Mangkubumi telah kembali dari tugasnya. Dia kembali ke posisinya, berjarak tidak jauh dari singgasana Sultan. “Saya sudah menyampaikannya, Baginda.”
Sultan Amrullah mengangguk puas. “Sebelum perintah ini dan aku yang duduk di sini, apakah engkau sudah lama menunggu?”
“Tidak juga, Baginda,” jawab Mangkubumi. “Jika menurut hamba lebih lama, maka hamba pasti akan mencari Baginda di Balai Laki sesuai keterangan dari Sarabraja.”
Sultan Amrullah tersenyum mengetahui bahwa Sarabraja mematuhi perintahnya dari pengakuan Mangkubumi. “Wahai Mangkubumi, apakah engkau mendapatkan kabar terkini tentang keadaan Uma-nya Dayang Faridah?”
“Ada, wahai Baginda. Kabar yang saya dapatkan, keadaan Nyai Ratu Karimah membaik. Semoga Dayang Faridah tidak perlu khawatir lagi dengan keadaan beliau dan dapat kembali mengawani Nyai Ratu Amirah.”
“Alhamdulillah,” ucap Sultan dengan nada lega. Mendengarnya, Mangkubumi tersenyum.
Sultan pun memandang Mangkubumi. “Wahai Mangkubumi, adakah engkau membayangkan bahwa masyarakat akan mengetahui melalui kabar yang terus menyebar tentang sakitnya Nyai Ratu Karimah?” Beliau memberi jeda dengan sehela napas. “Fitnahlah yang mungkin lebih merebak dan tidak hanya aku yang dituduh bersalah, tetapi seluruh Kesultanan. Kita hanya bisa berharap yang terbaik, semoga yang baru saja kupikirkan tidak akan terjadi.”
Tidak lama setelah Sultan Amrullah menyelesaikan kalimatnya, pintu ruang utama terbuka dan menjadi pertanda datangnya seseorang. Itu adalah Dayang Faridah yang memasuki keraton dengan seorang diri.
“Ada apa, Dayang Faridah?” tanya Sultan Amrullah, terkejut karena tidak menyangka kedatangannya.
“Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada Baginda karena telah membantu dalam merawat Uma.”
“Tidak perlu wahai Dayang Faridah. Hal yang demikian sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang Sultan.” Mengucapkan itu, Sultan Amrullah teringat satu hal.
Sultan Amrullah mulai menulis sebuah surat dengan pena di atas kertas kosong yang tersedia di atas meja tepat di depan singgasananya, kemudian memanggil Mangkubumi setelah dia selesai dan menyerahkan surat itu kepadanya.
“Apa ini, wahai Baginda?” tanya Mangkubumi terlihat ragu.
“Ini adalah surat resmi yang aku minta engkau salin isinya agar dapat mengabari seluruh Lalawangan sehingga mereka dapat menanggung perawatan orang yang sakit dan membutuhkan di daerah masing-masing.” Mangkubumi nampak terkejut dengan sebuah perintah dadakan tersebut, tapi dia juga kagum dengan keputusan Sultan Amrullah yang cepat.
“Saya akan meminta Singabana untuk bekerja sama sehingga pesan ini dapat tersampaikan lebih cepat, wahai Baginda.”
“Semua itu terserah Engkau, wahai Mangkubumi. Saat ini, aku meminta kerelaan Engkau untuk mengurus sesuatu yang lebih sukar dibanding biasanya.” Mangkubumi mengangguk dan segera melaksanakan perintah Sultan Amrullah.
“Karena engkau telah di sini, bagaimana kabar Nyai Ratu?” tanya Sultan kepada Dayang Faridah.
“Tabib telah datang dan merawat Uma dengan baik, Baginda.”
Sultan tersenyum mendengarnya. “Nyai Ratu Amirah?”
“Beliau baik-baik saja. Dayang lain terlihat mengawani Nyai Ratu dengan baik.” Sultan pun lega mendengar itu.
“Tapi sebelumnya, Baginda. Kedatangan saya ke keraton untuk memohon ampun karena masih ingin bekerja, bukan libur sebagaimana yang telah Baginda sarankan kepada saya.”
“Tidak apa, wahai Dayang Faridah.”
“Itu adalah keputusan engkau dan aku tidak berhak lagi untuk mengganggu keinginan engkau, begitu pula orang lain.”
“Tadi subuh, setelah aku pulang, apakah ketakutanmu menjadi kenyataan? Kabar buruk yang engkau sendiri tidak ingin dengarkan?”
“Tidak ada, wahai Baginda. Semoga tidak akan pernah ada.”
“Saya rasa karena apa yang ingin disampaikan telah usai, maka saya izin untuk kembali ke Balai Bini, Baginda.”
“Aku menitipkan salam kepada Nyai Ratu Amirah di sana. Aku yakin, kalian bahagia di sana, tapi beritahukanlah akan adanya anak-anak yang bermain di halaman keraton. Aku berharap, kebahagiaan kalian dapat bertambah dengan melihat mereka.”
