“Sultan Amrullah?”
Imam Abdurrasyid menyambut kedatangan Sultan Amrullah yang rupanya datang sendiri ke Masjid Sabilal Muslimin untuk salat Subuh pada dini hari itu. Jabatan tangan tidak lepas seiring Sultan Amrullah mendekat ke saf pertama dan duduk di belakang mihrab bersama Imam Abdurrasyid.
“Bisakah engkau memanggilku Amrullah, sekali saja?” pinta Amrullah.
“Tidak akan. Engkau adalah orang yang terhormat di Kesultanan ini. Kemanapun engkau pergi, semua orang akan tunduk kepadamu.”
“Kecuali di tempat ini.” Amrullah tersenyum ringan.
“Berkenankah engkau wahai Sultan untuk menjadi imam pada shalat Subuh ini?” Imam Abdurrasyid kembali meminta Amrullah. Amrullah berpaling sejenak, memandang jamaah yang lebih sepi dibanding Magrib dan Isya sebelumnya.
“Baiklah.” Sultan Amrullah akhirnya menerima permintaan Imam Abdurrasyid dari sehari sebelumnya.
“Terima kasih.” Imam Abdurrasyid pun tersenyum mendengar jawaban itu.
“Andai aku bisa ke sini setiap Subuh, akankah jamaah lebih ramai dari ini, dan akan menyamai Magrib dan Isya?”
“Bagaimana kalau kehadiran engkau diumumkan saja? Aku merasa tadi malam mereka berhadir karena kau direncanakan ada di sini.”
“Kurasa tidak perlu.” Sultan Amrullah memandang Imam Abdurrasyid dengan serius.
“Kalau begitu, karena nampaknya waktu Subuh telah tiba, izinkan saya untuk mengumandangkan azan.” Imam Abdurrasyid memandang langit yang lebih cerah dibanding tadi mala dengan bulan dapat terlihat menjunjung tinggi, berdiri kemudian menunduk kepada Sultan Amrullah.
“Lakukan saja. Kenapa harus minta izin?”
Ringkas kisah, salat Subuh selesai dilaksanakan dengan jamaah yang tidak terhitung banyak. Mereka yang menyadari Sultan Amrullah menjadi imam, bersalaman dengannya sepulang dari masjid. Tersisalah Sultan Amrullah dan Imam Abdurrasyid.
Sultan mendekati Imam kemudian berujar, “Bayangkan jika aku tidak mengizinkan engkau azan Subuh tadi.” Sultan Amrullah menepuk pundak Imam Abdurrasyid. “Jangan pernah meminta izin dariku lagi untuk hal seperti itu. Aku tidak menyukainya.” Sultan tersenyum.
“Tapi menurutmu, kenapa jamaah lebih sepi dibanding Magrib dan Isya tadi malam?” tanya Sultan Amrullah.
“Mungkin mereka kelelahan setelah menyiapkan acara?” jawab Imam Abdurrasyid mencoba berpikir positif.
“Ya, mungkin mereka hanya kelelahan.” Sultan Amrullah hanya tersenyum. “Sepertinya, kamu juga.” Dia menepuk pundak Imam Abdurrasyid lagi. “Aku pulang lebih dulu. Assalamu ‘alaikum.” Sultan pun meninggalkan Imam dengan berjalan.
“Wa ‘alaikumussalam,” sahut Imam Abdurrasyid dengan senyuman.
Dalam perjalanan pulang, seorang gadis yang memeluk lipatan sajadah berisi mukena memandang Sultan untuk waktu yang cukup lama. Seakan mengenalnya, dia langsung tunduk dan bergegas pergi. Sultan Amrullah nampaknya menyadari hal itu.
“Engkau Dayang Faridah bukan?” tanya Sultan menghentikan jalan gadis itu meski harus mengucap gelarnya. Hal itu seolah menjawab pertanyaannya. Sultan mulai mendekat namun berhenti karena teringat sesuatu.
“Engkau akan pulang ke rumah?” Sultan hanya memastikan. Dayang Faridah mengangguk pelan.
“Aku belum tahu di mana rumah engkau, jadi akan ikut.” Dayang Faridah sontak memandang Sultan dan terlihat gelisah.
“Tapi bagaimana jika masyarakat yang mengenali kita akan menyebarkan kabar buruk layaknya fitnah. Baginda tidak pernah terlihat berdampingan dengan wanita lain sebelumnya.”
Sultan terdiam mendengar pemikiran Dayang Faridah yang dia ungkapkan, menyadari bahwa adanya kemungkinan hal itu terjadi dengan sungguh.
“Tenanglah. Untuk menghindari itu, aku akan mengikuti engkau jauh di belakang. Berjalanlah sebagaimana biasa. Jika engkau bersikap ketakutan seperti ini, orang akan berpikir lebih buruk daripada yang kau bayangkan. Kita tidak mau hal itu terjadi, bukan?” Dayang Faridah mengangguk dan terus berjalan. Beruntung, jalan yang dilalui masih sepi sehingga mereka dapat berjalan dengan santai.
