Pangeran Takbirullah mendatangi Sultan Amrullah di keraton, sehari setelah usai menambal lubang sampan dengan dempul di rumahnya. Melalui isyarat, Sultan Amrullah memahami maksud kedatangan Pangeran Takbirullah dan meminta Mangkubumi untuk keluar sejenak dari ruangan utama karena mereka akan membicarakan hal yang pribadi.
“Apakah yang ingin engkau bicarakan sebenarnya, wahai Pangeran Takbirullah?” tanya Sultan Amrullah.
Pangeran Takbirullah ragu untuk menjawab, namun dengan sekali tarikan napas, dia membuat dirinya tegap dan mulai berujar, “Kedatanganku di sini untuk meminta pendapat Aba. Bagaimana jika Pangeran Farhanullah kita nikahkan saja?”
Sultan Amrullah cukup terkejut mendengar pertanyaan itu. “Apa alasan engkau?”
“Farhanullah sepertinya tidak bisa melepaskan pandangan dari seorang gadis yang bahkan hari ini dia ingin kembali menemuinya.”
“Mengapa engkau begitu yakin, wahai Pangeran Takbirullah?”
“Izinkan diriku mengisahkan masalah yang membuat diriku harus pulang kemarin dan mengurungkan niatku untuk turut bermain dengan anak-anak.” Sultan Amrullah menjawabnya dengan anggukan.
“Kami memiliki sebuah sampan yang biasa digunakan untuk memancing dan beberapa hari belakangan sering mengalami kebocoran. Kemarin adalah ke sekian kalinya aku harus menambal kembali lubang yang ada di sampan itu dengan dempul. Sebelumnya, aku telah memperingatkan Pangeran Farhanullah untuk membiarkan dempul kering selama sehari semalam dan dia tidak mendengarkannya.”
“Sampan yang masih basah, ditarik ke pinggir sungai, menunjukkan bahwa dia telah menggunakan sampan itu. Dia bersikeras untuk pergi ke sungai tanpa menjelaskan alasannya. Aku memberitahukan kepadanya, dengan sampan yang masih bocor, kami bisa saja membeli ikan di pasar subuh.”
“Gadis yang kubicarakan, dia sempat melihatnya ketika kami memancing bersama dan mendekati lautan. Dia berdiri di dek kapal besar, melambaikan tangannya ke arah kami. Aku mengarahkan perhatianku untuk pancingan, tapi tidak dengan Pangeran Farhanullah. Dia terus memandangi gadis itu dan sempat membuat sampan bergoyang yang akan membuat kami tercebur.”
“Diamnya dia ketika ditanya tujuan pergi ke sungai, ditambah pertanyaanku bahwa dia ingin bertemu dengan gadis itu yang tidak dijawab, membuatku begitu yakin dan dia hanya meminta maaf.”
“Wahai Aba, bukankah Pangeran Farhanullah masih menjadi bagian dari keluarga kerajaan?” tanya Pangeran Takbirullah. Sultan Amrullah mendengarkan, menjawab dengan anggukan. “Aku berpikir bahwa, andai dia terlalu dekat dengan gadis itu, fitnah dari masyarakat akan mulai menyebar dan Aba mungkin akan dituduh tidak melarang terjadinya hal demikian.”
“Tetapi, wahai Pangeran Takbirullah.” Sultan Amrullah memotong. “Bagaimana dengan maharnya nanti? Apakah Pangeran Farhanullah sudah memiliki pekerjaan, mengingat dirinya yang masih muda?”
“Wahai Aba, sungguh Pangeran Farhanullah telah sering mencari ikan sendiri dan dijualnya ke pasar subuh. Dirinya yang sudah besar menurutku juga siap untuk dinikahkan. Demikianlah alasan diriku sehingga berani meminta pendapat dari Aba.”
Sultan Amrullah tersenyum kecil. “Baguslah engkau telah berkisah kepadaku. Kegiatan engkau meski sederhana seperti itu, telah mengamankan engkau dari fitnah menzalimi Dayang Faridah beberapa hari lalu. Aku juga ingin menegaskan bahwa keluarga kerajaan memiliki hak untuk hidup sebagaimana masyarakat biasa.”
“Suruh Rahmatullah datang ke Keraton. Aku ingin bertanya dengannya langsung. Jika dia memang bersedia untuk dinikahkan, maka kita harus menyegerakannya.” Sultan Amrullah bersiap untuk duduk di takhta.
“Bagaimana dengan engkau?” celetuk Sultan Amrullah.
“Suatu hari nanti,” sahut Pangeran Takbirullah sambil pergi. Sultan Amrullah hanya tersenyum mendengarnya.
“Terima kasih telah datang,” sambut Sultan Amrullah kepada Pangeran Farhanullah dari singgasananya.
“Ada apa, Aba?” tanya Pangeran Farhanullah agak kebingungan.
“Apakah Takbirullah sudah memberitahukan masalahnya kepada engkau?” tanya Sultan Amrullah balik.
