arrow_back

Sandiwara Hikayat

arrow_forward

Semilir angin menerpa kesunyian dalam keraton. Untaian bunga menggantung berayun dalam alunan. Berdirilah kerajaan di tanah harum semerbak, dengan pemimpin nan bijaksana.

Sultan Amrullah, warga memanggilnya. Tangannya tidak lelah memberi segel pada surat kerajaan yang akan dikirim ke daerah. Didampingi Mangkubumi, sang ajudan setia, sahib karib dalam kuasa.

Selesai dengan surat terakhir, Sultan bersandar sejenak di singgasana. Mengingat satu hal, dia mengajak Mangkubumi untuk berbicara. “Mangkubumi,” dia berujar, memanggil Mangkubumi meski dia di sisinya.

“Ada apa, wahai Baginda Sultan?” Mangkubumi menjawab seraya menunduk.

“Bagaimana kabar Nyai Ratu?” tanya Sultan dengan tatapan mengharap jawaban segera.

“Apakah maksud Baginda, Nyai Ratu Amirah, istri Baginda?” Mangkubumi bertanya kembali, memastikan agar dia dapat menjawab Sultan sesuai dengan harapan. Sang Sultan menjawabnya dengan anggukan. “Beliau sehat wal afiyat. Dayang Faridah telah menjaga dan merawat beliau dengan baik.”

“Bisakah aku bertemu dengannya sekarang?” Pandangan pengharapan dari Sang Sultan kembali nampak.

“Belum, Baginda,” jawab Mangkubumi. “Kita tidak tahu apakah akan ada surat lagi. Bersabarlah sampai waktu malam tiba.”

Sultan kembali menyandarkan punggungnya, menatap ke atas seiring mengingat agenda. “Bukankah malam ini aku ada acara?”

Mangkubumi turut mengingatnya. “Benar, Baginda.” Dia menunduk karena hampir lupa, menyesali jawaban sebelumnya. “Malam ini Baginda dijadwalkan untuk menghadiri salat Magrib dan salat Isya di Masjid Sabilal Muslimin, sekaligus melaksanakan tahlilan untuk haul wafatnya Ayah Baginda, Sultan Ansharullah.” Sultan menghela napas, mengetahui dia tidak akan bisa menemui istrinya dalam waktu dekat.


Kelamnya langit tanpa bintang menjadi atap dalam perjalanan Sultan Amrullah dengan Mangkubumi menuju Masjid Sabilal Muslimin. Langkah kaki di atas jalan berpasir terdengar jelas di telinga dalam malam yang sepi. Sultan Amrullah mengenakan pakaian sederhana, baju muslim berwarna putih, sarung, dan peci hitam di kepala, alih-alih memakai maskat yang menjadi pakaian kehormatan dan kebanggaannya.

“Mohon maaf sebelumnya Baginda, saya izin bertanya.” Mangkubumi berbicara dengan Sultan dari belakang. Sultan menatapnya, seakan memberi isyarat agar dia melanjutkannya. “Apakah Baginda yakin hanya berpakaian seperti ini untuk menuju Masjid?”

“Bukankah kau sudah pernah melihatnya, Mangkubumi? Aku selalu berpakaian seperti ini untuk ibadah, dan aku tidak akan membedakannya.”

Mangkubumi terdiam, teringat kejadian di waktu lampau. Saat itu, dia merasa sangat memerlukan Sultan untuk urusan, tapi tidak menemukannya di singgasana. Dia terus mencari di seluruh keraton, sampai menemukannya di anjung kanan, shalat dan mengimami istrinya, Nyai Ratu Amirah. Kehadiran Mangkubumi disadari oleh Sultan, seiring arah salamnya menghadap pintu.

Setibanya Sultan di masjid, sandal diletakkan di antara sandal-sandal masyarakat yang lain. “Wah, itu Sultan Amrullah!” Anak-anak yang menyadari kehadiran Sultan berlarian ke halaman mesjid, berebut untuk mendapatkan salam dari orang tertinggi di daerah itu. Seraya Sultan membiarkan hal itu, Mangkubumi tetap berusaha melindungi Sultan dari kerumunan.

“Kembalilah ke dalam dan duduk. Sultan akan masuk.” Anak-anak itu patuh dengan perintah Mangkubumi. Mereka berjalan kembali masuk ke dalam masjid.

Sultan pun berhasil masuk melalui salah satu pintu, melihat anak-anak telah duduk dengan rapi di saf belakang sehingga dia tersenyum. Imam Abdurrasyid, pemimpin ibadah dalam masjid itu turut menyadari kehadiran Sultan kemudian berdiri dan mendekat untuk menyambut Sultan dengan jabat tangan. “Assalamu ‘alaikum, Sultan,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.

“Wa ‘alaikumussalam warahmatullah.” Sultan Amrullah menjawab dan menjabat tangan Imam Abdurrasyid.

