arrow_back

Lembayung Senja

arrow_forward

Pagi itu tepatnya waktu istirahat, aku sedang berada di perpustakaan sekolah untuk mengisi waktu kosong karena sudah jajan. Sebenarnya aku duduk untuk membaca sebuah buku sampai melihat cahaya di atas sebuah lemari. Aku kemudian berdiri jenjet untuk meraih sesuatu di sana.

Aku menemukan sebuah buku kuno dengan judul yang tidak diketahui karena sangat berdebu dan banyak sarang laba-laba menempel padanya. Aku tertarik untuk membawanya ke kelas kemudian membaca isi buku tersebut. Aku dengan berani tetap membawa buku tersebut tanpa izin dari penjaga perpustakaan karena saat itu beliau memang tidak ada di tempat.

Sesampainya di kelas, beberapa teman yang saat itu ada di kelas memperhatikan karena buku itu memang terlihat aneh. Aku meletakkannya di mejaku kemudian duduk di kursi.

Aku mulai membuka buku itu dan ketika sampai di pertengahan dia mengeluarkan cahaya. Tiba-tiba, aku terangkat dari kursiku dan dilempar ke arah belakang oleh sesuatu yang tidak bisa dilihat. Punggungku mengenai dinding cukup keras kemudian terjatuh. Suaranya kursiku yang jatuh terdengar jelas.

Seorang teman mendekati dan memeriksa keadaanku. “Apakah kamu perlu bantuan?” tanyanya.

“Tidak—” sahutku dengan suara yang lemah. “Tidak perlu, kurasa aku masih bisa berdiri.”

Temanku tetap membantuku bangun kemudian mendirikan kursi dan mendudukkanku disana. “Terima kasih,” ucapku.

Aku sadar bahwa buku yang baru saja kubuka tertutup dengan sendirinya. Aku memandang teman yang membantuku tadi dan berucap, “Aku ingin mengembalikan buku ini ke perpustakaan.”

“Jangan dulu. Aku yakin punggungmu sakit atas hal tadi. Aku saja,” kata temanku.

“Tapi aku tidak mau membahayakan orang lain.”

“Baiklah kalau itu maumu.” Temanku kembali duduk di kursinya dan melanjutkan makan. Aku kemudian berjalan ke perpustakaan dengan membawa buku itu.

Saat di perpustakaan, aku langsung menaruhnya di tempat semula dan tak lama kemudian penjaga perpustakaan datang. Aku berinisiatif untuk melapor. “Saya tadi meminjam buku di atas lemari itu.” Aku menunjuknya.

“Kamu bercanda ya? Kami tidak pernah meletakkan buku di atas sana,” jawab beliau yang membawa secangkir air kemudian duduk dan menghirupnya.

Wajahku pucat seketika karena ketakutan. “Baiklah. Terima kasih.”

“Sebenarnya buku apa itu?” tanyaku sambil berjalan kembali ke kelas. Setelah itu aku hanya duduk membenarkan kursiku dan menyiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya.

Waktu istirahat selesai namun guru yang mengajar selanjutnya belum datang. Aku memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menulis di buku. Teman-temanku yang lain asyik berbicara satu sama lain dengan jarak dua bangku di depanku.

Saat itu aku baru menulis dua paragraf. Huft. Tiupan hangat menghembus di telinga kiriku. Dengan refleks aku menyentuhnya dan berpaling untuk mengetahui siapa pelaku dari keisengan ini.

Di belakangku hanya dinding, saksi bisu terhadap apa yang terjadi denganku waktu istirahat tadi. Tidak ada siapa-siapa disana. Pandanganku kembali ke depan.

Aku memperhatikan teman-temanku. Tidak ada tanda-tanda yang mendekat kepadaku kemudian menjauh. Mereka tetap asyik membicarakan sesuatu hal dimana aku tidak begitu tertarik untuk mendengarnya.

“Tunggu, seandainya memang salah satu dari mereka, tidak mungkin dia bisa kembali bergabung secepat itu. Lagipula kalau itu tiupan dari manusia maka seharusnya dingin.” Aku berusaha tidak berpikiran negatif dan menuduh temanku dengan terus menulis sampai guru yang mengajar datang.

Tidak lama guru mengajar, aku mencium aroma dupa yang terbakar. Aku menanyakan kepada teman di sebelahku, “Apakah kamu mencium aroma dupa?”

“Tidak,” jawabnya singkat.

“Tidak?” tanyaku lagi karena tidak percaya. “Kenapa aku menciumnya?”

