa mematuhi apa kata beliau,” ucap Anton. “Mari kita pulang ke candi.”
“Teman-teman!” Teriakan wanita itu sontak membuat Anton, Ayu dan Doni menoleh ke belakang secara bersamaan. Ternyata, Widya sedang berlari ke arah mereka.
“Kamu ngikutin kami kah,Wid?” tanya Ayu.
“Tidak, tapi aku terteleportasi.”
“Hah?”Anton nampak kebingungan.
“Iya, tadi aku ke hutan yang di candi. Ternyata, aku tersesat kemudian menemukan pintu di tengah hutan itu. Kumasuki, ternyata mengarah ke rumah yang disana,” tunjuk Widya.
“Nampaknya, kita lebih cepat menuju candi ke arah sana,” ucap Doni.
“Tidak, kita harus mematuhi apa kata ibu itu tadi yakni ke arah sana.” Perdebatan sempat terjadi dalam menentukan arah.
“Baiklah, kamu dan Widya, kembali ke arah sana. Aku dan Ayu pergi ke arah sana. Setuju?” Mereka mengangguk pertanda setuju akan keputusan yang diberikan. Mereka pun berpisah jalan.
“Lukisan itu….”
“Ada apa, Don?” tanya Widya.
“Mungkinkah dia adalah ibu dari wanita yang kita temui tadi?”
“Kita? Aku bahkan tidak tahu apa yang kamu maksud.”
“Ah, iya juga. Lupakan saja. Yang mana pintunya? Banyak nih.”
“Yang ini,” jawab Widya sambil memegang gagang pintu.
“Yakin?” Widya kemudian menegaskan bahwa dia masih ingat kemudian membuka pintu itu.
“Baa!” Widya dikagetkan oleh pria yang bekerja di candi itu. “Hehehe. Maaf.”
“Ah, bapak ini, sudah selesai pagarnya?”
“Sudah, lagipula sudah hampir sore. Istirahat dulu. Sambil jalan-jalan juga, ternyata ketemu pintu ini.” Pria itu ingin melihat ke dalam dan diperbolehkan Widya.
“Oh, ini sih rumah ibunya istriku.” Doni kemudian menanyakan yang mana istri beliau.
“Yang tinggal di rumah baanjungan wan babubungan tinggi itu.”
“Tebakanku bener dong!” seru Doni.
“Ada apa?”
“Bukan apa-apa. Maaf.”
“Ya, mari kita kembali ke candi ini.”
“Masih panjang gak ya, jalan ini?”
“Entahlah,” jawab Ayu.
“Ayu, kamu mencium bau busuk ini?”
Ayu mulai mengendus. “Ya,” jawabnya.
“Dari mana asalnya?” tanya Anton terus berjalan.
Ayu terkejut karena melihat sesuatu dan menunjuknya. Anton kemudian melihat ke arah tunjukan Ayu. “Pak Arya? Kenapa beliau ada disini?” Anton mengenalinya dari baju yang dipakai.
“Tepatnya, kenapa beliau mati,” sanggah Ayu. Mereka terdiam sejenak.
“Apa ini? Motornya berhancuran,” ucap Anton.
“Sepertinya beliau kecelakaan disini.”
“Kalau beliau kecelakaan, kenapa keadaan beliau separah ini? Lupakan saja. Paling tidak, kita mengetahui kemana beliau selama ini, sejak tidak ada di rumahnya yang dekat dengan sekolah kita itu.”
Akhirnya, Anton dan Ayu sudah tiba.Rupanya Doni dan Widya sudah menunggu disana.
“Sudah kami bilang, kenapa kalian masih rajinan milih jalan itu?”
“Kami menemukan pak Arya … yang sudah mati,” jawab Anton.
“Arya? Mati?” tanya pak Indra yang sepertinya ingin pulang.
“Iya, memangnya kenapa pak?”
“Hanya saja beliau salah satu seniman bagus, sekaligus pewaris budaya dari candi ini.” Mereka menunduk untuk mengheningkan cipta.
“Buku itu, boleh bapak pinjam?” tanya pak Indra menunjuk buku yang dipegang Ayu. Raut wajah Ayu berubah. Dia memegang erat buku itu dan berlari ke arah dalam candi.
Anton mengejarnya. Ayu menyeberang jembatan. Dia membuka buku itu, dan membaca salah satu mantra buku itu.
Ketika Anton sampai di jembatan, tiba-tiba dari telaga itu keluarlah buaya putih mencoba menghantamnya. Anton terkejut dan mulai mundur, namun pagar yang dibuat pak Indra cukup kuat sehingga Anton dapat terus maju.
“Aku harus menghentikannya!” Pak Indra melepas kotak alatnya kecuali martil dan ikut mengejar Ayu.
