Terkisahlah Nyai Ratu Amirah yang sedang merajut kain di Balai Bini. Dayang Faridah yang telah kembali dari keraton hanya diam sehingga Nyai Ratu heran melihatnya. Nyai Ratu Amirah pun berhenti merajut dan mendekati Dayang Faridah dengan duduk di sampingnya. “Ada apa, wahai Dayang Faridah?” Dayang Faridah hanya menunduk diam. “Aku telah mendengar tabib kerajaan telah merawat Uma-mu. Kenapa gerangan engkau masih gelisah?”
“Saya masih tidak merasa nyaman, wahai Nyai Ratu.” Dayang Faridah masih menunduk meski menjawabnya.
“Kenapa?” tanya Nyai Ratu Amirah. “Kisahkanlah. Aku sedia mendengarkannya.” Nyai Ratu meletakkan tangannya di atas paha Dayang Faridah.
“Saya ingin memohon ampun dan maaf kepada Nyai Ratu.” Nyai Ratu Amirah tetap diam, mendengarkan pembicaraan Dayang Faridah sambil memandangnya. “Saya begitu takut Baginda Sultan mendapat fitnah, sedangkan saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk menghindarinya.”
“Apakah subuh tadi dia ke masjid, kemudian mengikuti engkau pulang sampai masuk ke rumah?” celetuk Nyai Ratu Amirah.
Dayang Faridah terkejut mendengarnya. “Bagaimana Nyai Ratu tahu?” tanya Dayang Faridah. Nyai Ratu Amirah tersenyum.
“Yang demikian hanyalah persangkaan dari diriku. Sultan yang tidak ada di rumah membuat terbayang bahwa dia pergi ke Masjid, apalagi setelah malam sebelumnya dia ke sana. Kemudian engkau yang tidak berkisah tentang kegelisahan engkau, membuat Sultan terpikir untuk mengikuti agar mengetahuinya sendiri.” Nyai Ratu Amirah menggenggam tangan Dayang Faridah.
“Sekarang, bolehkah aku mengetahui apa yang kalian bicarakan di dalam sana? Sayup-sayup aku mendengar suaranya.”
“Saya merasa sangat menyesal karena tidak mengabarkan Uma yang sakit dan hanya bisa mengucapkan terima kasih. Saya juga takut, Uma yang Nyai Ratu, bagian dari keluarga kerajaan akan membawa fitnah lagi andai dibiarkan sakit.”
Nyai Ratu Amirah diam sejenak kemudian menatap Dayang Faridah. “Aku telah mendengar kisah darimu.” Beliau menghela napas kemudian berdiri setelah melepas genggaman tangan.
“Nyai Ratu hendak ke mana?” tanya Dayang Faridah.
“Aku ingin mendengar kisah darinya,” jawab Nyai Ratu Amirah memandang pintu.
Dayang Faridah turut berdiri dan menggenggam tangan Nyai Ratu. “Maka hamba harus menemani.”
“Untuk sekarang, kamu tinggal di sini saja.” Nyai Ratu melepas genggaman tangan itu. Senyuman di wajahnya beberapa saat yang lalu telah hilang. “Dayang Rukamah!” Dia memanggil dayang lain.
“Baik, Nyai Ratu.” Gadis bernama Dayang Rukamah itu berdiri seraya mendekati Nyai Ratu sambil memandang Dayang Faridah.
Setibanya di keraton, Nyai Ratu Amirah menyuruh Sarabraja untuk memberitahukan kepada Mangkubumi bahwa dia akan masuk ke ruang utama untuk menemui Sultan Amrullah. Melalui perantara Sarawasa yang menjaga pintu ruang utama, Sultan pun mengetahui bahwa dia diantar.
“Biarkan Nyai Ratu masuk, tapi hanya dia sendiri,” ucap Sultan Amrullah.
Sarawasa membukakan pintu pembatas secara lebar sehingga Nyai Ratu Amirah dapat masuk dengan mudah sementara Dayang Rukamah diminta untuk menunggu di luar sedangkan pintu kembali ditutup. Sultan Amrullah turun dari singgasananya untuk mendekat, melihat dengan jelas kekesalan di wajah Nyai Ratu Amirah yang berdiri diam di tengah ruangan.
“Ada apa, Amirah?” tanya Sultan Amrullah dengan nada rendah.
“Ke mana engkau subuh tadi?”Nyai Ratu Amirah bertanya balik dengan nada tinggi, seolah dia marah sedangkan dia telah mengetahui. “Kenapa engkau tidak membangunkanku?”
Sultan Amrullah hanya diam. “Jawab pertanyaanku!” Sultan Abdullah berusaha tenang kemudian memandang Mangkubumi. Seolah paham, Mangkubumi menunduk dan pergi keluar melalui pintu belakang.
