arrow_back

Misteri Legenda

arrow_forward

“Apa yang kalian lakukan?”

Pria yang baru datang itu menutupi sumber cahaya, membuatku susah mengenal siapa dia. Aku hanya diam, memberi isyarat dengan menunjuk ke dalam toilet. Dia kemudian mendekat dan turut terkejut. “Nabila?”

Pria itu mengambil ponsel dari sakunya. “Aku akan menelepon polisi. Apakah kalian yang menemukannya?”

“Saya yang menemukannya lebih dulu, dan dia tidak melakukan apa-apa kok, Pak.” Mira berucap.

“Kamu Mira kan?” Mira hanya mengangguk, sementara aku terdiam bingung bagaimana dia bisa mengenalnya.

“Baiklah. Kembalilah ke kelas dan jangan kemana-mana. Kamu mungkin akan dipanggil ke Ruang BK setelah polisi datang untuk menyelidiki kasus ini.”

“Dan kamu,” dia menunjukku, “jangan pernah lagi masuk ke toilet perempuan!”

Aku hanya mengangguk kemudian keluar dengan menunduk. Menuju kelas, aku dan Mira berjalan hampir beriringan, sehingga memudahkanku untuk bertanya. “Siapa beliau?”

“Bapak Cahyanto Saptono. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan. Pembina OSIS.”

“Ah, pantas. Aku penasaran kenapa beliau mengenal kalian. Tapi yang jelas, aku belum pernah melihat beliau. Selalu kepala sekolah yang muncul di hadapan publik.”

Setibanya di kelas, teman yang lain hanya menatap kami dengan pandangan dingin. Mira sepertinya menyadari itu dan hanya menunduk sambil berjalan menuju kursinya untuk duduk. Aku turut duduk di kursiku tapi memalingkan diriku sepenuhnya, meletakkan kedua tanganku di atas meja dan memegang lengan Mira untuk memulai berbicara.

“Ehem. Cie, Tama.” Seseorang pura-pura berdeham. Adya membalasnya dengan tatapan dingin kemudian lanjut.

“Tenangkan dirimu, Mira.” Hanya itu yang aku bisa untuk menghiburnya.

“Aku tahu ini saat yang kurang tepat. Apakah kau percaya padaku?” Mira mengangguk. “Baiklah, ceritakan semua yang kau ingat tadi malam saat uji nyali.”

“Kami hanya diberi misi untuk mengambil barang-barang tertentu yang diletakkan secara acak. Misi itu diberikan secara pribadi melalui obrolan di aplikasi perpesanan.”

“Siapa-siapa saja yang ikut?” Aku begitu penasaran.

Tepat di saat Mira ingin menjawab, seorang guru berdiri di depan pintu dan berucap, “Mira, ikut ke Ruang BK.”

Mira yang terlihat masih terkejut dengan kejadian tadi, bergerak dengan pelan menuju pintu.

“Mira.” Dia mendengarku dan berpaling sejenak. “Pintar-pintarlah bekerja sama.”

Mira pun keluar kelas dan hanya menyisakan tanda tanya. “Sial, pertanyaanku belum terjawab.” Aku begitu kesal sampai menepuk meja. Aku bisa merasakan pandangan teman sekelas yang masih menatapku.

“Berhentilah menatapku,” ucapku pada mereka. Mereka langsung kembali ke aktivitas masing-masing.

Aku berpaling untuk membenarkan posisi duduk agar menghadap meja sendiri, seraya memikirkan ucapan Mira yang mengaku telah berkali-kali menghubungi Nabila tapi tidak dijawab. Aku membuka ponselku, membuka grup obrolan kelas di salah satu aplikasi perpesanan dan berusaha untuk memanggil Nabila.

Aku mendengar suara getaran dan itu terdengar dari kolong meja Nabila. Aku mendekati meja Nabila dan memicu tanggapan lagi. “Bukankah kamu sudah punya Mira, Tama? Kenapa sekarang mengincar Nabila?”

“Diamlah kalian!” Aku benar-benar sangat kesal kepada mereka sekarang.

Tidak kusangka itu ponsel Nabila. Nama lengkapku tertulis sebagai orang yang memanggil. Aku mematikan panggilan dari ponselku dan mencoba untuk menyalakan layarnya. “Sial, sandi pola.” Hal itu membuatku berpikir sejenak, sebelum mendapatkan ide.

“Hah.” Aku memberi udara panas melalui mulutku dan berharap uapnya menunjukkan bekas gesekan tangan di layar ponsel itu. Rupanya itu berhasil dan menunjukkan pola berbentuk huruf N.

“N untuk Nabila?” gumamku. Aku mencoba membuka ponselnya mengikuti pola itu dan berhasil. Tanpa menunggu waktu lama, aku membuka aplikasi perpesanan dan menemukan sebuah pesan yang mengejutkan. Aku memutuskan untuk mengamankan ponsel Nabila dan bersyukur bahwa teman sekelas dengan kekuatan kekesalanku, mereka seharusnya tidak menyadari tindakanku kali ini.

Pesan itu mengarahkanku ke Ruang OSIS. Aku berjalan ke sana dan menemukan seseorang yang terlihat sebaya denganku. Aku hanya berdiri di depan pintu dan bertanya, “Apakah ada di sini yang namanya Mariadi Wibisono?”

“Kurasa dia di sana.” Dia menunjuk ke salah satu arah. Aku memandangnya tapi masih belum paham tempat yang dia maksud.

“Sana mana?” Mira, Nabila, dan entah siapa yang sepertinya anggota OSIS ini selalu tidak menyatakan tempat itu.

“Aula,” jawabnya singkat.

Aku yang baru mengerti, begitu kesal karena tidak menyadari, sedangkan MOS tahun tadi juga di adakan di sana. “Ah, masih acara rupanya. Aku malas ke sana. Terlalu ramai.”

Aku kembali berpikir sejenak. “Oh ya, mengenai uji nyali tadi malam, apakah kamu mengetahuinya?”

“Tentu saja, karena aku juga ikut.” Aku begitu lega mendengar jawaban itu, karena menemukan orang lain yang turut serta dalam uji nyali.

“Siapa-siapa saja yang ikut?” tanyaku.

“Tunggu sebentar. Kurasa di sini ada salinan proposalnya.”

Aku tertarik dengan itu. Melihat sepatu yang diletakkan di luar, aku melepas sepatuku dan berucap, “Bolehkah aku masuk untuk melihat sebentar?”

“Silakan,” jawabnya dengan ramah.

Aku pun masuk Ruang OSIS sepenuh diri untuk pertama kalinya dan duduk demi melihat proposal itu.

Terlihat penasaran, dia memandangku. “Mari kita berkenalan.”

“Ini aku.” Dia menunjuk salah satu nama pada salinan proposal yang baru saja dibuka.

“Dirja Prasetya.” Aku membacanya dalam hati.

“Siapa kamu?” tanyanya.

“Adyatama Laksana dari 11A.”

“Dipanggil?”

“Terserah. Teman sekelasku kebanyakan memanggilku Tama.”

Aku memotret daftar nama itu di ponselku. “Terima kasih banyak.”

“Senang berkenalan denganmu, Tama.” Aku hanya mengangguk sambil beranjak pergi.

Komentar