arrow_back

Sandiwara Hikayat

arrow_forward

Sang surya telah berada di sebelah barat, tetapi cahayanya masih bersinar terang. Tawa ceria anak-anak terdengar meriah, mereka bermain dengan riang di keraton. Pada saat yang bersamaan, Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah berada di sana.

“Sejak kapan anak-anak bermain di sini?” Pangeran Tahir Lillah bertanya-tanya.

“Beberapa hari yang lalu,” jawab Sarabraja.

“Tapi, kenapa mereka main di pelantar?” ujar Pangeran Takbirullah yang turut bersuara.

“Sultan telah memperbolehkannya.” Jawaban Sarabraja disambut Pangeran Takbirullah yang mengangguk paham.

Anak-anak yang berada di sana, dapat terlihat dari wajah mereka bahwa mereka telah bosan bermain di pelantar keraton selama beberapa hari berturut-turut. Hal itu memancing semangat dan ide dari Pangeran Tahir Lillah. “Takbir.”

“Apa?” sahut Pangeran Takbirullah.

“Bukankah kita memiliki egrang?” Pangeran Tahir Lillah kembali bertanya.

Pangeran Takbirullah turut bersemangat. “Benar juga.” Dia menepuk tangannya sekali.

“Di Balai Laki.” Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah mengucapkannya bersamaan.

“Aku yang akan mengambilkannya, karena tahu di mana letaknya. Kamu, Takbir, siapkan garisnya. Tunggu di sini, ya, adik-adik.” Pangeran Tahir Lillah menyamakan tingginya dengan anak-anak selama dia meminta mereka untuk menunggu, kemudian berdiri dan pergi.

Pangeran Takbirullah tersenyum kemudian mencari ranting jatuh untuk membuat garis di halaman. Satu garis untuk titik awal, satu garis untuk titik akhir. “Mari ke sini!” Pangeran Takbirullah melambaikan tangan kepada anak-anak untuk mengajak mereka mendekat.

Pangeran Tahir Lillah kembali dengan membawa dua pasang egrang. Dia terlihat kesusahan membawanya sehingga Pangeran Takbirullah harus berlari dan menyambut sepasang. Pangeran Takbirullah kemudian menghitung jumlah anak-anak.

“Empat nah, pas genap. Tapi kurasa ini terlalu besar? Apakah kalian bisa memainkannya?” tanya Pangeran Tahir Lillah.

Beberapa orang dari anak-anak itu mulai mencoba egrang yang diserahkan oleh Pangeran Takbirullah, membuatnya kagum. “Kalian hebat dalam hal ini rupanya.”

“Bagaimana kalau kalian berlomba saja? Apalagi garisnya telah dipersiapkan.”

Pada waktu yang tidak berjauhan, Sultan Amrullah keluar dari keraton untuk menyaksikan permainan yang akan segera berlangsung dengan duduk di tangga. Beliau mempersilahkan pertandingan untuk dimulai, dengan sistem eliminasi melalui dua orang tiap babak, sampai seterusnya. Tawa anak-anak terdengar meriah dengan semangat mereka yang memenuhi daerah sekitar keraton.

Singkat kisah, Abdullah memenangkan permainan ini. Pangeran Tahir Lillah, Pangeran Takbirullah, dan Sultan Amrullah bertepuk tangan sebagai tanda pemberian selamat kepadanya.

“Besok kalian hendak main lagi?” tanya Pangeran Takbirullah.

“Ya!” jawab anak-anak semakin bersemangat meski kelelahan setelah bermain.

“Siapa tahu kita akan mencoba permainan lain,” ucap Pangeran Tahir Lillah.

Sultan Amrullah tersenyum melihat Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah. “Kalian lebih akur daripada yang kuduga. Maafkan aku telah berburuk sangka kepada kalian,” ucap Sultan.

“Benarkah?” Pangeran Takbirullah bertanya dengan nada sarkas. “Bagaimana kalau kita yang berlomba, Tahir?”

“Siap.” Pangeran Tahir Lillah menyahutnya ditambah satu anggukan.

Sultan Amrullah hanya bisa tersenyum dan menggeleng melihat tingkah laku mereka. Membiarkan Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah yang akan bertanding dalam permainan egrang, Sultan Amrullah mengajak anak-anak untuk mendekat kepadanya. “Anak-anak.” Beliau memanggil. Mereka langsung mendekat serta perhatian mereka pun fokus terarah kepada Sultan.

“Apakah ada di antara kalian yang melihat Sarabumi sebelumnya, pergi menuju jamban?” Anak-anak serentak menggeleng.

“Dia masih berusaha melarang kami. Dia berujar bahwa kami berisik.” Abdullah terus menjelaskan.

Sultan Amrullah menunduk seraya menghela napas. “Ada apa gerangan sehingga dia harus berdusta? Sungguh betapa benci dirinya dengan anak-anak sedangkan dia telah bertanya tentang mereka?”

“Sudahlah Aba. Tidak usah pikirkan itu lagi,” ucap Pangeran Takbirullah. “Lihatlah sekarang, Aba. Semua sudah mulai menjadi tenang, begitu pula Aba.”