“Aku tidak mau mengganggu tidur nyenyak engkau, karena biasanya kita bangun di waktu yang hampir bersamaan. Jadi, aku salat Subuh di masjid.”
“Bagaimana setelahnya?” tanya Nyai Ratu Amirah. Sultan Amrullah hanya tersenyum. Dia langsung menyadari bahwa istrinya telah mengetahui tanpa perlu dikisahkan. Namun tetap saja, pertanyaan itu harus dia jawab.
“Pulang dari sana, aku bertemu dengan Dayang Faridah. Aku masih ingat ketika engkau mengisahkannya begitu gelisah.”
“Karena dia perempuan, aku yang laki-laki juga tidak tahu di mana rumahnya, jadi kuputuskan untuk mengikuti dengan izinnya.”
“Di rumahnya, aku melihat Uma-nya, Karimah sedang sakit. Tabib kerajaan sudah kukirim ke sana dan Dayang Faridah mengabarkan bahwa Uma-nya sekarang lebih baik.”
Sultan Abdullah telah menjelaskan cerita dengan rinci. Tapi wajah Nyai Ratu Amirah terlihat masih kesal.
“Bagaimana menurutmu jika masyarakat yang mengetahui itu akan menyebarkan segala fitnah? Pikiran buruk dengan awalan Sultan mengikuti Dayang ke rumahnya adalah hal yang kita ingin hindari, bukan?”
“Aku telah mengajak engkau untuk pergi ke rumah Dayang Faridah, Amirah. Sedangkan engkau menolaknya dengan menyahut akan pergi dengan dayang lain. Sekarang, engkau tahu.”
Nyai Ratu Amirah terdiam dan membuat keraton hening. Sultan Abdullah memikirkan cara untuk menenangkan istrinya. “Sudahkah Dayang Faridah menyampaikan salamku kepada engkau, wahai Amirah?” Nyai Ratu Amirah tidak menyahut dan langsung meninggalkan ruangan itu.
Saat pintu terbuka, dia langsung memanggil. “Dayang Rukamah.” Dayang Rukamah yang sendirian bersandar di samping pintu terlihat terkejut dan langsung menunduk. “Apakah engkau mengintip dan menelinga kami?” tanya Nyai Ratu Amirah.
Dayang Rukamah hanya diam sambil terus menunduk. Nyai Ratu Amirah yang kesal segera meninggalkan Dayang Rukamah dengan cepat sehingga Dayang Rukamah mengejarnya.
Setibanya di Balai Bini, Nyai Ratu Amirah melihat melalui pintu yang terbuka, Dayang Faridah dianiaya oleh seorang yang tidak dapat dikenali oleh Nyai Ratu karena pandangannya yang terbatas. Nyai Ratu hanya bisa melihat Dayang Faridah berusaha keras untuk melawan. Nyai Ratu pun marah dan bergegas masuk. Kehadiran Nyai Ratu Amirah disadari oleh orang itu sehingga dia langsung berlari kabur melalui pintu belakang.
“Engkau tidak apa-apa, Faridah?” tanya Nyai Ratu Amirah sambil memeriksa keadaan Dayang Faridah. Sementara, Dayang Rukamah yang merasa bersalah atas tindakannya di keraton tadi mencoba menebus dengan mengejar orang itu.
Dayang Faridah memandang dengan mata yang hampir tidak bisa terbuka. “Aku baik-baik saja.”
“Engkau berdusta wahai Faridah.” Nyai Ratu Amirah melihat adanya memar di kening Dayang Faridah. “Sekarang, jika engkau sanggup berdiri, aku akan membawa engkau ke hadapan Sultan dan mengabarkan ini kepadanya.”
“Rukamah!”
Dayang Rukamah yang baru saja kembali dari pintu belakang karena tidak menemukan siapa-siapa, tersentak mendengar suara Nyai Ratu Amirah yang lebih nyaring dari biasanya.
“Sekarang giliran engkau yang tinggal di sini. Awas, jika aku melihat engkau berada di luar.” Dayang Ruqamah tidak bisa berkata-kata. Dia langsung duduk sambil menahan tangisannya.
Dengan jalan yang tertatih, Dayang Faridah dibawa ke hadapan Sultan Amrullah di keraton. Kali ini, Nyai Ratu Amirah menyadari ketiadaan Sarawasa yang menjagakan pintu sehingga dia masuk dengan cukup bersusah payah karena membawa Dayang Faridah dalam rangkulannya sekaligus membukakan pintu. Mangkubumi yang menyadari pintu bergerak dan mendengar suara Nyai Ratu Amirah bergegas membantu.
Sultan Amrullah yang terlihat tidak lama duduk kembali di singgasananya kembali berdiri dan turun untuk melihat lebih dekat. “Apa yang terjadi dengannya?” tanya Sultan. Nada bicara Sultan membuat Nyai Ratu Amirah tersenyum sinis.