Buaya putih itu terus menghantami pagar itu dan berhasil menembus sampai moncongnya masuk. Pak Indra kemudian memukulnya dengan martil yang dibawa. Buaya putih itu nampak kesakitan dan kembali masuk ke dalam air.
Anton terus mengejar Ayu. Widya dan Doni bersepakat untuk mengikuti pak Indra dan Anton. Mereka membuat strategi agar Ayu dapat dihentikan yakni dengan menghalanginya. Widya dan Doni kemudian berpencar.
Pada akhirnya, Ayu berhasil dijebak. Dia membuka buku itu lagi, namun pak Indra melempar martilnya tepat mengenai tangan Ayu dan buku itu terlepas dari tangannya. Dia mencoba mengambilnya, namun Anton mencoba menghalanginya. Hampir saja martil yang dipegang Ayu mengenai selangkangan Anton, untung dia sempat menahan kemudian melemparnya kepada pak Indra.
Sementara itu pak Indra berhasil mengambil buku itu, menutupnya dan melemparnya ke dalam telaga. Buaya putih itu langsung meloncat keluar dan melahap buku itu.
“Tidak!!” teriak Ayu. Wajahnya mulai leleh dan dia menunjukkan rupa aslinya.
“Ternyata kamu masih hidup,” ucap Anton. “Mengapa tubuh Ayu yang selalu dia manfaatkan?”
“Karena dia tidak memiliki penjaga,” jawab Doni.
“Tidak, dia memiliki penjaga. Tapi dia salah memilih,” ucap pak Indra sambil berlari dengan martil di tangannya.
“Jangan!” teriak Widya.
Pak Indra tetap memukul kepala dari sosok itu yang kemudian berubah menjadi asap putih dan menghilang entah kemana. “Temanmu yang asli, bukan disini,” ucap pak Indra.
“Berarti selama ini, dia masih terjebak!” kata Widya.
“Tunggu dulu, berarti selama ini? Ah!! Apakah kita harus ke sekolah lagi? Bahkan kita belum mengetahui sepenuhnya tentang candi ini. Kita hanya buang-buang waktu saja jadinya!” ucap Anton
“Mendengar ucapan kalian, sepertinya kita memang harus kembali ke sekolah lagi.”
“Karena ini adalah hal yang darurat, maka kita harus kembali!” Mereka pun kembali ke sekolah dengan bergegas.
“Hati-hati ya! Bapak akan menjaga disini dulu!”
“Dimana terakhir dia menghilang?” tanya Anton.
“Di lantai dua, tepatnya ruangan ekskul menjahit. Saat itu dia sudah menjadi orang yang berbeda,” jawab Widya.
“Mari kita kesana!” Mereka berlari menaiki tangga dan mencoba pergi ke ruangan tersebut.
Pintunya tertutup. “Siapa yang menutup pintu ini?” tanya Widya.
“Persetan dengan pintu ini!!” teriak Anton sambil membuka pintu itu sekuat tenaga.
Ternyata mereka disambut oleh cahaya yang menyilaukan, mereka seolah terhisap ke dalam pintu itu. Mereka membuka mata dan sadar bahwa sudah berada di dunia yang berbeda tepatnya alam gaib. Semuanya terlihat seperti masa lalu.
“Akhirnya, aku sudah memahaminya.”
“Apa itu Anton?” tanya Widya.
“Pintu sekolah kita dan batang pohon beringin itu, mereka mengarahkan ke alam gaib dimana kita bisa melihat masa lalu dari tempat itu sendiri.”
“Berarti, karena sekolah kita dekat dengan candi. Seharusnya kita dapat melihatnya juga.”
“Tapi ruangan apa ini?”
“Ini adalah ruangan yang dilihat oleh Ayu! Tapi, orang-orang yang dia ceritakan tidak ada.”
“Ayunya dimana?”
“Aku tidak tahu, mari kita cari!” Mereka pun mencari Ayu di tempat itu.
“Sepertinya dia tidak disini, coba langsung saja ke candi! Aku sudah penasaran bagaimana bentuknya di alam gaib,” ucap Doni.
“Hm, ide yang bagus. Tapi dimana pintu keluarnya?”
“Eh?” Widya nampak panik.
“Tenanglah Wid,” ucap Doni.
“Bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana kalau kita juga terjebak disini selamanya?”
“Aku tahu jalan keluarnya, ikuti aku!” Doni mengarahkan Anton dan Widya menuju sebuah jendela. “Tidak selalu pintu yang menjadi jalan keluar.”
“Tapi apakah boleh? Bukankah terlarang keluar jalan jendela?”
“Karena kita darurat, semoga orang-orang yang disini memahaminya.”
Widya melihat ke belakang. “Lari! Orang-orang itu sudah datang!” Mereka pun memecah kaca jendela itu dan melompat.