Sultan Amrullah menjadi tenang setelah mendengar ucapan Pangeran Takbirullah. Melihat itu, Pangeran Takbirullah kembali fokus ke permainan. “Siapkah engkau, wahai Tahir?”

“Kalian tidak akan memperpanjang jarak antar garis?” celetuk Sultan.

Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah saling memandang. “Kami akan bolak-balik,” sahut Pangeran Takbirullah. “Kamu menerimanya?” Dia bertanya kepada Pangeran Tahir Lillah yang dijawab dengan anggukan.

Pertandingan pun dimulai, begitu meriah diiringi teriakan anak-anak yang memberi semangat. Mereka menepati kesepakatan dengan berbalik setelah mencapai garis kedua untuk memperpanjang jarak. Singkat cerita, permainan berakhir seri karena Pangeran Takbirullah dan Pangeran Tahir Lillah mencapai garis akhir secara bersamaan.

Pangeran Takbirullah dan Pangeran Tahir Lillah yang tampak kelelahan turun dari egrang secara bersamaan. Mereka saling menatap kemudian Pangeran Takbirullah mengulurkan tangan terlebih dahulu. “Itu tadi pertandingan yang menyenangkan.”

Pangeran Tahir Lillah bernapas berat. “Besok, ikut lagi?”

“Jika aku tidak sibuk, bisa saja.” Tangan Pangeran Takbirullah seolah ingin mengambil egrang dari Pangeran Tahir Lillah. “Sekarang, biarkan aku yang menaruhnya kembali ke Balai Laki.” Pangeran Tahir Lillah langsung menyerahkan tanpa ragu.

“Dari mana engkau mengambilnya tadi? Agar aku meletakkannya di tempat yang sama.”

“Samping lemari.” Pangeran Takbirullah mengangguk kemudian langsung pergi.


Hari telah berganti, sehingga pekerjaan harus berlanjut. Pagi menjelang siang di keraton, Sultan dikejutkan dengan kedatangan Dayang Faridah yang tiba-tiba. Suaranya yang nyaring tetapi gemetar memarahi Sarabraja yang menghalanginya.

“Biarkan dia lewat, wahai Sarabraja.”

Dayang Faridah dibiarkan masuk. Wajahnya begitu gelisah, terlihat jelas oleh Sultan Amrulah. “Ada apa, wahai Faridah?”

“Uma meninggal.” Gemetar suara Dayang Faridah begitu terdengar.

Sultan Amrullah sempat terkejut mendengar kabar itu dan menunduk seraya mengucap kalimat istirja. Dia memikirkan bahwa dirinya pun pasti menyusul meski tidak tahu kapan waktunya.

“Pihak kerajaan akan segera mengurusnya. Kami mengusahakannya secepat mungkin agar bisa disalat dan dikuburkan setelah Zuhur nanti.” Sultan Abdullah bersuara dengan nada rendah dan memandang Mangkubumi sebentar. “Sekarang, tenang dan bersabarlah. Engkau harus menemui Nyai Ratu sekarang karena mungkin dia tidak bisa datang ke rumah engkau untuk melayat hari ini. Aku yakin, bersamanya engkau lebih bisa melewati ini.”


Tabib Maymunah terus meminta maaf dengan tangisan. Dia menyesal karena merasa tidak merawat Nyai Ratu Karimah dengan baik. Tabib Habibah mencoba menenangkannya.

Sementara itu, Dayang Faridah berada dalam pelukan Nyai Ratu Amirah. Wajahnya terlihat muram karena kesedihannya. Tubuhnya terkulai lesu.

“Maymunah, berhentilah,” ucap Nyai Ratu Amirah. “Usaha engkau pasti sudah besar. Tapi Allah lebih sayang dengan Nyai Ratu daripada kita.”

“Terima kasih telah merawat kami, Maymunah, Habibah.” Mereka menunduk malu.

Suasana hening sesaat. “Maymunah,” panggil Nyai Ratu Aminah.

“Ya, Nyai Ratu.” Tabib Maymunah memandang.

“Pergilah kepada Dayang Rukamah. Aku merasa dia sedang tidak enak badan hari ini. Aku juga merasa ini kesalahanku karena terlalu keras padanya. Suruh dia untuk ke mari, agar aku bisa meminta maaf.”

Tabib Maymunah berdiri kemudian pergi ke dalam dan kembali membawa Dayang Rukamah bersamanya. Berdasarkan pemeriksaan pertama, Dayang Rukamah terbukti sakit. Tabib Maymunah mengatakan bahwa dahinya terasa lebih panas dibanding biasanya.

“Dayang Rukamah.” Nyai Ratu Amirah memanggil.

“Ya, Nyai Ratu.” Suara Dayang Rukamah terdengar lemah dan gemetar, berbeda dengan jawaban sama yang diucapkan Tabib Maymunah sebelumnya.

“Maafkan aku.” Nyai Ratu Amirah meletakkan tangannya di paha Dayang Rukamah. “Aku merasa terlalu keras pada engkau.”

“Jika engkau telah sembuh, mari kita jalan-jalan ke tempat yang engkau inginkan selama itu tempat yang baik.” Nyai Ratu Aminah mencoba menghibur Dayang Rukamah. Wajah Dayang Rukamah mulai terlihat lebih baik.

Komentar