arrow_back

Sandiwara Hikayat

arrow_forward

“Ada apa ini, wahai Sarabumi?” Sultan Amrullah telah berdiri di depan pagar, menanyai Sarabumi yang menjaganya, sambil memandang anak-anak yang menangis di halaman.

“Anak-anak ini ingin menggunakan halaman keraton untuk bermain. Tapi bukankah tidak boleh, Baginda?” sahut Sarabumi.

Sultan Amrullah terlihat tidak menyangka itu. Dia pun mendekati anak-anak dan bertanya, “Apa yang kalian ingin mainkan?”

“Gasing,” jawab salah satu anak itu sambil terisak.

“Gasing?” Nada bicara Sultan Amrullah seolah menunjukkan ketertarikan. “Masuklah.” Sultan sendiri yang membukakan pagar.

“Mainlah di pelantar keraton sekalian. Aku akan melihat siapa di antara kalian yang gasingnya lebih lama berputar.” Anak-anak itu terlihat kebingungan dari tatapan mereka kepada Sultan.

“Pergilah lebih dulu, aku di belakang kalian. Jika Sarabraja menghalangi, kabarkan bahwa Sultan telah mengizinkan. Sekarang, bersenang-senanglah!” Sultan Amrullah memberi isyarat dengan tangannya agar anak-anak itu pergi menuju keraton. Mereka pun terlihat bahagia dengan itu dan berlari ke arah tujuan.

“Baginda terlihat senang dengan anak-anak. Kapan Baginda memilikinya?”

Sultan Amrullah terkejut mendengar pertanyaan dari Sarabumi. “Apa yang engkau inginkan?” Sarabumi menyadarinya dan langsung menunduk malu tanpa bersuara. “Apakah engkau menginginkan penerus kerajaan ini karena tidak suka padaku?!”

“Pangeran Tahir Lillah sudah kusiapkan menjadi penerusku dan menurutku, jelas dia disukai masyarakat.” Sultan Amrullah terlihat kesal dan langsung meninggalkan Sarabumi. Namun dia memandang sebentar Sarabumi sebelum meninggalkannya. “Jangan bilang kamu lebih memilih Pangeran Takbirullah.”

Diamnya Sarabumi menjadi alasan untuk Sultan Amrullah terus berjalan kembali ke keraton. Dari kejauhan, raut wajah gembira dari anak-anak yang bermain gasing di pelantar. Sarabraja menyadari kehadiran Sultan Amrullah, memberi isyarat dengan matanya agar Sultan segera mendatanginya. Sultan Amrullah memahami maksudnya dan mendekati Sarabraja yang sudah siap untuk bicara.

Setibanya Sultan Amrullah di sana, Sarabraja langsung bertanya dengan nada ragu, “Benarkah Baginda mengizinkan mereka untuk bermain di sini?”

“Tentu saja,” jawab Sultan Amrullah dengan percaya berdiri. “Kenapa memangnya?”

Sarabraja melihat anak-anak itu terlebih dahulu sebelum berbisik, “Lihatlah lantai ulin ini.” Dia menunjuk lantai ulin hitam yang menjadi kotor dengan bekas telapak kaki anak-anak dari pasir halaman. “Kotor sekali.”

“Aku akan membersihkannya jika engkau tidak mau.” Sarabraja terlihat terkejut mendengar jawaban itu. Sultan Amrullah memandang kemudian menepuk bahunya. “Biarkan mereka bahagia dan jaga baik-baik. Aku harus masuk palindangan untuk melihat apakah Mangkubumi sudah pulang.”

“Mangkubumi belum terlihat masuk,” ucap Sarabraja.

“Benarkah?” tanya Sultan mengonfirmasi, disahut Sarabraja dengan anggukan. “Baiklah. Jika dia mencariku, sebut Balai Laki. Aku akan ke sana sebentar dan kembali ke sini.”

Sultan Abdullah pun berjalan menuju Balai Laki. “Assalamu ‘alaikum,” ucapnya setiba di sana.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah.” Pangeran Tahir Lillah menyambut. “Aba.” Meski Pangeran Tahir Lillah bukanlah anak kandung sultan, dia tetap menganggapnya ayah. Bahkan, dia langsung mencium tangan Sultan. “Masuklah.”

“Tidak. Di pelantar saja.” Sultan langsung duduk.

Pangeran menerima keputusan itu dan langsung duduk. “Ada apa, Ba?”

“Aku ke sini hanya ingin mendengar pendapatmu.” Pangeran Tahir Lillah mengangguk mendengarkan. “Bagaimana jika Pangeran Takbirullah, bukannya engkau yang melanjutkan duduk di takhta kerajaan?”

“Tidak apa-apa. Aku akan menerimanya. Lagipula, aku masih perlu belajar bagaimana untuk pantas duduk di sana.” Sultan Amrullah terlihat tidak menyangka jawaban itu.

“Tahir, dengarkan aku.” Sultan meletakkan tangannya di bahu Pangeran. “Usia tidak ada yang tahu. Masyarakat, termasuk aku menginginkan engkau yang duduk di sana. Mereka lebih bahagia jika engkau yang menjadi Sultan selanjutnya.”

“Tapi jika engkau memang menganggap Takbirullah yang harus menempatinya, tidak apa. Aba juga tidak mau memaksa. Pesanku, teruslah belajar karena kamu sudah tahu, posisimu sekarang sebagai pangeran sudah susah dan merasakan berbagai kebebasan yang dulu dirasakan sebagai warga biasa direnggut.”