“Izinkan aku untuk mengantarkan engkau sampai di depan keraton. Setelahnya, engkau boleh pergi sendiri ke Balai Bini.”
Dayang Faridah mengangguk, memperbolehkan keinginan Sultan Amrullah dan berjalan lebih dahulu menuju halaman keraton. Sesampainya di sana, Sultan dan Dayang telah melihat anak-anak yang sudah berkumpul. Dayang Faridah pun menunduk, pertanda pamit dan memisahkan diri seraya pergi menuju Balai Bini.
Setelahnya, Sultan Amrullah berjalan mendekati anak-anak itu. “Apakah kalian akan main lagi?” tanya Sultan.
“Ya!” sahut mereka serentak dengan penuh semangat sambil mengangkat gasing yang mereka bawa.
“Mari, naik ke pelantar lagi.” Sultan Amrullah memberi isyarat dengan tangannya, menunjuk pelantar keraton sehingga anak-anak itu berlari ke arah tujuan. “Hati-hati!” ucap Sultan memandang mereka yang berlari.
Sultan kembali mengalihkan pandangannya dan menyadari keberadaan seorang anak yang tertinggal. “Engkau tidak ikut?” tanya Sultan penasaran.
Anak itu hanya diam sambil menggeleng. “Kenapa?” Sultan kembali bertanya sambil menyamakan tinggi dengan anak itu.
“Aku tidak punya gasing untuk dimainkan,” jawab anak itu dengan suara lemah sambil menunduk.
“Ah….” Sultan Amrullah mengangguk, memahami yang terjadi.”Sini, ikut Sultan.” Sultan berdiri kemudian menggandeng tangan anak itu dan membawanya menuju pelantar keraton.
“Tunggu di sini sebentar,” ucap Sultan meninggalkan anak itu di pelantar bersama anak lainnya. “Mari, yang lain, ajak dia.” Sultan memandang anak-anak yang sudah ada di sana.
Sultan memasuki keraton dan pergi ke ruang utama. Beliau pergi ke singgasana, tapi tidak untuk duduk meski melihat surat yang telah siap menunggu di atas meja. Sultan hanya membongkar laci di depan singgasana itu.
Melihat gelagat Sultan Amrullah, Mangkubumi pun bertanya, “Apa yang Baginda cari?” Sultan tidak menjawab saat itu karena beliau sangat fokus dalam mencari.
“Ini dia.” Sultan akhirnya menjawab pertanyaan dari Mangkubumi seraya menunjukkan sebuah benda di tangannya.
“Apa yang Baginda ingin lakukan dengannya?” tanya Mangkubumi penasaran.
“Aku akan memberikannya,” jawab Sultan Amrullah sambil membersihkan barang itu dan meniup debu yang menempel padanya.
“Bukankah itu barang yang sangat berharga bagi Baginda?” Mangkubumi terdengar tidak percaya.
“Aku sudah tidak akan menggunakannya lagi, bukan? Lagipula, akulah yang membuat satu ini.” Sultan Amrullah memandang Mangkubumi sambil tersenyum.
Sultan pun kembali ke pelantar keraton dan memanggil anak yang dia bawa sebelumnya. “Engkau!” tunjuk Sultan kepada anak itu. Anak itu pun mendekat sehingga Sultan berlutut untuk menyamakan tingginya. “Siapa namamu?”
“Abdullah,” jawabnya dengan malu.
“Nama yang bagus,” puji Sultan Amrullah. “Ini untuk engkau, Abdullah.” Sultan memberikan barang yang sebelumnya dia cari dan sembunyikan di balik punggung.
Abdullah memandang Sultan dengan mata tidak percaya. “Ini adalah gasing dengan talinya.” Anak-anak yang lain turut memandang setelah mendengar ucapan itu. “Dulu, Sultan juga pernah seperti kalian, memainkan gasing bersama. Sekarang, sudah tidak bisa. Jadi, ini milik engkau sekarang.”
“Terima kasih, Sultan.” Abdullah menyambut gasing itu dengan gembira kemudian memeluk Sultan. Dia pun langsung memainkannya bersama anak-anak lainnya.
“Yang lain, jangan iri. Kalian sudah punya masing-masing sekarang.” Sultan mulai berdiri.
“Lihatlah, Baginda begitu peduli dengan anak-anak. Kapan Baginda memiliki sendiri?” tanya Sarabraja.
Sultan Amrullah terkejut dengan pertanyaan itu. “Sarabraja,” Sultan tersenyum kecil. “Kamu dengan Sarabumi sama saja.” Beliau diam sejenak. “Bukankah kedua pangeran sudah ada? Salah satu di antara mereka pasti akan melanjutkanku.”
“Jagalah anak-anak ini, aku ada yang harus diurus terlebih dahulu.” Sultan menepuk pundak Sarabraja dan meninggalkannya masuk.