Setibanya di rumah, Dayang Faridah membuka pintu sambil berucap, “Assalamu ‘alaikum.”
“Assalamu ‘alaikum.” Sultan Amrullah turut mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah.” Suara lemah dari seorang wanita terdengar menyahut. “Dengan siapa kamu pulang, Faridah?” Dialah Nyai Ratu Karimah, ibu dari Dayang Faridah.
“Sultan Amrullah, Ma,” jawab Faridah. Mendengar nama tersebut, Nyai Ratu Karimah berusaha dari pembaringannya di ruang tengah, terlihat jelas oleh Sultan.
“Jangan engkau paksakan diri, wahai Uma-nya Faridah. Tetaplah berbaring.” Sultan Amrullah berujar seraya mendekat dan duduk di samping Nyai Ratu Karimah yang kembali merebahkan punggungnya di atas kasur tipis.
“Tahukah engkau, wahai Faridah? Nyai Ratu Amirah bercerita bahwa engkau terlihat gelisah dan tidak menceritakan tentang keluarga sebagaimana biasa. Inikah alasannya?” tanya Sultan Amrullah, tanpa menyadari air mata mengalir di pipinya. “Wahai Faridah, engkau seharusnya melapor kepadaku atas hal ini. Sekarang, bergembiralah, kami akanmenanggung atas perawatan ibumu.”
“Apa alasan engkau tidak melapor, wahai Faridah?” Sultan Amrullah menatap Dayang Faridah, masih dengan wajahnya yang sedih.
“Aku malu sekaligus segan,” jawab Faridah seraya menunduk.
Sultan Amrullah memalingkan wajahnya, berpikir sejenak. “Apakah karena hanya ada aku dan Mangkubumi di sana yang laki-laki, sedang engkau perempuan?” Dayang Faridah hanya diam.
Sultan Amrullah mengangguk perlahan. “Setidaknya, bicaralah dengan Amirah, wahai Faridah. Bukankah kalian selalu bersama, bahkan beriringan berjalan dengannya?”
Dayang Faridah tetap tidak menyahut. Sultan Amrullah mencoba menahan kekesalannya dan mulai berdiri, berniat untung pulang. “Liburlah engkau hari ini, wahai Faridah.” Faridah terkejut dengan itu dan langsung memandang Sultan Amrullah. “Aku yakin dayang lain berkenan untuk mengawani Nyai Ratu.”
“Aku akan pulang, kembali ke keraton. Mangkubumi bisa saja sudah menyiapkan berbagai surat yang telah datang hari ini. Semoga Allah segera menyembuhkan engkau, Uma-nya Faridah.” Sultan Amrullah menunduk untuk pamit dari rumah Dayang Faridah.
Singgasana telah diduduki Sultan. Mangkubumi yang telah menunggu, melihat wajahnya. “Sultan, Baginda terlihat begitu berbeda hari ini,” ujar Mangkubumi.
“Tadi malam, aku mendengar yang sama dari Imam Abdurrasyid. Sekarang, engkau yang mengucapkannya. Apakah gerangan jadi kalian berujar demikian?”
“Saya tidak tahu kalau Imam Abdurrasyid telah menanyakan hal yang sama, Baginda.Tetapi, saya melihat wajah Baginda lebih gelisah dibanding hari-hari sebelumnya.”
Sultan Amrullah menghela napasnya. “Tadi pagi, aku mengikuti Dayang Faridah pulang dan mengetahui bahwa Uma-nya sedang sakit. Aku belum tahu, sudah berapa hari, tetapi karena dia tidak mengabarkannya, kita harus menanggung perawatan sebelum sakit beliau semakin parah.”
Sultan Amrullah menatap Mangkubumi. “Beritahukan Pamarakan dan Rasajiwa di Balai Laki, agar menyiapkan tabib di Keraton untuk didatangkan ke rumah Dayang Faridah untuk mengobati Nyai Ratu Karimah. Aku yakin mereka dapat memilihkan yang terbaik di Balai Bini, dan karena mereka menuju sana, sampaikan perintahku bahwa Dayang lain harus merawat dan melindungi Nyai Ratu Amirah. Lakukan perintah ini, segera!”
“Baiklah, Baginda.” Mangkubumi menunduk, menaati perintah dari Sultan Amrullah. Dia pun berjalan meninggalkan Keraton, terlihat menuju Balai Laki untuk mengabarkan Pamarakan dan Rasajiwa tentang perintah yang telah dituturkan oleh Sultan.
Tertinggal sendirian di Keraton, Sultan Amrullah turun dari singgasananya dan berjalan menuju halaman dengan niat untuk menghibur diri atau setidaknya menghirup udara segar. Suara tangisan anak-anak terdengar nyaring dari halaman.