“Mungkin rumah di sebelah kelas kita ini.” Kelas kami bersebelahan dengan rumah warga yang setahuku sudah lama tidak ditinggali.

“Bukannya sudah lama tidak ada penghuninya?”

“Berarti itu hanya penciumanmu.”

Aku mulai merinding, apalagi setelah mengingat cerita bahwa pernah ditemukan mayat di rumah itu yang sudah lama berada disana dan baru saja dimakamkan. Pemakaman dan semua prosesnya pun dilakukan di rumah itu juga yang berarti sebelah kelas kami ada sebuah kuburan. Aku hanya diam setelahnya.


Sepulang sekolah dimana hari itu aku lebih telat dari biasanya, aku melihat banyak orang tua dari siswa berkumpul di depan pagar. “Tidak biasanya mereka berkumpul disini,” gumamku.

Aku yang penasaran memberanikan bertanya kepada salah satu dari mereka. “Ada apa ini?”

Beliau kemudian menjelaskan bahwa ada seorang siswa yang juga anaknya dinyatakan menghilang. “Saksi mata mengatakan bahwa terakhir kali melihatnya di hutan belakang sekolah, dimana anak itu kencing di hadapan sebuah pohon kemudian tidak terlihat lagi.”

“Padahal di belakang sana banyak kuburan.” Aku berpikir sebentar tentang hal tersebut. “Kok gak milih toilet sekolah aja ya?”

Aku baru ingat bahwa toilet sekolahku sangat usang. Dari tiga toilet yang ada, salah satunya bahkan terkunci. Terakhir kalinya, toilet itu buntu dan saluran air mampet sehingga tidak bisa digunakan lagi.

Aku juga masih ingat cerita temanku yang melihat sesosok berpakaian serba putih ketia dia memandang ke atas. Dia membersihkan toilet dan bergegas pergi karena ketakutan. Penampakan yang sama sering dilihat oleh petugas kebersihan.

Aku bertambah penasaran tentang siapa yang menghilang. Ketika beliau menyebutkan namanya, aku tahu bahwa yang dimaksud ini adalah temanku yang terkenal bandel. “Paling tidak sekarang dia diberi pelajaran tentang adab. Padahal masih ada dua toilet yang masih dapat digunakan dan dia memilih untuk kencing di hutan kecil itu.”

Akhirnya, aku memutuskan daripada lama berpikir lebih baik pulang sambil menyembuhkan rasa sakit di punggungku akibat bantingan pagi tadi.

Namun pada sore, hari aku memutuskan untuk kembali ke sekolah demi mengetahui kelanjutan dari hal tersebut. Untungnya rumahku cukup dekat sehingga hanya memerlukan waktu beberapa menit untuk sampai kesana dengan mengendarai sepeda. Saat itu aku memakai pakaian keseharian dan sandal.

Masyarakat sekitar juga mengadakan pencarian dengan menjelajah hutan kecil itu. Aku sendiri tidak mau untuk ikut ke hutan itu karena takut kapidaraan dan hanya menunggu di depan pagar. Aku hanya melihat dari kejauhan.

Tidak lama kemudian, masyarakat heboh. Dia ditemukan di rumah warga yang jaraknya satu kilometer dari tempat kejadian.

Aku sebagai teman langsung mencari rumah yang dimaksud untuk menanyakan apa yang terjadi dari sudut pandangnya. Dia terlihat masih memakai seragam sekolah dan lesu. Aku menyentuh tubuhnya. Telinganya dingin.

“Apa yang terjadi?” tanyaku padanya. Aku tidak suka basa-basi sehingga langsung menanyakan intinya saja.

“Aku merasa tersesat.” Jawabannya membuatku bingung. Hutan di belakang sekolahku itu hanya berukuran kecil. Masyarakat yang sering lewat disana untuk menziarahi kuburan sudah menyediakan jalan setapak yang memudahkan untuk mengakses dan menjadi penentu arah.

“Lalu, bagaimana kamu bisa ada disini?”

“Aku juga tidak tahu.” Aku tambah bingung.

Dari rumah tersebut, keluarlah seorang yang tua dengan tongkatnya. “Dia diculik oleh salah satu penghuni hutan yang gaib,” kata beliau.

“Beruntung dia masih dikembalikan. Kalau tidak, dia akan terjebak selamanya di alam sebelah.”

“Kamu kencing di hutan itu ya?” Temanku membenarkan.

“Lain kali jangan diulang. Bahaya dan kamu sudah merasakannya. Sini, masuk dulu.” Orang tua itu mengajak temanku untuk masuk ke rumah beliau.