“Belum, Aba. Dia hanya memberitahu bahwa Aba memanggilku untuk ke keraton hari ini,” jawab Pangeran Farhanullah polos.
“Jadi, engkau belum tahu?” Pangeran Farhanullah hanya mengangguk menjawab pertanyaan itu. “Baguslah, kita akan mencari tahu kebenarannya hari ini.”
“Ceritakan dari sudut pandangmu, kegiatan harian menggunakan sampan, agar aku tahu mengapa hal itu penting sehingga kakak engkau juga tidak berada di Balai Laki dengan alasan memperbaikinya.” Sultan Amrullah memulai klarifikasi atas pernyataan Pangeran Takbirullah.
Pangeran Farhanullah masih kebingungan, namun dia tetap berusaha untuk menjawabnya. “Setiap sore, aku mencari ikan, beberapa darinya untuk dimakan bersama dan jika banyak yang tertangkap akan dijual di Pasar Terapung pada pagi hari.”
“Tidak ada alasan lain?” tanya Sultan Amrullah memastikan.
“Apa maksud Aba?” Pangeran Farhanullah memiringkan kepalanya.
Belum sempat menjawab, Mangkubumi yang tadinya diminta keluar oleh Sultan masuk dengan membawa sesuatu di tangannya. “Lalawangan Kuin mengirimi kita surat.” Mangkubumi menunjukkan surat yang dikirimi oleh kepala daerah Kuin.
“Sini, aku ingin membacanya.” Sultan Amrullah mengulurkan tangannya. Mangkubumi menyerahkan gulungan kertas itu. Sultan pun membukanya. “Sepertinya aku perlu membaca ini dengan lantang,” ucap Sultan setelah membaca sekilas.
“Yang terhormat, Baginda Sultan. Kami, warga Kuin ingin memberi kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya, orang-orang Belanda telah tiba di Pasar Terapung. Kabar buruknya, kami mendengar bahwa mereka bukan berniat untuk berdagang tapi menguasai seluruh perdagangan. Para pedagang di Pasar Terapung telah mengeluh dengan sistem baru yang mereka lakukan. Kami memohon pertolongan Baginda Sultan. Hormat kami, Warga Kuin.” Sultan Amrullah pun menggulung kembali surat itu dan mengembalikannya kepada Mangkubumi.
“Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi, namun juga bersyukur karena masyarakat Kuin telah melaporkan ini melalui Lalawangan.” Sultan Amrullah menanggapi.
“Mangkubumi, siapkan kertas untukku menulis surat,” perintah Sultan Amrullah. “Baiklah, Baginda.” Mangkubumi langsung mempersiapkan.
Pangeran Farhanullah terlihat gelisah. “Ada apa, wahai Pangeran Farhanullah?” tanya Sultan Amrullah menyadari hal itu.
“Bukan apa-apa,” sahut Pangeran Farhanullah, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya.
“Aku mendengar dari kakak engkau bahwa engkau tertarik dengan seorang gadis. Ketika dia ikut mencari ikan dengan engkau, dia menyadari bahwa engkau tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Apakah itu gadis Belanda?” Pangeran Farhanullah hanya diam dan menunduk.
“Jika itu benar, sekarang engkau hanya punya dua pilihan yang kutentukan. Tinggalkan dia, atau bawa sekalian ke sini. Jika engkau membawanya, kita lihat lebih cepat yang mana dibanding Lalawangan Kuin.”
“Ini kertasnya, Baginda.” Mangkubumi menyerahkan kertas kosong juga tinta dan cap untuk Sultan.
“Kepada Lalawangan Kuin. Perintahkan perwakilan dari orang-orang Belanda itu agar datang ke keraton. Beritahukan bahwa Sultan ingin berbicara dengan paling tidak salah satu dari mereka.” Sultan Amrullah menulis sambil membaca dengan lantang. Setelah puas dengan surat itu, Sultan pun menambahkan cap pada surat itu dan membiarkan Mangkubumi mengirimkannya.
“Sepertinya tidak ada lagi yang ingin aku bicarakan.” Sultan menyandarkan punggungnya. “Rahmatullah, engkau boleh pulang. Pikirkan ini dengan baik-baik.”
“Baiklah, Aba.” Pangeran Farhanullah menunduk seiring pulang.
“Bagaimana?” Pangeran Takbirullah menanyakan keadaan adiknya yang terlihat murung.
“Jadi, engkau mengadukanku rupanya?” tanya Pangeran Farhanullah balik. “Aku membenci engkau, Takbirullah!”
“Kenapa? Ini demi engkau sendiri dan kebaikan kita semua. Kabar mengenai adab Belanda yang baru saja datang telah sampai kepadaku. Aku yakin engkau juga telah mendengarnya.” Pangeran Takbirullah terdiam karena dia benar-benar telah mendengar kabar itu, bahkan langsung dari sultan yang membacakan surat saat dia di keraton tadi. “Memangnya ada apa?”