Sultan menghela napas sejenak. “Itu saja yang ingin Aba bicarakan denganmu. Aba harus kembali ke keraton.” Sultan Amrullah mulai berdiri dan pulang.

Kembali di keraton, Sarabraja sedang menyapu lantai ulin pelantar sendirian, pertanda anak-anak telah pergi. Sultan Amrullah naik dan mencoba untuk meraih sapu ijuk dari Sarabraja dengan tangan kanannya.”Sini, aku yang menyapunya.”

“Hamba saja.” Sarabraja memegang sapu itu dengan erat, membuat Sultan tersenyum karena tingkah lakunya.

“Baiklah, jika itu maumu. Padahal, aku sudah menawarkan diri dari tadi.” Sultan berlagak untuk bercanda, kemudian memandang halaman. “Ke mana anak-anak?”

“Mereka bersepakat pulang karena ingin tidur siang.” Sultan terlihat kecewa mendengar jawaban itu.

“Engkau tidak mengusirnya bukan?” tanya Sultan mencoba meyakinkan diri sendiri.

“Hamba menjaga mereka sesuai perintah Baginda. Mereka sangat bersenang-senang.”

“Bagaimana menurutmu jika mereka datang lagi? Akankah Sarabumi melarangnya lagi, atau malah semakin banyak yang ke sini?” Sarabraja hanya diam. “Aku akan menanyakan hal yang sama kepada Mangkubumi, juga masing-masing dari mereka. Jika engkau berbohong, bersiaplah akan Sarabraja yang baru.”

Sarabraja mulai menunduk. “Tapi Mangkubumi, sudahkah dia pulang?” tanya Sultan.

“Ya, dia sudah tiba dan menunggu Baginda,” jawab Sarabraja pelan. Sultan langsung memasuki keraton dan Sarabraja melanjutkan tugasnya dalam membersihkan lantai pelantar.

“Mangkubumi,” sapa Sultan saat memasuki ruang utama.

“Ya, Baginda?” sahut Mangkubumi.

“Kapan kamu tiba di Keraton?” Sultan bertanya sambil mulai duduk di singgasana.

“Baru saja, Baginda.” Mangkubumi memastikan Sultan duduk dengan baik.

“Apakah kamu sempat melihat anak-anak bermain gasing di pelantar?” tanya Sultan lagi sambil memandang Mangkubumi.

“Ya, Baginda. Mereka terlihat sangat bahagia dan terus bermain sampai kelelahan. Akhirnya, mereka memutuskan pulang untuk tidur siang.” Sultan menggelengkan kepala mendengar pernyataan itu.

“Kamu tidak bekerja sama dengan Sarabraja bukan?”

“Apa maksud Baginda?” Mangkubumi bertanya balik dengan nada bingung.

“Kalian menyatakan hal yang sama,” ucap Sultan dengan senyuman. “Tapi sebelumnya, Sarabumi menghalangi mereka untuk bermain di halaman. Aku takut kalian sebenarnya mengusir anak-anak itu.”

“Saya dapat memahami alasan Baginda tidak percaya. Maka, maafkanlah saya.” Mangkubumi menunduk, pertanda memohon ampunan.

“Bagaimana menurut engkau jika mereka datang lagi? Akankah Sarabumi melarangnya lagi, atau malah semakin banyak yang ke sini?” Sultan benar-benar menanyakan hal yang sama.

“Jika memang itu keinginan Baginda, saya akan memastikan Sarabumi tidak akan melarang mereka lagi selama tidak ada yang dirusak. Jika semakin banyak, bukankah Baginda begitu bahagia melihat mereka?” Sultan tersenyum puas mendengar jawaban itu.

“Haruskah saya memberitahukan ini segera kepada Sarabraja dan Sarabumi?” Mangkubumi bersiap untuk keluar.

“Tunggu dahulu, ada hal yang ingin aku bicarakan.”

“Apa itu, Baginda?” tanya Mangkubumi, membatalkan langkahnya.

“Tahir Lillah atau Takbirullah. Siapa pangeran yang engkau pilih untuk duduk di sini?”

Mangkubumi sempat terkejut dengan pertanyaan itu. “Siapapun dia, saya berusaha akan selalu mendukung, bahkan jika sudah bukan Mangkubumi lagi.”

Sultan mengangguk mendengar pernyataan itu. “Tahukah engkau, apa alasan aku bertanya, wahai Mangkubumi?” Mangkubumi hanya diam.

“Tadi, saat Sarabumi melarang anak-anak itu namun aku mengizinkannya bahkan meminta mereka main di pelantar. Dia mengucapkan satu hal. Dia berkata bahwa aku terlihat bahagia melihat anak-anak dan menanyakan kapan aku memilikinya?”

“Aku mengira dia bertanya tentang penerusku dan aku tidak bisa berdusta bahwa aku sangat ingin Pangeran Tahir Lillah yang melanjutkan seraya aku menahan amarahku saat itu. Tapi adanya Pangeran Takbirullah, membuatku ingin menanyakan pendapat kepadamu.”

Mangkubumi diam. “Engkau tidak harus menjawabnya sekarang, Mangkubumi. Pikirkanlah sembari engkau menyampaikan pesan tadi.”

Komentar