arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Malam menuju 1 Ramadan.

Tabuhan rebana terdengar semarak menyelimuti desa. Kilauan cahaya dari lampu gantung yang menjuntai menyinari jalan setapak tempat barisan manusia berjalan di atasnya. Obor dan lentera di tangan sebagian dari mereka, dengan raut terlihat bahagia.

“Marhaban ya Ramadan. Marhaban syahraṣ-ṣiyām.” Kalimat itu terus didendangkan sepanjang jalan.

Betapa gembira warga desa Cendekiasari menyambut kedatangan sebuah bulan yang mulia. Namun, ada sesuatu lagi yang akan disambut oleh mereka.

Gerbang desa yang dibangun dari bambu menjadi saksi bisu akan kedatangan seseorang. Dia telah lama berada di perantauan dan pada akhirnya pulang ke kampung halaman. Kabar yang disampaikan oleh laki-laki bernama Rasyid itu telah tersebar sampai penjuru desa.

Rombongan warga berhenti di depan sebuah rumah. Tempat tinggal keluarga Rasyid menjadi tempat berkumpul sembari menunggu kedatangannya.

“Assalamu ‘alaikum.” Sapaan terdengar dari kejauhan. Langkah kaki kian mendekat ke arah warga dan cahaya perlahan menerangi sosok tersebut.

Seorang wanita paruh baya yang masih mengenakan mukena bangkit dari kursi di teras rumahnya dan berjalan cepat untuk menyambut kehadirannya. Tanpa ragu, dia memberikan sebuah pelukan kepada Rasyid yang dibalas dengan mencium tangannya.

“Bagaimana kabar Ibu?” tanya Rasyid.

“Alhamdulillah, sehat. Sudah lama sejak kamu pergi dari desa ini.”

Rasyid memandang para warga yang masih ada di sana. Dia hanya bisa tersenyum kepada mereka sembari terus berjalan menuju rumah. Masih duduk di kursi teras, ayah Rasyid menyipitkan mata menyaksikan sang anak yang berjalan ke arahnya. Rasyid melepas ransel yang dia bawa kemudian berlutut di depan ayahnya untuk meminjam tangan dan turut dicium pasca menyampaikan salam kepadanya.

“Aku akan menaruh tas dulu ke kamar, kemudian berbincang dengan mereka.” Rasyid memandang para warga sebagai isyarat.

Komentar