arrow_back

Permata Berharga

arrow_forward

Lembayung senja semakin meredup, dengan hawa dingin mulai menyelimuti hutan belantara tempat Ira dan teman-temannya sedang bermain petak umpet di sana. Ira yang mendapat giliran untuk jaga, sedang mencari teman-temannya yang bersembunyi di balik lebih dari puluhan pohon yang ada di hutan itu. Perlahan dia terus menjauh dari pohon beringin selaku pohon terbesar di hutan itu, tempat awal permainan. Dengan pemandangan yang begitu serupa, Ira melupakan arah dia berjalan.

Suara angin yang terus mendesir, memenuhi langit yang mulai kelam. Setiap langkah di atas dedaunan kering, seakan berdampak keras. Retakan demi retakan membuat Ira berhati-hati dalam berjalan. Tupai yang melompat di hadapannya membuat dia bergidik, namun tidak menghentikan langkahnya.

Tangisan anak kecil mulai terdengar dari kejauhan. Suaranya sayup-sayup, menarik perhatian Ira untuk mendekat. Langkahnya terhenti di depan sebuah pohon. Dia melihat sebuah kardus yang mulai lusuh, dan suara itu semakin keras seiring dia mendekatinya.

“Ira!” Suara yang memanggil itu mengalihkan pandangannya.

“Sst!” Ira meletakkan telunjuk kanannya di depan bibir. “Diamlah, Bayu.” Ira mendekati Bayu yang bersembunyi di balik pohon, tidak jauh dari tempat dia menemukan kardus tersebut.

“Kau berhasil menemukanku!” Bayu kemudian berancang-ancang untuk lari menuju pohon beringin, tetapi Ira menahan tangannya.

“Tunggu dulu!” bisik Ira.

“Denger gak suara itu?”

Suara semak-semak yang terinjak mulai terdengar dari kejauhan.

“Aku mendengarnya.” Suara Bayu terdengar gemetar ketika mengucapkannya. Dia kembali bersembunyi, bahkan berlindung di balik punggung Ira.

Ira turut takut ketika menyadari bahwa bukan suara itu yang dia maksud. Dia dan Bayu hanya bisa mengintip dari belakang pohon, apa yang akan terjadi.

Suara auman mulai terdengar. “Semoga hewan itu tidak memakan kita.” Bayu berharap sambil berpejam.

Sosok itu muncul, seakan bayangan yang tersingkap. Ia adalah harimau putih, yang ukurannya jauh lebih besar dibanding Ira dan Bayu. Dia mendekati kardus dengan suara tangisan itu.

Harimau itu mengoyak kardus tersebut dan merogoh isinya dengan mulut. Dia membuka mulut dan mengambil hal di dalam kardus itu.

“Bayi?” Ira terkejut dan tidak percaya apa yang dia lihat.

Mendengar suara Ira, harimau putih sontak menengok. Matanya merah menyala, seakan bersinar ketika memandang Ira.

Ira langsung bersembunyi dan berpejam. Suara tangisan berhenti diiringi langkah kaki yang menjauh.

“Apa yang baru saja terjadi?” tanya Bayu.

“Sekarang waktu yang tepat untuk kita….”

“Lari!”


Ira belum dapat melupakan hal yang baru saja terjadi. Dia terus melamun di kursi ruang makan, sampai disadarkan oleh suara piring yang diletakkan di hadapannya.

“Makan malam sudah siap,” ucap Ibu Ira.

“Ada apa, Ira? Kamu kok melamun?”

“Aku tadi main petak umpet bareng temen-temen, terus pas nyari mereka, aku denger suara tangisan gitu. Nah, gak lama kemudian, ada harimau putih besar muncul, dia ngambil bayi itu. Aku kaget dong. Jadi, karena suaraku, harimau itu nengok. Matanya merah menyala, abisnya, dia pergi aja.”

Suasana di ruang makan itu mulai hening sejenak. “Takau.” Mata Ibu Ira membelalak mendengar celotehan suaminya, kemudian mengangguk karena paham apa yang dimaksud.

“Untuk malam ini, makanan tolong habiskan, ya.” Ibu Ira menepuk pundak anaknya.

“Kenapa?”

“Biasanya, kalau kamu tidak menghabiskan makanan, Ibu akan meletakkan sisanya di depan rumah untuk memberi makan kucing yang lewat. Untuk jaga-jaga, malam ini tidak dulu, karena apa yang kamu lihat itu, bukan harimau putih sungguhan. Dia bisa saja berubah menjadi kucing misalnya, dan akan mendatangi rumah kita. Kita tidak ingin itu, bukan?”

Ira mengangguk kuat dan mulai makan. Setelah menghabiskannya, Ira mendekat kepada ibunya. “Aku ingin tidur dengan ibu malam ini.”

“Tentu saja.”


Suara tangisan bayi terdengar dekat dengan kamar tidur Ibu Ira, membangunkan dirinya dan Ira dari tidur mereka. Sementara itu, tidur Ayah Ira nampaknya begitu nyenyak sehingga tidak menghiraukan hal tersebut. Mendengar suara itu, Ira kembali teringat apa yang terjadi di hutan, dan bersembunyi di balik selimut. Ibu Ira pun bangun dan duduk di kasurnya.

“Aku bukan ibumu. Ibumu adalah Ayu, siswi SMA Pelita dekat kampung ini.”

“Apa yang baru saja ibu lakukan?!” tanya Ira sambil membuka selimut.

“Itu bukan suara bayi biasa. Itu suara Anak Sima.”

“Anak Sima?”

“Dia bisa memakan jantung kita jika tidak diindahkan.”

“Ibu tidak asal tuduh, bukan?”

“Tentu saja tidak.”

“Anak-anak dari SMA Pelita itu, banyak di antara mereka yang sering membolos dan lewat di depan rumah kita. Di antaranya, ada Ayu, Ibu sangat yakin itu namanya. Dia bersama gadis yang lain, begitu bebasnya tertawa terbahak-bahak. Ibu telah mencoba untuk menegur mereka, tetapi Ayu, dia malah menjulurkan lidahnya dan lanjut berbicara.”

“Ibu tidak bermasalah dengan hal itu. Masalanya, ibu melihat dia membawa kardus itu ke arah hutan. Dia duduk di bagian belakang motor yang dibawa oleh seorang laki-laki. Ibu tidak tahu siapa laki-laki itu, tapi dari cara memegang kardus itu, dan ibu yang sempat melihat kardus itu sendiri meski secara sekilas, ibu sudah tahu apa yang dia bawa.”

“Dari perilakunya, itu adalah bayi yang kemungkinan anaknya. Dia membuangnya karena malu atas hasil dari hubungan sebelum menikah.”

Ira hanya diammendengarkannya. “Kelak, kamu akan mengetahui apa yang ibu maksud, tapi ibujamin, kami sudah lama menikah sebelum kamu lahir Ira. Maka ketahuilah, Ibu danAyah akan selalu menjagamu. Oke?” Ira mengangguk, meski dengan wajah murung.

Komentar