“Ah, kamu kembali. Lekas masuk.” Adya menyambutku setibanya datang. Dia hanya duduk di kursinya, sambil membuka buku dan mencoba menulis sesuatu dengan tangan di kepala. Aku langsung tahu bahwa dia sedang berpikir keras.
“Apakah pelajaran sudah dimulai? Aku ketinggalan?” Aku mendekat dan melihat apa yang dia tulis. Dia seperti menggambar denah dan membandingkan dengan gambar di ponselnya.
“Apa itu?” tanyaku sambil memandang ponselnya.
“Aku benci mengatakan ini, tapi mitos itu benar.”
Aku sangat terkejut mendengar ucapan itu. Aku mulai memulihkan diri setelah diwawancarai, mengambil kursiku dan meletakkannya di samping Adya, sehingga kami hanya fokus di satu meja. Sayangnya, tindakanku mengundang perhatian yang lain. Aku hanya memandang mereka sinis sebelum menunggu penjelasan Adya.
“Jadi, ceritakan apa yang kamu ketahui.”
“Ini adalah cuplikan berita dari koran yang kuambil di perpustakaan. Aku malas membawanya, jadi hanya memotret bagian penting. Ceritanya terlalu panjang, tapi ringkasnya sekolah ini memang pernah menjadi rumah sakit selama masa penjajahan. Lorong itu sebelumnya belum menjadi toilet dan tepat di belakang kelas ini, dulunya ada satu ruangan yang entah dipakai apa. Tapi tidak lama—beberapa tahun setelah kemerdekaan, ruangan itu dihancurkan.”
Aku mencoba memahami cerita ini, dan muncul pertanyaan, “Kenapa lorongnya dibiarkan?”
“Kecelakaan nampaknya terjadi, dan kuburan itu adalah makam dari para korban. Karena mereka seperti tidak ingin kutukan” Adya menghela napas. “Tapi itu hanya tentang sekolah ini. Belum memastikan siapa pelaku pembunuhan Nabila.”
“Pembunuhan?” Aku terkejut, tapi bangga setelah mengetahui bahwa Adya kembali memecahkan misteri.
“Semua pertanyaan hampir terjawab, kecuali kenapa?”
“Aku ingin mendengarnya.” Aku mendekat dan meletakkan tanganku di meja Adya.
“Di mana. Jelas, toilet terujung. Aku belum menemukan alasan kenapa Nabila dibunuh di sana, tapi aku tahu bagaimana. Aku menemukan bekas gayung dengan semacam lilin di dalamnya. Aku menebak itu memberikan asap yang menghisap habis oksigen di dalam ruangan tanpa ventilasi itu. Sayangnya, aku juga belum menemukan alasan kenapa dia harus ditemukan, bahkan olehmu.”
“Siapa.” Aku membuka sebuah gambar dari galeri ponsel. “Aku hanya dapat ini. Salinan proposal tentang uji nyali di Ruang OSIS. Ada empat peserta bukan? Mira Widyadana—kamu, Nabila Lailasari, Dirja Prasetya, Mariadi Wibisono.”
“Itu hanya pengurus inti sebenarnya. Ketua, wakil, sekretaris, bendahara.”
“Biar kutebak, kamu sekretaris.” Aku tidak menyangka tebakannya benar, dan kusahut dengan anggukan.
“Bolehkah aku melihat pesan misi di ponselmu? Siapa tahu juga ada petunjuk tambahan, jika kalian—OSIS punya grup pembicaraan.” Aku pun memercayakan ponselku kepada Adya setelah membukanya dan membiarkan dia melihat sejenak ke dalam aplikasi perpesanan. Dia tampak terkejut setelah melihat sebuah pesan.
Tangan Adya bergegas merogoh tas “HP Nabila?”
“Ya, aku menemukannya di bawah kolong mejanya. Bagaimana kamu tahu ini milik Nabila?”
“Aku sempat melihat dia menggunakannya saat kami berada di luar sekolah, tapi dia mengaku ponselnya tertinggal di kelas dan mengira kelas terkunci. Karena itu, saat dia tidak kembali, aku memanggilnya berkali-kali setelah diperbolehkan menggunakan ponselku.”
Aku dapat melihat Adya membuka daftar panggilan. “Panggilan tidak terjawab, darimu, dan dari … keluarganya.” Rasa sakit dapat kami rasakan, penuh dengan penyesalan.
Aku terdiam setelah menyadari sesuatu. “Seluruh ruangan terbuka malam itu.” Mataku membelalak, memandang Adya. “Astaga, dia sebenarnya memberi petunjuk besar, seakan sudah tahu sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.”
“Semua ini sudah cukup, Adya. Apa lagi? Ayo, tangkap pelakunya.”
“Aku lupa mematikan dering ponsel.”
Itu membuatku malu sambil memandang yang lain. Rupanya mereka juga membuka ponsel, aku bisa melihat pandangan mereka mengarah ke jendela luar dan mulai berjalan dengan cepat keluar.
Aku dengan cepat membaca pesan terbaru dari grup obrolan dan memandang Adya. “Lekas ke lapangan.”
“Ada apa?” tanyanya. Aku hanya diam sambil menarik tangannya, menyuruh bergegas pula.
Sesampainya di sana, kami berhasil mendekat setelah melalui sekumpulan siswa yang telah lebih dulu berada di sini. Kami melihat Dirja dibawa oleh polisi dari Ruang OSIS menuju mobil polisi. Aku belum paham apa yang terjadi, tapi setelah melihat sebentar apa yang Adya tadi buka di kelas, aku menebak polisi sudah menemukan pelakunya.
Adya terus mendekat kepada Dirja. “Dirja. Aku hanya ingin memastikan, kamu yang menggunakan ponsel Mariadi dan memberi misi untuk pergi ke toilet terujung itu bukan? Pesan yang kamu tulis dibanding Mariadi menjadi petunjuk terbesar.” Dia hanya diam. “Tapi kenapa?”
“Aku mencintainya, tapi dia malah memilih Mariadi.” Dia memandang kami dengan murung sebelum dimasukkan ke dalam mobil polisi.
“Kembalilah ke kelas!” perintah Brigadir Polisi Harjasa Irawan dengan tegas.
Keributan tak lama berubah menjadi hening, seiring para siswa yang meramaikan mulai kembali ke kelas bersama kami. Aku berjalan berdampingan dengan Adya. “Jadi, OSIS kita tanpa wakil ketua?” Adya terdengar bergumam.
“Hm?” Aku memastikan.
“Ah, bukan apa-apa. Aku bersyukur kasus ini dan mitos di sekolah tidak ada hubungannya.” Dia diam sejenak, yang membuatku kebingungan.
“Oh ya, aku hanya penasaran, tapi apakah kamu jadi menggunakan toilet?” Pertanyaan itu mengejutkanku dan membuat sontak memukulnya. Dia sempat mengelus lengannya, yang membuatku diam sejenak.
“Aku berakhir menggunakan toilet di Ruang BK,” jawabku pelan.
“Waktu istirahat memang bukan waktu yang tepat untuk menggunakan toilet.” Aku tertawa kecil mendengar celetuknya.