arrow_back

Misteri Legenda

arrow_forward

Peturasan cabar di lahat lembaga. Jejak sanatorium demi sisa ruang kunarpa.


Telunjuk menyusuri kertas tertempel di samping pintu. Mencari sepatah kata, menyatakan nama. Menemukan kelas, setelah naik dan pindah ke mana.

“Mira Widyadana. Ketemu.”

Namaku Mira Widyadana. Aku siswi SMA Mahardika. Tahun ini, aku berada di Kelas 11A, dan hari ini, 12 Juli 2021, adalah Senin pertama kami kembali ke sekolah setelah liburan kenaikan.

Terdengar langkah kaki mendekat. “Selamat pagi, Adya.” Aku menyapa.

“Pagi,” sahutnya dengan lesu.

Nama lengkapnya Adyatama Laksana. Kami telah menjadi teman sejak kecil. Melihatnya membuatku kembali menatap kertas tadi. “Kita sekelas lagi, Adya.” Aku bisa melihatnya tersenyum kecil.

“Ini kelasnya?” tanya Adya. Dia masuk sedikit dan melihat ke dalam kelas kemudian memutuskan untuk masuk sekalian. Aku mengikutinya, dan dia sudah mengamankan tempat duduk. Baris kedua, dekat dengan dinding dan jendela juga pintu.

Aku tersenyum kecil, mengingat tahun tadi, di Kelas 10A, dia juga memilih tempat duduk yang sama. Aku rasa dia selalu memilihnya juga di sekolah-sekolah yang terdahulu, mengingat kami bersekolah di tempat yang sama pula. Aku memutuskan untuk duduk di belakangnya, mengikuti tradisi yang dia buat.

Tidak lama setelah kami duduk, Adya memandang ke belakang, memalingkan wajah. “Mira, setahuku tahun ini kamu jadi anggota OSIS kan?”

“Ya, kenapa?” tanyaku balik.

“Bukannya hari ini MOS? Kamu tidak ikut mengurusnya?”

Aku baru ingat setelah mendengar perkataan Adya. “Benar juga!” ucapku sambil berdiri dan menepuk meja yang nampaknya mengejutkan Adya.

“Aku akan kembali,” ucapku sambil memandang Adya yang terlihat bingung.

“Mira!” Aku yang sudah di depan pintu berhenti mendengar panggilan itu dan berpaling.

“Ya, Nabila?” Itu ternyata temanku di SMA Mahardika, Nabila Lailasari.

“Tunggu aku. Kita ke sana bareng.”


“Ah sial.” Aku duduk dengan penuh kekesalan sambil duduk memegang kepala dengan kedua tanganku.

“Malam ini, katanya aku harus ikut uji nyali. Mereka memaksaku selaku anggota OSIS baru.”

“Uji nyali? Memangnya kenapa?”

“Aku takut, Adya. Bukankah sekolah ini katanya bekas rumah sakit?”

“Serius? Kita sudah setahun di sekolah ini, dan kamu masih percaya itu?” tanya Adya sinis.

“Lihatlah ke belakang kelas ini. Kuburan! Bagaimana kalau mayat di dalamnya adalah pasien yang gagal diselamatkan di sini.” Aku menunjuk ke seberang tempat kami duduk, dan tepat di belakang dinding itu adalah kuburan yang dapat dilihat dari jendela.

“Ayolah.” Adya mengangkat kedua tangan dan kepalanya, menunjukkan bahwa dia sungguh kesal dengan ucapanku.

“Bagaimana jika kamu ikut saja, Adya?” Aku memegang pundaknya, tapi dia mengindahkan.

“Aku bahkan bukan anggota OSIS, kenapa aku harus ikut? Lagipula, aku harus menemani adikku di rumah. Apalagi kamu sudah tahu alasannya.” Aku hanya bisa menunduk, sekaligus menyesal telah meminta Adya untuk menemaniku.

Aku melihat Nabila yang nampaknya mendengar pembicaraan kami dari tadi dan berdiri mendekat kemudian memelukku secara tiba-tiba. “Tenang saja, Mira. Ada aku yang akan menemaniku.” Aku hanya bisa membalas pelukan Nabila.


13 Juli 2021. Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah dengan perasaan buruk. Aku duduk dengan berat dan memegang kepala dengan kedua tangan.

“Sudah dua hari kamu seperti ini. Memangnya ada apa, Mira? Hari ini, kamu bahkan terlihat lebih gelisah dan sedih.”

Aku yang tadi menunduk menatap Adya yang sudah menyandarkan punggungnya ke dinding dan menatapku lebih serius.

“Kamu lihat kursi kosong itu?” Aku menunjuk.

“Kenapa?” Adya turut memandang ke arah itu. “Malam tadi pas uji nyali kamu liat itu bergerak?”

“Bukan!” Ucapannya malah membuatku merinding. “Yang duduk di sana.” Aku menunjuk satu kursi.

“Nabila temanmu?”

Adya sepertinya juga melihat dia berdiri dari kursi itu kemarin. Aku menjawabnya dengan anggukan dan melanjutkan, “Dia ikut uji nyali juga malam tadi kan? Tapi hilang!”

“Hilang bagaimana?” tanya Adya dengan nada skeptis.

“Dia lama tidak kembali meskipun kami menunggunya sampai dini hari. Sekolah ini terlalu gelap bahkan dengan lentera yang kubawa sekalipun. Kami berkumpul untuk mencarinya bersama-sama, dan tetap saja tidak menemukannya.”

“Sekarang sudah pagi, apakah kamu akan mencarinya?”

“Itu dia. Aku sudah mengajak anggota OSIS lain yang turut serta ikut uji nyali, tapi hanya aku yang tidak disibukkan hari ini.” Aku meletakkan tanganku di atas meja dan menjadikannya sebagai alas untuk merebahkan kepala.


Waktu istirahat, aku menggunakan waktu ini untuk pergi ke toilet. Entah kenapa, beberapa pintu tidak bisa dibuka. Beberapa bisa, tapi kondisinya kurang bersih yang membuatku mengurungkan niat. Aku terus melakukannya sampai di pintu terakhir.

Aku membuka pintu itu dengan usaha cukup keras karena berat seperti ada yang menghalangi. Aku merasakan sesuatu mengalir keluar toilet. Itu adalah genangan darah yang membasahi lantai yang membuatku ketakutan dan berteriak. Aku sadar teriakanku cukup keras sehingga refleks menutup mulut dengan telapak tangan kiri.

Langkah kaki cepat seperti orang berlari mendekat ke arahku. Aku menatap keluar lorong.

“Kenapa?” Adya sepertinya mendengar teriakanku. Dia datang lebih dulu dan aku melihat beberapa siswa lain di belakangnya. Aku pun memberi isyarat dengan menunjuk sekaligus memandang ke dalam toilet.

“Mohon maaf, aku masuk.” Adya mengangguk dengan sopan terlebih dahulu.

Dia dengan berani mendekat. Pintu terbuka luas, mengungkap seorang gadis yang terlihat sebaya denganku, duduk tersandar dengan wajah yang pucat di dalam toilet itu. Tangannya memegang pisau yang tertancap di bagian abdomen.

“Nabila?!”


Komentar