Mereka kemudian jatuh tepat di atas dedaunan sebuah pohon yang seharusnya tidak ada di sana. Hal tersebut mempertegas bahwa mereka sedang berada di alam gaib sehingga semuanya yang terjadi disana adalah masa lalu.
“Ah, itu gerbang candinya!”
“Tunggu, bukankah itu dari masa sekarang? Pak Indra ‘kan yang bikin?”
“Nah, tuh ‘kan? Ini semua hanya ilusi. Semakin melangkah, nyatanya semakin jauh kita dari dunia nyata.”
“Berarti kita terjebak?”
“Tidak. Sudah kubilang, aku tahu jalan keluarnya. Gerbang itu.”
“Langsung?”
“Tidak. Kalian belum tahu apa kelanjutannya.”
Mereka memasuki gerbang itu dan disambut oleh pemandangan candi yang indah. Dan sekarang, mereka tahu alasan mengapa patung besar itu jauh terletak disana.
Mereka menaiki tangga yang menuju ke dalam, mencoba memasuki candi itu, untuk melakukan misi utama mereka namun malah dibuat kagum oleh interiornya.
Candi itu terdiri atas tiga tingkat. Mereka naik ke lantai dua yang ternyata hanya digunakan sebagai tempat persemedian. Mereka lanjut ke lantai tiga.
Mengejutkan sekali, mereka disambut oleh wanita yang duduk di singgasana. “Apakah hajat kalian datang kemari?”
“Kami datang kemari, berhajat untuk menemui seorang wanita bernama Ayu.”
“Ayu? Orang yang kau lihat ini adalah Ayu, putri kerajaan Tanah Arum yang tersisa.”
“Bagaimana dengan Singadarma?”
“Singadarma hanyalah penghianat. Dia seolah bisa membuat candi dan menguasai kerajaan. Nyatanya, dia hanyalah jaba . Dia pantas untuk mati.”
“Jadi, apa yang anda hajatkan ketika anda menyerang kami?”
“Apa maksudmu?” tanya sang putri marah.
“Ayu yang ini bukan teman kita,” bisik Doni.
”Maafkan atas kelancangan saya. Saya mengira anda adalah teman saya yang tersesat disini.”
“Oh dia? Dia juga ada disini, namanya sama denganku. Ayu!!”
“Ya, baginda putri,” sahut Ayu. “Ngapain kalian disini?”
“Kembalilah, kami masih memerlukanmu.” Ayu menolaknya.
“Kenapa?”
“Aku sudah lelah hidup disana. Semua kegiatan kita, ujung-ujungnya mengarah kesini. Aku hanya ingin hidup dengan damai dan di dunia inilah aku mendapatkannya.” Putri Ayu nampak kebingungan.”
Jadi, itu yang kamu inginkan?” tanya Anton. Ayu mengangguk.
Anton, Widya dan Doni memutuskan untuk pulang. “Terima kasih, baginda putri. Kami izin pulang.”
“Silahkan.” Mereka keluar dari candi itu bersama-sama, melalui gerbangnya yang bercahaya.
“Selamat datang.” Sambutan pak Indra itu mengejutkan Winda sampai dia berteriak. Pak Indra hanya tertawa kecil “Bagaimana kalian tadi?”
“Ternyata, teman kami memilih tinggal disana saja.”
Pak Indra terlihat kebingungan sampai dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah candi ini namun dalam alam gaib. “Nama putri kerajaannya Ayu ‘kan?” Mereka hanya mengangguk.
“Memang dia punya pengaruh yang kuat sejak membunuh Singadarma yang dia anggap sebagai penghianat. Mulai saat itu seluruh kerajaan mematuhinya.”
“Dia memerintahkan kepada ibunya istriku tepat di akhir hayatnya untuk mengumpulkan mantra-mantra. Namun mertuaku bukanlah tipe orang yang bisa disuruh-suruh menurut pengakuan istriku.”
“Singkat cerita, beliau malah membuat dua buku. Satu kumpulan yang jahat, satu kumpulan yang baik. Anehnya, yang jahat selalu menjauh dengan sendirinya. Selalu menyisakan yang baik.”
Anton yang membandingkan kisah pak Indra dengan yang di buku, cukup terkejut kemudian menutupnya. “Nah, Wid. Terima kasih atas bukunya.”
“Sekarang, kita mendapatkan sebuah pelajaran. Terkadang, ketika kita berniat jahat, kebaikan itu lebih dekat kepada kita daripada kejahatan itu sendiri.”
“Setuju,” ucap Widya.
“Sekarang, sebelum senja menunjukkan lembayungnya lagi. Mari kita pulang secepatnya.”
Akhir cerita, mereka pulang dengan selamat dan hidup dalam ketenangan.