“Anda terlihat berbeda dari biasanya,” celetuk Imam Abdurrasyid. Dia sering juga berkunjung ke keraton untuk sekadar silaturahim. Sultan Amrullah hanya tersenyum mendengar itu.

Imam Abdurrasyid terus membawa Sultan Amrullah menuju saf terdepan sambil berbicara. “Salat Magrib sebentar lagi tiba. Maukah Sultan menjadi imam kali ini?”

“Engkau saja. Bukankah engkau telah menjadi imam tetap di sini?” sahut Sultan, menolak permintaan tersebut dengan halus. Pada akhirnya, beliau hanya mau untuk membacakan doa dalam pelaksanaan tahlilan pada malam itu.

Sepulang dari masjid, Sultan berbicara kepada Mangkubumi sambil memasang sendalnya. “Bagaimana menurut engkau kalau kita berpisah dari sini? Aku ingin pulang sendiri.”

“Bukankah lebih baik jika saya mengantarkan Baginda? Saya tidak mau Baginda merasakan kejadian buruk dalam perjalanan pulang. Izinkan saya setidaknya sampai halaman rumah Baginda.” Mangkubumi masih ingin melindungi Sultan.

“Baiklah, jika itu keinginan engkau,” jawab Sultan. Mereka terus berdampingan, berjalan menuju rumah Sultan. Bahkan, Mangkubumi tidak menjauh sebelum Sultan masuk ke dalam pintu rumahnya.

Sesampainya di rumah, Amrullah langsung mencari istrinya. Rupanya dia telah bersiap untuk tidur di kamar. Amrullah pun memeluk Amirah. “Amirah,” ucapnya dalam pelukan, “tahukah engkau betapa rindunya diriku dari keraton?”

Nada bicara yang terdengar bergetar, pelukan yang dilepas dengan berat, dan mata yang saling memandang. “Ya, aku tahu itu,” ujar Amirah.

“Aku mendengar dari Mangkubumi, Dayang Faridah merawatmu dengan baik.” Amrullah memegang kedua pundak Amirah dengan tangannya.

“Itu benar,” jawab Amirah dengan tenang.

“Alhamdulillah.” Amrullah lega. “Di mana dia sekarang?”

“Tentu saja di rumahnya. Dia juga punya keluarga.” Amrullah terkejut dengan itu, seakan baru tahu. Dia mengira Dayang akan terus mendampingi Nyai Ratu bahkan sampai tidurnya.

“Bagaimana keluarganya?” tanya Amrullah penasaran sambil berbaring.

“Dia biasanya bercerita tentangnya, tapi tidak hari ini. Bahkan dia terlihat gelisah.” Amirah turut merebahkan punggungnya di atas kasur. Wajah mereka saling berhadapan.

“Bagaimana kalau kita ke rumahnya besok? Aku akan memberitahukan Mangkubumi. Aku takut dia mengalami masalah yang berat dan akhirnya tidak dapat melindungimu.”

“Aku bisa berkunjung ke sana dengan dayang lain, jadi engkau tidak harus meninggalkan keraton.”

“Tapi….” Nada yang terdengar sedih, demikian pula nampak wajah Amrullah. “Aku hanya iri kalian lebih sering bersama. Engkau yang di Balai Bini, aku yang di Keraton, kita sudah lama tidak berjalan berdampingan.”

Merasa kecewa, Amrullah memalingkan tubuhnya sehingga tidak lagi menghadap Amirah. Matanya yang memejam perlahan, tidak lama langsung larut dalam tidur karena kantuknya. Amirah memasangkan selimut kepadanya dan terus mendekati Amrullah.

“Maafkan aku, kasihku,” Amirah membelai punggung Amrullah. “Aku takut engkau akan menunjukkan kemesraan di hadapan umum, sedangkan pasti akan ada yang membenci engkau karenanya. Wibawa engkau sebagai seorang sultan sangatlah berharga, wahai kasihku. Aku ingin agar masyarakat tetap patuh pada engkau, selalu mendengarkan keputusan terbaik yang engkau pilih.” Amirah tertidur dengan tangan memeluk Amrullah.

Amirah terbangun di dini hari dan menyadari Amrullah sudah tidak ada di sisinya. Selimut yang seluruhnya telah berada pada dirinya, membuat panik karena ini bukan kebiasaan. Amrullah, selalu membangunkan Amirah dengan lembut, duduk di sampingnya sampai matanya terbuka sepenuhnya dan kantuk hilang dari dirinya. Setelah Amirah bangun dan duduk, barulah Amrullah meninggalkannya.

Amirah mencari di seluruh rumah, dengan tujuan utama anjung tempat Amrullah biasa menunggunya untuk salat berjamaah di rumah, tapi dia tidak ada di sana. Membuka jendela dan menatap langit, dia berusaha untuk menenangkan diri dan bersiap untuk salat sendiri.

Komentar