Temanku kemudian melepas sandalnya. “Seragamnya sekolah tapi kok makai sandal sih?” tanyaku.

“Ya, males aja,” jawabnya. Dia terlalu bandel sampai tidak mematuhi peraturan sekolah juga yang mewajibkan memakai sepatu dan melarang memakai sandal padahal dia termasuk orang mampu.

Aku penasaran apa yang akan dilakukan orang tua itu terhadap temanku sehingga aku ikut masuk dan duduk dekat dengan pintu.

“Kamu ke belakang sana juga?” tanya orang tua itu.

“Tidak, saya temannya.”

“Mendekatlah! Paling tidak di bawah jendela itu. Jangan duduk di depan pintu.” Mendengar suruhan beliau, aku bergerak mendekat.

Beliau terlihat menyiapkan sehelai daun pisang berukuran persegi kecil, janar dan kapur. “Mendekatlah dan bersila!” perintah orang tua itu kepada temanku.

Mulut beliau komat-kamit sementara tangan beliau mencampur air dengan janar dan kapur di atas daun pisang itu. Setelahnya, campuran janar dan kapur itu dioleskan ke kepala, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki temanku.

“Sudah,” ucap beliau. “Sepulang ini kamu langsung mandi.”

“Terima kasih,” ucap temanku kemudian berdiri perlahan.

“Sekali lagi saya ingatkan, jangan pernah lagi kencing di hutan itu. Lebih baik kamu pergi ke rumah ini dan meminjam toilet sebentar daripada sembarangan seperti itu. Sudah banyak teman-teman saya yang mengalami hal sama namun mereka kembali sebagai monyet dan ular.”

Aku hanya terdiam. “Bisa saja itu menjelaskan kenapa sangat banyak monyet di hutan itu,” gumamku. Tidak jarang monyet-monyet itu naik ke genteng kelas dan mengganggu pelajaran kami.

Temanku mendekati dan aku berdiri. “Bapidara leh?” tanyaku sarkas.

“Untung kamu gak digigit ular disana. Padahal banyak lho, kata beliau tadi.”

“Diamlah,” jawabnya. Dia nampaknya agak kesal denganku.

Kami pulang setelahnya. Aku berniat untuk mandi juga setibanya di rumah. “Semoga dengan mandi itu menghilangkan bekas dari pagi tadi dan yang baru ini.”

Aku menaiki sepedaku dan menuju jalan raya. Hari mulai senja dan langit menunjukkan lembayungnya. Aku bersegera ke rumah dan sampai dengan selamat.

Tepat di saat aku akan membuka pintu, kecelakaan tunggal yakni sebuah motor jatuh terjadi tepat di seberang rumah. Suasana sempat heboh seiring banyak warga berdatangan untuk membantu korban yang merupakan seorang wanita.

Wanita itu kemudian diamankan ke teras rumah di belakang tempat kejadian kemudian tuan rumah memberikan sebotol air mineral untuk diminum dan minyak kayu putih untuk dihirup aromanya. Aku membuka pintu untuk memasukkan sepedaku ke dalam rumah kemudian menyeberang.

Setelah beliau tenang, sang tuan rumah bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Saya tidak tahu. Mungkin langit yang silau mengganggu pandangan saya sehingga kehilangan keseimbangan dan jatuh dari motor.”

“Untuk apa sih kamu keluar rumah?” tanya seorang warga.

“Ya kan, saya pengen jalan-jalan juga,” jawab wanita itu.

“Lain kali hati-hati ya. Senja yang seperti ini memang sering kejadian.” Perkataan sang tuan rumah membuatku teringat kecelakaan bulan lalu dimana sebuah mobil menabrak pohon yang berjarak sekitar lima ratus meter dari sini. Mobil itu bahkan sampai terbakar sehingga warga berbondong-bondong memadamkan apinya. Sang pengendara hanya terkena cidera dan sedikit luka-luka.

Wanita itu kemudian dibantu untuk pulang dan motor beliau dibawakan oleh seorang warga ke rumahnya. Aku kembali ke rumah.

Aku menguap dan merasa mengantuk, sepertinya kelelahan dalam menghadapi semua yang terjadi hari ini. Aku bergegas menuju lantai dua rumah dimana kamarku berada dan langsung berbaring di kasur.

“Nak, jangan tidur!” Aku baru ingat bahwa tidak boleh tidur saat senja seperti sekarang. Aku teringat pengalaman sebelumnya dimana aku jatuh sakit dan tidur tidak bisa ditahan lagi. Saat bangun aku tidak sadar waktu dan orang tuaku mengatakan bahwa saat itu masih sore padahal aku mengira pagi saat matahari terbit dari cahaya di jendela yang belum ditutup.

