Gemuruh menggelegar membisingkan langit yang murung tanpa cahaya. Percikan kilat menyambar bentala, menghantam bebatuan. Kini tanah kerontang akan disiram kasih sayang Tuhan. Lahan yang gersang setelah dilanda kemarau lama, para warga mulai terlihat bahagia dan bersyukur karenanya.
Sementara itu, seorang anak melangkahkan kakinya dengan begitu cepat dari dalam rerimbunan pohon. Tahu badai akan menerpa dirinya, dia berusaha lari sekuat tenaga untuk kembali ke desa. Sayang, hujan lebih dulu sampai ke bumi dibanding dirinya.
Terpaksa dia mencari pohon dengan dedaunan yang lebat sebagai tempat berteduh, entah ke mana harus mencarinya. Suara penghuni hutan yang tadinya terdengar bagai paduan suara, sekarang tertutupi oleh rintik air.
Rasa lapang muncul di hatinya, didapat dari perlindungan alam yang terlihat nyata. Anak itu terhanyut dalam khayalan hari-hari yang pernah dilalui. Pada cuaca yang tidak jauh berbeda dari sekarang, dia menghentakkan kaki di atas genangan air dan di bawah guyuran hujan.
“Ingat Cu, kamu harus berhati-hati jika hujan.” Suara nenek terngiang di telinga anak itu. Ingatan berupa tangan ditarik dan dibawa segera berteduh ke dalam rumah terlintas di benaknya.
Lantas tersadarlah dirinya, di mana dia bersinggah. Pohon yang anak itu tempati, berada tidak jauh dari sebuah danau yang terletak di tengah hutan. Air danau tidaklah berombak, namun tetesan hujan yang terselip di antara dedaunan terjun menyentuh permukaan.
Tidak lama kemudian, air yang tadinya tenang sekarang mulai beriak. Sepasang tanduk yang melengkung ke belakang keluar perlahan dari dalamnya. Terungkaplah kepala sesosok makhluk hidup yang anak itu tidak percaya keberadaannya.
Kepalanya seperti segitiga terbalik, dengan mata berbinar layaknya permata. Jumbai di rahangnya melambai seraya tetesan air jatuh darinya. Tubuhnya yang berwarna-warni muncul perlahan dengan gerakan meliuk dari sana. Sayapnya bagai sirip bersisik nan berkilau yang apabila terkena cahaya, pantulannya menyilaukan mata. Ekornya bagai cambuk berduri yang siap mendera siapa dan kapan saja.
Makhluk berbentuk naga itu telah keluar sepenuhnya dari dalam air dan menengadah ke langit untuk beberapa lama. Dia pun mengeluarkan suara yang dalam lagi merdu, terdengar bergema di seantero jagat raya.
“Apakah kamu Tija, yang sering diceritakan oleh nenek dan warga desa?” tanya si anak kecil begitu saja. Matanya berbinar menyaksikan sebuah fenomena yang mungkin tidak akan datang untuk kedua kalinya.
Sang naga pun menoleh kepada dirinya. “Aku begitu ingin bertemu denganmu, dan inilah saatnya!”
Tatkala suara anak itu terdengar di telinga sang naga, perhatiannya beralih sehingga dia mendekati si anak dengan lambat lagi hati-hati. Terlintas di pikiran anak itu bahwa apa yang baru saja dia lakukan akan berakhir buruk.
Naga itu mendekati anak laki-laki itu dengan lambat dan hati-hati. Anak laki-laki itu bisa saja bergerak atau berteriak, tapi dia memilih diam saja. Dia merasa naga itu akan memakannya, tetapi juga ingin menyentuhnya.
Jantung sang anak berdegup kian kencang seiring naga menghampiri dirinya. Sampai akhirnya, wajah mereka berhadapan dan pandangan mata saling bertemu.
Mulut si naga terbuka perlahan, mengembuskan napas hangat yang membuat tubuh anak itu bergidik. Dia kembali bersuara, seakan mengajak sang anak untuk bicara. Suaranya yang dalam lagi merdu menghanyutkan siapa saja yang mendengarnya.
“Aku tidak paham sama sekali apa yang kamu bicarakan.” Anak itu tertawa.
Sang naga kemudian menjulurkan lidahnya dan menjilat pipi anak itu dengan lembut. Sang naga pun mendekatkan tubuhnya kepada anak itu dan memberi isyarat dengan kepalanya, mengajaknya naik ke atas punggung.
Anak itu naik perlahan tatkala badan sang naga sudah menyentuh tanah. Naga itu membawanya naik ke atas danau seiring dia menghirup seteguk air. Danau itu pun berubah warna dari yang tadinya jernih menjadi penuh warna.
Rintik hujan mulai reda. Kilauan cahaya menembus dedaunan, membuat danau itu terang dan berkilauan. Tubuh naga pun menggeliat, sehingga anak itu berpegang erat.
“Wah!” ucap anak itu berdecak kagum.
Sang naga membawanya naik menjelajahi angkasa. Dia melihat desanya yang atap rumah masih basah sehabis hujan yang baru saja menerpa. Dia menyaksikan hijaunya dedaunan dari pohon-pohon tempat dia berkelana tadinya. Dia melihat gunung di kejauhan, dengan embun yang masih menyelimutinya. Dia berangan untuk turut melihat samudera di ujung sana, tetapi naga yang membawanya menukik ke bawah untuk kembali.
Dia mengingat kembali warna danau sehingga menoleh ke belakang. Dia melihat jalur yang dilewati oleh sang naga kini penuh dengan warna.
“Kamu memang Tija! Tija Bahindala!” Anak itu semakin riang. “Darimulah pelangi tercipta!”
Anak itu menyadarinya dan sekarang dia bahagia. Dia menyaksikan secara langsung terjadinya bias cahaya yang memecah cahaya menjadi lebih dari tujuh warna.
“Terima kasih!” ucapnya dengan gembira sambil memeluk tubuh naga.
Perjalanan itu berakhir tatkala naga kembali ke tempat dia muncul. Anak itu pun turun dari tubuh naga dan mengelus kepalanya. Naga itu kemudian melata menuju danau yang dalam dan bersembunyi di dalamnya.
“Aku harus menceritakan apa yang baru saja terjadi.” Anak itu kembali ke rumah dengan riang, menembus hutan untuk pulang menuju desanya.
Dirinya seakan disambut oleh warga desa saat tiba di rumahnya. Terlihat mereka baru saja menatap langit seraya menengadahkan tangan untuk menyampaikan harapan masing-masing.
“Akhirnya, kampung kita hujan juga!” ucap salah satu warga bersyukur atas pemberian yang baru saja diterima mereka.
Anak itu mengetuk pintu dan masuk ke dalam rumahnya. Neneknya yang sedang merajut di kursi goyang, menatapnya dengan senyuman seiring anak itu duduk di atas kasur dekatnya.
“Nek, tadi aku melihat Tija dengan mataku sendiri.”
Sang nenek sempat terhenti dari merajut sejenak. “Apa yang kau lihat adalah kebaikan.”
“Aku berharap bisa kembali bertemu dengannya,” ucap anak itu sambil berbaring.