arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Malam menuju 1 Ramadan.

Rasyid sekarang berada di teras setelah menaruh tasnya di kamar. Sang ayah pun telah dibawa masuk, menyisakan dia yang berniat untuk berbincang dengan warga. Sayangnya sebagian dari mereka telah pergi.

“Ke mana perginya mereka?” Rasyid bertanya.

“Sebentar lagi Isya.” Suara itu terdengar tidak asing di telinga Rasyid.

“Fahreza.” Rasyid akhirnya melihat ke arah datangnya suara. Dia menghampiri seseorang yang masih berada di depan rumah. Mereka berjabat tangan dengan semangat. “Senang bertemu denganmu lagi.”

“Dalam hitungan menit, azan akan segera dikumandangkan. Apakah kamu akan melaksanakan Isya di sini?” tanya Fahreza.

“Aku sudah jamak taqdim sebelum ke sini.”

“Kalau seperti itu, apakah kamu berkenan jadi imam tarawih?”

“Apa yang terjadi dengan Bapak Supardi?”

“Sepuluh hari setelah Iduladha tahun tadi beliau meninggal. Sejak itu digantikan ayahmu dan sekarang engkau melihat bagaimana keadaannya. Fahreza mengisi posisi imam saat ini.” Ibu Rasyid yang menyaksikan pembicaraan itu terjadi dari pintu rumah, menjawabkan pertanyaan sang anak.

“Aku terima sebagai permintaanmu, Fahreza, tetapi aku meminta balik agar kamu dapat membenarkan apabila salah.”


Rasyid baru saja pulang dari musala seusai melaksanakan salat di sana. Fahreza mengantarkannya sambil berbincang di jalan untuk berbagi cerita. Setibanya di rumah, alih-alih langsung pergi ke kamar, dia memilih duduk di kursi tamu dan berbicara dengan sang Ibu.

“Sudah lama engkau berada di perantauan, wahai Rasyid. Apa yang kamu ingin capai?” Ibu Rasyid menanyakan target sang anak.

“Liburku tidak lama, Bu. Sehari setelah hari raya aku akan segera kembali ke perantauan. Tahun ini, aku akan menyelesaikan kuliahku. Apabila semua telah selesai di sana, aku rasa akan kembali tinggal di sini.”

“Aku belum tahu bagaimana kelanjutannya, tetapi di sini aku berharap menjadi manusia yang bermanfaat bagi semua.”

Komentar