arrow_back

Sandiwara Hikayat

arrow_forward

Pemakaman Nyai Ratu Karimah rupanya memang dilaksanakan pada hari yang sama, di waktu yang telah ditentukan dengan Sultan Amrullah yang turut membantu. Sementara itu, Nyai Ratu Amirah bersama Dayang Rukamah yang mengusahakan dirinya hadir dan Dayang Faridah yang masih berusaha menahan tangisnya melihat dari kejauhan. Dengan dipenuhi masyarakat yang turut menyaksikan, pemakaman berjalan dengan lancar sehingga mereka meninggalkan setelah selesai.

Sore hari, anak-anak kembali. Mereka terlihat siap untuk bermain kali ini.

Sarabumi berusaha mencegah mereka. “Mohon maaf, anak-anak.” Dia berdiri menghalangi. “Hari ini kita tidak bisa bermain dahulu. Kerajaan sedang bersedih.”

“Kenapa?” tanya Abdullah polos.

“Nyai Ratu meninggal.”

“Engkau berdusta.” Sarabumi bingung mendengar sahutan Abdullah. “Itu Nyai Ratu,” tunjuk Abdullah. Sarabumi pun menengok ke belakang.

Rupanya itu adalah Nyai Ratu Amirah yang berjalan di halaman bersama Dayang Faridah. Karena Abdullah yang menunjuk, Nyai Ratu Amirah pun mendekati mereka. “Ada apa?” Nyai Ratu Amirah bertanya.

“Sarabumi telah berujar bahwa Nyai Ratu meninggal. Nyatanya, Nyai Ratu masih hidup.”

Mendengarnya, Nyai Ratu Amirah memandang Sarabumi yang tertunduk malu. Nyai Ratu pun tersenyum memandang Dayang Faridah cukup lama. “Umanya Dayang Faridah juga Nyai Ratu.” Abdullah pun melihat Dayang Faridah kemudian menunduk.

“Maafkan aku.” Ucapan yang sama diucapkan oleh Sarabumi dan Abdullah pada waktu yang hampir sama.

Nyai Ratu Amirah tersenyum. “Siapa nama engkau?” tanya Nyai Ratu Amirah pada anak itu.

“Abdullah.”

“Senang mengenal engkau, wahai Abdullah.”

“Nama engkau cukup mirip dengan nama Sultan,” celetuk Dayang Faridah yang membuat Nyai Ratu Amirah tersenyum kecil.

Tidak berapa lama, Sultan Amrullah turut berada di halaman. Nyai Ratu Amirah terdiam menyadari kehadirannya seraya terus memandang ke arah Sultan yang berjalan sendirian. “Ada apa, wahai Amirah?” tanya Sultan seraya mendekat.

“Aku baru saja hendak menyebut nama engkau, namun rupanya engkau telah datang tanpa harus aku panggil.” Jawaban Nyai Ratu Amirah membuat Sultan Amrullah tersenyum.

Menyaksikan sekumpulan anak yang berkumpul di tempat sama, Sultan Amrullah seraya memandang Sarabumi dan memanggilnya. “Sarabumi,” Sultan berucap.

“Ya, Baginda,” jawab Sarabumi dengan suara lemah.

“Apakah engkau telah melarang mereka untuk masuk dan bermain, wahai Sarabumi?” Pertanyaan Sultan tidak dijawab oleh Sarabumi yang hanya dapat menunduk. “Bukankah aku telah memberitahukan kepada engkau agar tidak melarang mereka?”

“Tetapi, bukankah sekarang kerajaan sedang bersedih?”

Sultan terdiam dan menyadari pernyataan Sarabumi yang ada benarnya dengan mengangguk pelan. Sultan Amrullah pun memandang Dayang Faridah, karena keputusan sekarang berada di tangannya.

“Aku tidak mau kesedihan yang kualami larut dan membuat orang turut tersiksa. Rumahku yang cukup jauh di sini, aku merasa tidak mungkin mendengar suara kalian. Sekarang, masuk dan bermainlah di sini.”

Anak-anak pun memasuki halaman keraton, menyisakan Sarabumi, Sultan Amrullah, Dayang Faridah, dan Nyai Ratu Amirah di pagar. Dayang Faridah pun menatap Sarabumi yang masih menunduk.

“Kesedihan yang kurasa, telah cukup kucurahkan. Kematian Uma telah selesai diurus dan masih ada keluargaku yang mengurus sisanya. Mereka memahami bahwa diriku adalah Dayang yang harus menemani Nyai Ratu. Aku berharap, dengan kebahagiaan anak-anak, itu juga menyebar kepadaku.”

Sultan Amrullah, Nyai Ratu Amirah dan Dayang Faridah pun berjalan menuju anak-anak yang masih menyiapkan permainan. “Apa yang hendak kalian mainkan, wahai adik-adik?” tanya Dayang Faridah dengan senyuman.

