arrow_back

Sandiwara Hikayat

arrow_forward

Sultan berwajah bingung melihat ekspresi Nyai Ratu Amirah.

“Aku bahkan belum sampai di Balai Bini, masih di halaman. Aku bersaksi, dia sedang dizalimi tapi aku tidak dapat mengenali orang itu. Sayangnya, dia sadar kehadiranku dan lari melalui pintu belakang.”

“Sesampainya di Balai Bini, aku melihat dia sedang dizalimi oleh seseorang yang tidak dikenal. Orang itu sadar aku ada di sana sehingga dia lari melalui pintu belakang.” Nyai Ratu Amirah memandang serius kepada Sultan. “Kira-kira, siapa yang melakukan tindakan tidak beradab itu kepada Faridah?”

Sultan mendekati Dayang Faridah dan memandang betul memar itu, meski Dayang Faridah yang berusaha keras menutupi dengan terus menunduk, ditahan oleh Nyai Ratu dengan memegangi tangan yang menutupi.

Sultan Amrullah pun mulai bertanya, diawali dengan orang terdekat. “Mangkubumi.”

“Ya, Baginda?” sahut Mangkubumi.

“Mintakan tabib kerajaan untuk mengobati Dayang Faridah. Carilah tabib perempuan sebagaimana yang kita sediakan untuk Uma-nya. Antar dia ke Balai Bini.” Sultan memandang Mangkubumi. “Tapi sebelumnya, apakah engkau orang yang melakukan tindakan ini?”

“Bukan, Baginda,” jawab Mangkubumi dengan nada tenang. “Saya hanya diam di luar setelah keluar melalui pintu belakang keraton sampai merasa waktu yang pas untuk kembali.” Mangkubumi mengakhirinya dengan sumpah sehingga meyakinkan Sultan atas kejujurannya.

“Apakah engkau melihat seseorang yang mencurigakan?” tanya Sultan Amrullah lagi.

“Tidak, Baginda. Hamba hanya sendiri di sana dan tidak melihat siapapun.”

Sultan Amrullah diam sejenak, pertanda bahwa beliau sedang berpikir. “Aku akan memberitahukan kepada kalian bahwa orang pertama yang kucurigai adalah Sarawasa.”

“Apa alasan engkau?” Nyai Ratu Amirah memotong pembicaraan.

“Engkau menyadari ketiadaannya bukan? Pintu di belakang engkau masih terbuka dan dia tidak ada di sana.”

“Tapi ada juga orang lain yang ingin kutanya terlebih dahulu, dan aku akan ke sana sebentar lagi, sendiri,” ucap Sultan Amrullah memandang pintu. “Ada lagi yang ingin engkau sampaikan, kasihku?” Pandangannya beralih ke Sultan Amirah.


“Tahir!” Sultan Amrullah memasuki Balai Laki seraya memanggil dengan suara nyaring lagi berjalan cepat.

Pangeran Tahir Lillah, orang yang dipanggil oleh Sultan Amrullah berdiri seraya menyahut, “Ya, Aba.”

“Apakah engkau melakukannya?” tanya Sultan sambil memegangi kedua pundak Pangeran.

“Melakukan apa?” Pangeran bertanya kembali karena kebingungan.

“Jangan pura-pura tidak tahu.” Sultan menggoncang tubuh Pangeran kemudian mendorongnya sampai tersandar di dinding.

“Aku benar-benar tidak tahu.” Melihat wajah Pangeran, Sultan pun menyingkirkan tangannya. Beliau pun melihat ke sekitar sejenak.

“Di mana Takbir?” tanya Sultan.

“Aku tidak tahu. Dia sudah cukup lama tidak ada di sini.” Pangeran turut memandang sekeliling. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Dayang Faridah dizalimi orang di Balai Bini.” Pangeran terkejut, dan mulai memahami masalahnya.

“Bagaimana dengan Sarawasa?” Sultan bertanya lagi.

“Dia berada bersamaku sebelumnya karena aku meminta bantuan. Baru saja dia kembali ke Balai Bini. Itu adalah pertama kalinya aku ke Balai Bini, bahkan tidak naik ke pelantar.”

“Apa yang engkau minta sehingga harus dengan Sarawasa? Bukan dengan Sarabumi, Sarabraja atau Aba?”

“Salah satu lemari di sini, tiba-tiba roboh. Aku melihat kaki dari lemari itu sudah rapuh dimakan rayap, sehingga kami harus membangunkan juga memperbaikinya. Aku telah mencari yang lain, tapi hanya Sarawasa yang dapat membantu dan paham akan panggilan dariku sedangkan dia begitu dekat dengan Balai Laki. Aku yang hanya dapat memberi isyarat dengan lambaian tangan, dapat dia pahami sehingga dia bergegas.”