“Baiklah,” jawabku. Aku hanya bisa bersandar ke dinding kamar menunggu malam tiba.

Malamnya badai terjadi dan membuat listrik dipadamkan. Hujan deras disertai angin kencang menerpa jalanan yang sepi. Suara mobil dan motor yang melaju begitu terdengar. Sesekali petir dan kilat menghias.

Saat itu, aku sedang berada kamarku setelah makan malam. Sebenarnya aku masih menahan kantuk saat itu namun memilih untuk membuka ponsel dengan niat menyalin tulisanku di sekolah untuk dipublikasikan secara daring dan terjadilah pemadaman listrik yang membuat internet juga terhambat. Hal itu membuatku memejamkan mata untuk mencoba tidur.

BRAK!

Terdengar seperti suara bantingan pintu dan itu mengejutkanku yang baru saja meletakkan kepalaku di atas bantal.

Kamar orang tuaku bersebelahan dan aku menanyakan apakah mereka mendengar hal tersebut juga. “Tidak,” jawab mereka.

Aku yang penasaran memberanikan diri untuk turun ke lantai satu dengan modal senter dari ponsel. Sebelumnya aku memeriksa melalui jendela dan hanya jalanan yang sepi.

Pintu pertama yang kuperiksa adalah kamar mandi dan terkunci dari luar. Aku memastikannya dengan membuka kunci dan melihat ke dalam, tidak ada siapa-siapa.

Pintu selanjutnya adalah pintu depan. Terkunci juga, sama seperti pintu-pintu lainnya.

Aku kemudian membuka tirai jendela. Terlihat percikan air memantul di jalanan dan mobil terus melaju. Aku dapat melihatnya karena disinari oleh lampu di depan rumah tetangga yang memang didesain untuk menyala jika listrik padam.

Aku sebenarnya ingin keluar rumah tapi karena cuaca terlalu dingin dan terkunci serta malas membukanya maka tidak jadi. Aku memutuskan kembali ke kamar dan bersegera tidur untuk melupakan semua kejadian hari ini, dan ternyata susah. Aku terus kepikiran, apakah ini sebuah kutukan karena aku menulis hal yang seperti itu.

“Tidak, aku tidak mau memikirkannya!” ucapku sambil menutup kepalaku dengan bantal. “Mudahan aku kada katulahan. ”

Akibat hal tadi, kantukku malah hilang. Aku melepas bantal dari kepalaku dan duduk selonjoran di kasurku. Kusadari badai berhenti dan listrik kembali menyala.

Terdengar ibuku menuruni tangga kemudian membuka lemari rak piring dan berteriak, “Uu, abahnya . Ada ular.”

Ayahku bersegera turun ke lantai satu begitu juga aku. Beliau terlihat mengambil parang kemudian memukul kepala ular itu.

“Ular ini tidak mati, dia hanya kehilangan kesadaran.” Ayahku kemudian mengambil karung dan memasukkan ular itu ke dalamnya.

“Nak, kita akan membawa ini ke habitatnya.”

“Belakang sekolahku?” tanyaku. Ayahku hanya mengangguk.

Aku saat itu sangat kebingungan. Ketika kulihat ke dalam lemari rak piring itu, tidak ada lubang dan aku yakin rak piring itu sendiri tidak terlalu berdempetan dengan dinding. “Bagaimana bisa ular itu ada disana?”

Singkat cerita, aku dan ayahku menaiki motor kemudian pergi ke sekolahku yang pagarnya selalu terbuka karena rusak. Jalanan masih becek diterangi cahaya dari lampu depan.

Aku yang duduk di belakang diharuskan memegang karung itu dengan kedua tangan karena lubangnya juga harus ditutup dan di motor kami tidak ada tempat untuk menggantungnya.

Kami pergi ke hutan itu namun hanya di luarnya kemudian aku menyerahkan karung dan menerima senter besar. Semacam barter antara aku dan ayah.

Kami mundur beberapa langkah dan ayah membuka penutup karung itu sementara aku menerangi. Benar saja, ular itu masih hidup dan melata entah kemana tujuannya.

“Kenapa ayah tahu itu?” tanyaku.

“Karena itu bukan ular asli.” Aku dapat melihat senyuman ayahku. “Kita pulang sekarang.”

Aku menaiki motor itu dan kami pulang ke rumah. Ketika sampai, aku langsung menuju kamarku dan akhirnya dapat tidur dengan tenang.

Komentar