“Balogo!” Anak-anak menyahut serentak sambil menunjukkan Logo dan Penapak masing-masing. Sultan Amrullah pun mendekati tangga, bersiap untuk duduk dan menonton dari sana. Sultan juga membersihkan sedikit ruang di samping tempat duduknya, dan memberi isyarat kepada Nyai Ratu Amirah untuk duduk di dekatnya. Dayang Faridah tersenyum melihat mereka dan hanya berdiri di samping tangga, di sebelah Nyai Ratu Amirah.

Tidak lama kemudian, Pangeran Tahir Lillah dan Pangeran Takbirullah datang dan langsung berjalan ke arah anak-anak. “Kalian sudah datang rupanya,” ucap Pangeran Tahir Lillah sambil terus mendekat.

“Sudah siap untuk main?” Pangeran Takbirullah turut menyapa mereka.

“Ya!” sahut anak-anak dengan semangat.

Tanpa berselang lama, terdengar langkah lari mendekati mereka. Pangeran Takbirullah yang lebih muda, jeli mendengar suara itu dan melihat seorang remaja laki-laki yang berlari. Rupanya, remaja laki-laki itu mendekati Pangeran Takbirullah dan memberi isyarat. Pangeran Takbirullah sedikit menundukkan kepalanya, seraya remaja laki-laki itu membisikkan sesuatu.

“Hah? Lagi?” Pangeran Takbirullah terkejut, dia tidak percaya. Tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan, Sultan Amrullah dan Nyai Ratu Amirah hanya kebingungan.

“Maafkan aku semua. Aku tidak bisa ikut kali ini. Masalah yang kemarin kami alami, hari ini terjadi lagi sehingga aku harus kembali terlebih dahulu.” Nada bicara Pangeran Takbirullah terdengar gelisah seiring dia meninggalkan logo dan penapak miliknya.

“Apakah itu adik engkau, wahai Pangeran Takbirullah?” tanya Nyai Ratu Amirah. Pangeran Takbirullah hanya menjawabnya dengan anggukan seraya dia pergi menjauh untuk pulang meski Pangeran Tahir Lillah mencoba menahannya.

“Farhanullah ternyata sudah besar,” celoteh Nyai Ratu Amirah dengan suara kecil.

“Apakah engkau mengetahui masalahnya, Pangeran Tahir Lillah?” Nyai Ratu Amirah bertanya.

“Tidak, wahai Uma. Dia juga enggan untuk berkisah tentangnya. Tetapi, jika adiknya yang mendatangi dirinya ke sini, maka aku menduga itu adalah hal yang pribadi, apalagi jika mereka hanya berbisik sehingga aku tidak mau mengganggunya,” jawab Pangeran Tahir Lillah.

Pangeran Tahir Lillah memandang anak-anak. “Rupanya kalian sudah selesai bersiap-siap. Mari kita mainkan beberapa kali, sementara logo dan penapak milik Pangeran Takbirullah akan kujaga.”


Setibanya di rumah, Pangeran Takbirullah langsung memarahi Pangeran Farhanullah. “Kenapa engkau sudah memakainya?!”

“Farhanullah,” Pangeran Takbirullah menepuk bahu adiknya. “Dempul sampan ini harus dikeringkan sehari semalam.” Pangeran Takbirullah mengusap sampan yang masih basah karena baru dinaikkan dari pinggir sungai.

“Setidaknya, sore baru engkau bisa memakainya. Jika tidak, maka akan bocor kembali. Lihatlah buktinya, Farhanullah!”

“Tetapi aku sungguh hendak pergi ke sungai, kakak.” Pangeran Farhanullah memandang Pangeran Takbirullah dengan mata memelas.

“Apa yang hendak engkau lakukan sesungguhnya? Memancing?” Pangeran Farhanullah hanya diam. “Kita bisa membeli ikan di pasar subuh!”

Pangeran Takbirullah menghela napas sejenak. “Apakah sebenarnya engkau ingin bertemu dengan gadis itu lagi?”

“Farhanullah, dengarkan aku. Engkau adalah adikku, yang berarti masih bagian dari keluarga kerajaan. Di daerah ini, kabar begitu cepat tersebar, demikian pula fitnah. Sesungguhnya aku telah mendengar tuduhan bahwa diriku ingin merebut takhta Aba yang aku bahkan tidak tahu apa tujuannya.”

“Sekarang, aku akan menambal lubang sampan ini lagi. Aku peringatkan engkau untuk terakhir kalinya. Biarkan itu kering sehari semalam, dan tunggu lusa untuk memakainya! Gunakan hanya untuk memancing, dan bukan untuk menemui gadis itu. Jika aku melihat engkau bertemu dengannya, sampan ini akan kubiarkan saja jika kembali berlubang.”

“Maafkan aku,” ucap Pangeran Farhanullah. Pangeran Takbirullah hanya diam sambil mulai menambal ulang lubang di sampan itu.

Komentar