Sultan terdiam. “Maafkan Aba.” Dia pun langsung pergi sementara Pangeran terus memandang.

Pangeran Tahir Lillah mengepalkan tangan, tidak menyukai tindakan yang baru dia dapatkan. “Takbirullah! Aku akan menanyakan ini pada engkau saat engkau kembali!”

Tidak berapa lama, Pangeran Takbirullah masuk Balai Laki dengan santainya.

“Takbir! Dari mana saja kamu, ha?” Pangeran Tahir Lillah mencekik leher Pangeran Takbirullah sampai menyandarkannya di dinding.

Pangeran Takbirullah melawan dengan menjauhkan tangan Pangeran Tahir Lillah dari lehernya. “Aku di rumahku. Kenapa?”

“Apakah engkau pelakunya?”

“Pelaku apa? Aku tidak tahu maksud engkau.” Pangeran Takbirullah terlihat kebingungan.

“Jangan berdusta!”

Keributan itu didengar oleh Sarabumi yang berjalan mengawasi daerah keraton. Dia pun memasuki Balai Laki untuk melerai keduanya. “Sudah, jangan bertengkar.”

“Jika Sultan tahu, kalian pasti sangat menyesal.”

“Aku yakin engkau orangnya!” Pangeran Tahir Lillah masih marah seraya menunjuk wajah Pangeran Takbirullah. Pangeran Tahir Lillah pergi menenangkan diri, sementara Pangeran Takbirullah tersenyum dengan seringai sebelum duduk di kursi.

Setelah Pangeran Tahir Lillah merasa lebih tenang, dia kembali ke keraton dan memberi kabar kepada Sultan Amrullah. “Takbirullah sudah kembali. Aku sudah menanyainya sendiri dan dia tidak mau mengaku.”

“Kenapa harus engkau yang melakukannya?” tanya Sultan Amrullah.

“Seharusnya biarkan saja Aba. Belum tentu dia mau bicara dengan Aba lagi setelah ini.” Pangeran Tahir Lillah menunduk karena merasa bersalah. “Minta maaflah kepadanya kemudian suruh dia ke sini. Jika dia terbukti menjadi orangnya, aku sendiri yang menghukumnya.”

Pangeran Tahir Lillah kembali ke Balai Laki dan langsung mencari Pangeran Tahir Lillah. “Takbir.” Dia memanggil Pangeran Takbirullah yang masih duduk di kursi.

“Apa?!” sahut Pangeran Takbirullah tanpa memandang, masih kesal dengan tindakan Pangeran Tahir Lillah.

“Maafkan aku. Tadi kemarahanku mengambil alih.”

Pangeran Takbirullah terdengar menghela napas. “Ya. Tidak apa.” Dia akhirnya memandang Pangeran Tahir Lillah. “Seharusnya engkau menjelaskan terlebih dahulu agar aku paham kenapa harus marah.”

“Pelaku apa yang engkau maksud?” tanya Pangeran Takbirullah, mencoba memahami apa yang terjadi.

“Dayang Faridah dizalimi,” jawab Pangeran Tahir Lillah singkat.

Pangeran Takbirullah tidak percaya. “Siapa yang melakukannya?” Dia kemudian berpikir sejenak. “Apakah engkau menganggap aku pelakunya?” Pangeran Takbirullah tertawa kecil. “Kenapa harus aku? Karena aku tidak terlihat di keraton? Seharusnya itu sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa aku tidak melakukannya.”

“Tahir.” Pangeran Takbirullah berdiri mendekati Pangeran Tahir Lillah dan menepuk pundaknya. “Jika engkau berkata ini lebih dahulu, aku akan membantu engkau mencarinya.”

“Benarkah?” tanya Pangeran Tahir Lillah. Pangeran Takbirullah mengangguk. “Kalau begitu temuilah Aba di keraton. Aba menunggumu.”

“Aku ke sana segera.” Pangeran Takbirullah berdiri dan pergi.


Nyai Ratu Amirah dan Dayang Faridah kembali ke Balai Bini bersama seorang perempuan yang merupakan tabib kerajaan. “Tabib.” Perempuan itu memandang Nyai Ratu Amirah yang memanggilnya. “Aku yakin engkau telah tau namaku. Sekarang, siapa nama engkau?”

“Habibah, Nyai Ratu.”

“Habibah….” Nyai Ratu mulai mengigat. “Nama yang indah.”

“Bagaimana dengan teman engkau yang merawat Nyai Ratu Karimah? Siapa namanya?”

“Maymunah, Nyai Ratu.”

“Nama kalian begitu indah….” Nyai Ratu terenyuh. “Aku bangga mengenal kalian.”

Nyai Ratu melihat Sarawasa berdiri di depan rumah. “Ke mana saja engkau, Sarawasa?!”

Komentar