Keluar dari ruang OSIS, aku berpikir sejenak dan memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Malas memasang dan melepas sepatu, aku hanya pergi ke sana dengan alas kaos kaki sambil membawa sepatuku di tangan.
Sesampainya di sana, aku langsung mencari arsip dari koran terdahulu, berharap menemukan berita, kabar, atau sekadar informasi mengenai mitos sekolah ini. Aku mencarinya cukup lama, dan fokus kepada koran di masa lalu.
Aku menemukan berita yang tidak kusangka. “Jangan bilang mitos itu benar.” Aku memotret cuplikan berita itu sebelum mengembalikannya ke tempat asal. Aku pun bergegas keluar perpustakaan setelah memasang sepatuku dengan memaksa memasukkannya saat aku berdiri.
Aku mencoba kembali ke toilet perempuan dengan agak kesusahan akibat sepatu yang tidak terpasang dengan benar. Sesampainya di sana, rupanya sudah ada polisi yang menjaga, dan aku tetap berusaha untuk menerobos garis polisi yang sudah mereka bentangkan.
“Apa yang ingin kamu lakukan di sini?” Polisi penjaga itu ternyata sungguhan menahanku, melarang masuk.
“Izinkan saya melihat ke dalam.” Aku menatap matanya dengan memelas, berharap dia mengizinkan sambil aku mencoba mengintip.
Dia bahkan mulai beralih dan menghalangi pandanganku sebelum berucap, “Satu, ini TKP. Dua, ini toilet perempuan dan kamu laki-laki.”
“Kalau begitu, saya menawarkan kerja sama.” Kali ini, aku berusaha untuk serius.
“Perkenalkan, saya Adyatama Laksana, dari Kelas 11A, sekelas dengan korban.”Aku pun menunduk, kemudian memperhatikan dengan teliti pakaian yang dikenakan polisi itu. “Melihat dari seragam, senang berkenalan dengan Anda, Brigadir Polisi Harjasa Irawan.”
Dia nampaknya tidak menduga aku akan mengucapkan itu. “Jadi,mari kita bertukar informasi. Saya akan memberikan segala yang saya tahu tentang kasus ini, dan Anda hanya perlu memberi tahu saya hasil pemeriksaan di toilet.” Aku pun terus menjelaskan.
“Saya berpikir tentang semua mitos dan legenda yang mungkin akan berkaitan dengan kasus ini. Bukankah kita sering mendengar bahwa toilet begitu menyeramkan karena seseorang pernah bunuh diri di sana?”
“Apa yang kamu bicarakan?” Dia mulai memperhatikan.
“Ada yang menggunakan mitos itu menjadi cara untuk menyembunyikan mayat korban, dan menjadikannya dalam posisi bunuh diri. Karena itu, pasti ada alasan sehingga aku menginginkan pemeriksaan terhadap segala toilet.”
“Dan saya tahu pelakunya. Jadi Anda, sebagai polisi akan menangkapnya. Bukankah itu sebuah kebanggaan bagi polisi untuk menangkap pelaku kejahatan?”
“Bagaimana? Apakah Anda tertarik dengan penawaran ini?” tanyaku sambil tersenyum.
“Baiklah. Apa yang ingin kamu lakukan?” Pertanyaan yang sama seperti saat pertama ke sini tadi, tapi dengan nada berbeda. Sepertinya ini pertanda penawaranku berhasil.
“Aku tidak sempat melihat secara teliti bagaimana kondisi toilet. Jadi, Anda tahu maksud saya.”
“Memangnya kenapa?”
“Untuk seseorang yang ingin menuju toilet, saya rasa merupakan insting memilih yang terdekat. Tapi, menurut saya, mayat korban yang terletak di sana, harus ditemukan dengan alasan tertentu, belum tahu apa itu.”
Dia mulai membukakan garis itu, seolah memperbolehkan diriku. Aku pun menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan ke dalam toilet. Cukup jijik, seiring membuka pintu sepenuhnya, sampai di toilet terujung. “Ah, benar saja. Toilet lain begitu kotor. WC jongkok yang seharusnya memiliki bak kecil berisikan air, kering. Kita sudah tahu bagaimana pelaku mengarahkan siapapun yang datang ke sini untuk menemukannya.”
“Anehnya, toilet ini cukup bersih, kecuali sisa genangan darah. Apakah itu berarti, toilet yang lain sengaja dikotori?” Aku terus berbicara sendiri karena memikirkan segala kemungkinan. “Tunggu, gayung di kamar ini tidak ada.”
“Seingatku tadi korban ditemukan dengan pisau yang menusuk bagian perutnya. Apa ada informasi lebih lanjut tentang itu, Pak?” Aku bertanya seiring keluar dan kembali memastikan tidak meninggalkan sesuatu di toilet sebelumnya, sampai aku menemukannya.
Gayung itu dengan sesuatu yang seperti lilin meleleh. Aku memandang polisi yang terus mengawasiku dan kembali ke toilet terakhir dan melihat ke dalam secara sepenuhnya dan menyadari sebuah perbedaan besar dibanding yang lain. “Tidak ada ventilasi.”
“Apapun informasinya tentang pisau nanti, itu bukan senjata utama. Dan ini, bukan bunuh diri. Ini pembunuhan.” Aku menyerahkan gayung itu dan keluar dari lorong kecil untuk merasakan udara yang lebih segar.
“Tadi malam, beberapa anggota OSIS baru melaksanakan uji nyali di sekolah ini. Berdasarkan yang saya ketahui, mereka diberikan misi untuk dilakukan. Semua itu dirancang, demi membunuh korban. Informasi lebih lanjut, saya meminta kepada Anda untuk menyelidiki lebih lanjut kepada OSIS agar tahu persis ide siapa. Karena jika diambil dari orang yang mengirim misi itu, saya curiga dia pelakunya. Hanya saja, saya belum bisa memberikan bukti.”
Aku merasa telah selesai. “Terima kasih telah mengizinkan saya masuk ke TKP.” Aku pergi ke ruang BP dan mencoba menguping pembicaraan mereka yang di dalam setibanya di depan pintu.
Saat yang tepat karena Mira sedang membahas tentang uji nyali. Dia menjelaskan bahwa misi diberikan kepadanya adalah mengambil sebuah bendera kecil di kantin, yang menandakan bahwa dia berhasil pergi ke sana. Dia mengaku sama sekali tidak tahu misi temannya yang lain. Tapi dia tahu tentang orang-orang yang ikut karena mengaku berkumpul sebelum berpencar dan dia yakin, Nabila masih hidup saat di awal uji nyali.
Merasa informasi yang kudapatkan cukup, aku kembali ke kelas tanpa memedulikan yang lain dengan kesibukannya masing-masing dan mencoba menggambar denah sekolah berdasarkan ingatanku selama setahun berada di sini, dan menandai posisi yang diketahui.
Aku hanya bisa menghela napas. “Masih banyak yang perlu dipecahkan.”