arrow_back

Sandiwara Hikayat

arrow_forward

Sarawasa bingung begitu dimarahi sedangkan dia baru tiba. “Aku diminta bantuan oleh Pangeran,” jawabnya sederhana.

“Pangeran yang mana?” Nyai Ratu Amirah kembali bertanya, mengingat adanya dua pangeran, Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah.

“Tahir,” jawab Sarawasa, mengatakan bahwa Pangeran Tahir Lillah orangnya.

“Apa yang dia minta?” Pertanyaan terus dicecarkan oleh Nyai Ratu Amirah.

“Dia meminta saya untuk membangunkan sebuah lemari yang roboh secara mengejutkan. Setelah kami selesai, dia berkisah tentang dirinya yang telah mencari Sarabumi dan Sarabraja, sedangkan mereka tidak ada di tempat masing-masing sehingga menemui saya yang sedang berjalan. Dia begitu gelisah.”

Nyai Ratu Amirah mengangguk. “Lain kali, jika engkau hendak pergi dari sini, alangkah baiknya engkau beri kabar kepada kami. Kita tidak menginginkan hal seperti ini terjadi kembali, bukan?” Nyai Ratu bertanya dengan nada tegas sambil menunjuk bekas memar di dahi Dayang Faridah. “Bagaimana bisa seseorang memasuki rumah ini dengan begitu mudahnya?”

“Maafkan saya, Nyai Ratu.” Sarawasa menunduk. “Saya akan berusaha untuk mengingat perintah Nyai Ratu dan melakukannya sebaik yang saya bisa.” Sarawasa kemudian pergi.

Tersisa Nyai Ratu Amirah, Dayang Faridah dan Tabib Habibah di Balai Bini. Nyai Ratu menatap Dayang Rukamah dengan sinis, menghindari berbicara dengannya. Sementara itu, Dayang Faridah didudukkan di ruang tengah, agar Tabib Habibah mulai mengobati memarnya.

“Faridah.” Nyai Ratu Amirah memulai topik pembicaraan di tengah keheningan.

“Ya, Nyai Ratu?” sahut Dayang Faridah.

“Benarkah Sultan menitipkan salamnya pada engkau untukku?” tanya Nyai Ratu Amirah.

Dayang Faridah tersentak. “Benar, Nyai Ratu. Maafkan hamba telah lupa menyampaikannya.” Dia pun bersujud meminta maaf.

“Bangunlah. Engkau tidak boleh melakukan itu kepadaku. Bahkan Habibah belum selesai mengobati memarmu.” Nyai Ratu hanya menghela napas seraya memberi senyuman kecil.


Sultan Amrullah melangkahkan kakinya dengan ringan di halaman, melihat Sarabumi yang sedang berjalan dan langsung memanggilnya. “Sarabumi!” teriak Sultan. Sarabumi pun berjalan dengan lebih cepat untuk mendekati Sultan.

Di kala Sarabumi telah begitu dekat dengannya, Sultan Amrullah pun bertanya, “Ke mana saja engkau, wahai Sarabumi?”

“Saya sedang pergi ke jamban untuk sementara, Baginda Sultan.” Sarawasa dengan lekas menyadari keberadaan anak-anak yang telah memasuki halaman. “Apakah ini karena anak-anak yang lolos dari penjangaan saya? Maafkan kekhilafan saya, Baginda Sultan.”

“Bukan itu masalahnya, Sarabumi.” Sultan Amrullah tersenyum kecil. “Pangeran Tahir Lillah tadi mencari engkau untuk meminta bantuan.”

“Benarkah, Baginda? Haruskah saya menemui Pangeran sekarang?”

“Itu terserah engkau, Sarabumi. Pangeran Tahir Lillah sudah usai dengan urusannya”

“Sungguh, saya memohon maaf, Baginda. Seharusnya, saya memberi kabar kepada Baginda jika saya ingin pergi meninggalkan keratoh.”

Sultan Amrullah hanya bisa diam seraya tersenyum dan kembali ke keraton. Tidak lama setelah dia duduk di singgasana, pintu pembatas terbuka dan masuklah Pangeran Takbirullah.

“Wahai Aba, aku telah mendengar kabar tentang kezaliman yang ditimpakan kepada Dayang Faridah. Hal yang demikian itu memanglah tidak bisa dimaafkan, akan tetapi, bukanlah aku pelakunya, Aba. Aku harus pulang ke rumah karena hal yang harus diselesaikan dan itu mendadak. Adapun hal itu, aku tidak bisa memberitahukannya lebih lanjut karena aku merasanya itu adalah urusan pribadi.”

“Tetapi, sungguh aku turut bertanya-tanya, bagaimanakah Dayang Faridah bisa terzalimi.”

Sultan Amrullah menghela napas sejenak. “Nyai Ratu Amirah menyaksikan kejadian itu saat dia kembali ke Balai Bini setelah menemui diriku. Aku sendiri tidak tahu bagaimana kejadian persisnya, karena Amirah hanya menyatakan bahwa Dayang Faridah dizalimi di sana.”

Pangeran Takbirullah mengangguk, memahami permasalah meski secercah. “Aba, bolehkah aku berpendapat, dan maukah Aba mendengarkannya?” tanya Pangeran.

“Sampaikan saja, Takbirullah,” sahut Sultan Amrullah.

“Sungguh, aku sangat menaruh rasa curiga kepada Sarabumi, Aba. Sebelumnya, aku dan Tahir sempat bertengkar karena permasalahan ini dan dia dengan mudah masuk untuk melerai kami. Kemudahan yang dia dapatkan itulah, yang membuatku menduga bahwa dia juga dapat masuk ke Balai Bini.”

“Pendapat yang bagus, Takbirullah. Sayang, itu hanya dugaan dari engkau.” Sultan berdiri. “Sarabraja!” Dia langsung memberi perintah kepada sang penjaga pintu pembatas. “Panggilkan Sarabumi dan suruh dia ke sini segera!” Tidak lama setelahnya, langkah kaki Sarabraja terdengar menjauh.

Sultan Amrullah pun kembali duduk. “Takbir,” ucapnya. Dia kembali memandang Pangeran Takbirullah.

“Ya. Aba?” Pangeran menyahut.

“Panggil Tahir, agar dia juga mendengar dan menyaksikan.”

“Baik, Aba.” Pangeran Takbirullah menunduk, kemudian meninggalkan keraton.

Tersisa Mangkubumi dan Sultan Amrullah di sana. “Mangkubumi.” Sekarang Sultan mengajak Mangkubumi berbicara.

“Ada apa, wahai Baginda?” jawab Mangkubumi.

“Berbagai kemungkinan akan muncul saat penyaksian nanti. Tapi ada satu hal yang aku ketahui dan itu adalah kepercayaanku kepada engkau yang di luar keraton karena kesaksian tambahan dari Nyai Ratu. Engkau pun telah bersumpah bahwa engkau tidak melakukannya. Sehingga sekarang, aku meminta bantuan engkau dalam hal ini.” Sultan memandang Mangkubumi dengan penuh pengharapan, dijawab Mangkubumi dengan anggukan.


Tibalah saatnya pengumpulan. Sarabumi, Sarabraja, Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah telah memasuki ruang utama dari keraton dan kedua pangeran diminta untuk mendekat. Sementara itu, Sarabraja mulai berpaling, bersiap untuk ke luar.

“Tunggu dulu, Sarabraja.” Sultan Amrullah menghalangi.

“Ada apa, Baginda?” Sarabraja berhenti, dan kembali memutar badannya agar menghadap Sultan.

“Apakah engkau pelaku atas kezaliman terhadap Dayang Fatimah?”

“Bukan saya, Baginda. Baginda mungkin dapat melihat keberadaan saya yang hampir selalu di sini.”

Sultan mengangguk. “Itu benar.”

“Aku dapat bersaksi bahwa engkaulah yang mengantarkan Nyai Ratu Amirah ke dalam ruangan ini pada hari dia tiba,” lanjut Sultan. “Sekarang, engkau boleh pergi.”

Sarabraja menyambutnya dengan anggukan kemudian pergi menuju pintu pembatas.

“Sarabumi, sekarang giliran engkau.” Sarabumi terkejut mendengar namanya dipanggil oleh Sultan. “Apakah engkau pelaku atas kezaliman terhadap Dayang Faridah?”

“Bukankah saya telah menyatakan bahwa saya pergi ke jamban pada saat kejadian.”

“Tetapi, siapakah gerangan saksi bagi engkau, wahai Sarabumi?” Pangeran Takbirullah bertanya dengan nada tegas. “Saksi bagi diriku adalah orang-orang di rumahku. Bagaimana pula dengan engkau, Tahir?”

“Saksi bagi diriku pada saat kejadian, adalah Sarawasa yang aku minta bantuan kepadanya, sehingga kami bersama di waktu itu.”

“Aku memiliki saksi, begitu pula Tahir. Bagaimana dengan engkau, wahai Sarabumi?” tanya Pangeran Takbirullah.

Sarabumi hanya terdiam, memandang mata Sultan Amrullah yang sudah berkaca-kaca.

“Kenapa gerangan engkau diam, wahai Sarabumi? Apakah secara tidak langsung, engkau membenarkan bahwa sesungguhnya engkau yang melakukannya?”

“Raut wajah engkau pada saat menyatakan itu, aku dapat membedakan dan memberitahukan bahwa sesungguhnya engkau berdusta. Pembelaan yang aku lakukan, Sarabumi, adalah pengharapan bahwa engkau akan menyatakan yang sesungguhnya. Tapi, kenapa engkau melakukan ini, Sarabumi?!”

Sarabumi hanya diam, begitu pula Sultan yang merasa campur aduk. “Mangkubumi!” Sultan memanggil Mangkubumi dengan suara bergetar.

“Ya, Baginda,” jawab Mangkubumi dengan nada rendah.

“Bawa dia ke pengadilan agar dia dapat bersaksi di hadapan hakim. Di sana, dia tidak akan bisa berdusta. Jika Dayang Faridah dalam kenyataannya, melihat dan mengenal wajahnya, maka sungguh benar dia orang yang melakukannya.”

“Baik, Baginda.” Mangkubumi mulai menggiring Sarabumi keluar.

Setelah dirasa jauh, Pangeran Takbirullah dan Pangeran Tahir Lillah berpamitan untuk pulang. Waktu yang terus berlalu, dan pada hari itu pula diangkatlah Sarabumi baru. “Aku tidak akan menyebutkan nama engkau. Sekarang, engkaulah Sarabumi yang baru sehingga aku tetap memanggil engkau Sarabumi. Aku akan menyampaikan ini juga kepada engkau, janganlah melarang siapapun untuk datang ke keraton selama mereka bertujuan baik.”

Komentar