arrow_back

Sandiwara Hikayat

arrow_forward

Pangeran Farhanullah hanya bisa menundukkan kepala, bersedih. “Aba menyuruhku untuk meninggalkannya atau membawanya ke keraton.”

“Bukankah sesungguhnya aku telah berujar kepada engkau di sampan dulu, agar engkau tidak terlalu memandang gadis itu tetapi tidak engkau pedulikan?!”

“Jika engkau menanyakan pendapatku, akan lebih baik jika engkau membawanya ke keraton. Siapa tahu Aba akan menerima dan engkau dapat menikahinya segera. Aku sangat mendukung engkau.” Pangeran Takbirullah tersenyum.


Rembulan meninggi di tengah langit malam, tanpa orang yang menyaksikan bintang beredar. Termasuk Sultan Amrullah yang berbaring di kasurnya, di kamar tidur bersama Nyai Ratu Amirah dengan tanpa meluangkan waktu untuk berbicara. Nyai Ratu yang menyadari itu, mendekati Sultan.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud memarahi engkau. Aku salah mengira engkau lebih peduli dengan takhta padahal aku pernah paham kenapa engkau melakukan itu.” Sultan Amrullah berpura-pura tidur dan tidak mendengarkan. “Maukah besok menemaniku pergi ke masjid dan pulangnya menemui Uma-nya Faridah?”

“Tidak jadi dengan Dayang Ruqayyah?” sahut Sultan dengan suara lemah. Matanya bahkan masih terpejam. “Karena Dayang Faridah sudah kembali mengawani engkau, kenapa tidak dengannya saja? Itu adalah kebiasaan baginya sepulang dari masjid untuk mendatangi Uma-nya.”

“Aku tidak ingin bicara dahulu selama beberapa saat dengan Dayang Ruqayyah agar dia memahami betapa marahnya aku atas kelakuannya. Sementara itu, Dayang Faridah harus beristirahat setelah apa yang terjadi kepadanya. Aku memercayakan Tabib Habibah untuk kini menjaganya di Balai Bini.”

“Tabib Habibah?” Sultan membuka matanya dan melihat wajah Nyai Ratu tersenyum.

“Itu nama tabib yang ditugaskan untuk mengobati Dayang Faridah. Bukankah namanya indah? Aku bersyukur memiliki kawan yang baik.” Sultan turut tersenyum.


Hari yang baru di kerajaan. Pagi itu, Sultan Amrullah membongkar laci miliknya dan membuat Mangkubumi penasaran. Setelah barang yang dicari ditemukan, Sultan Amrullah menutup laci itu sambil duduk di takhtanya. Sultan pun mengungkap barang yang dia ambil. Barang itu ialah segenggam koin yang kemudian dihitung oleh Sultan dan dia masukkan dalam pundi, dengan terus dipandangi Mangkubumi.

“Demikian penasarankah engkau akan hal yang aku lakukan, wahai Mangkubumi?” Mangkubumi hanya diam. “Sungguh, aku melihat tabungan yang aku pegang dan menghitung jumlah di dalamnya. Aku ingin membawanya ke pasar, dan saat ini adalah waktu yang tepat karena duitnya sudah cukup.”

“Engkau adalah sultan. Kenapa tidak menggunakan duit kerajaan saja?” tanya Mangkubumi.

“Menjadi warga biasa adalah kesenangan bagi diriku, wahai Mangkubumi. Aku akan dapat berjalan bersama Amirah dengan tenang lagi nyaman.”

“Hamba turut senang melihat Baginda senang.”


Hari terus berganti dan subuh itu Nyai Ratu Amirah berkenan untuk turut dengan Sultan Amrullah sehingga mereka salat di Masjid Sabilal Muslimin. Dalam perjalanan pulang seusai salat, Sultan Amrullah bertanya kepada Nyai Ratu Amirah. “Apakah engkau hendak pergi ke pasar subuh, wahai Amirah? Adakah yang hendak engkau beli?”

“Alangkah bagusnya jika aku melihat-lihat saja terlebih dahulu dan membelinya belakangan,” sahut Nyai Ratu Amirah.

“Sungguh subuh ini aku membawa duit dan seharusnya engkau bisa membeli apapun yang engkau inginkan, wahai Amirah.”

“Benarkah?” Nyai Ratu Amirah terlihat bersemangat. Sultan Amrullah hanya tersenyum kecil.

Seiring terus berjalan, akhirnya Sultan Amrullah dan Nyai Ratu Amirah tiba di pasar subuh yang cukup sibuk pagi itu. Jauh berbeda dengan masyarakat di masjid, banyak dari mereka yang mengarahkan perhatian kepada jual beli dan tidak mengenali Sultan Amrullah dan Nyai Ratu Amirah, ditambah tiada yang memanggil nama mereka di sana.

Mereka terus melangkahkan kaki di pasar itu, sampai Sultan Amrullah menyadari pandangan Nyai Ratu Amirah yang tertuju kepada pedagang gelang. Sultan pun berhenti di depan meja pedagang tersebut, yang memandangi Sultan Amrullah dengan begitu jelas tetapi bagai tidak mengenalnya dengan gelagatnya yang seperti biasa.

Melihat itu, Nyai Ratu Amirah berbisik kepada Sultan Amrullah saat pedagang itu sedang melakukan tawar-menawar dengan pembeli lain. “Pedagang ini sepertinya tidak mengetahui bahwa engkau adalah Sultan.”

“Demikianlah aku harus lebih sering ke sini,” sahut Sultan Amrullah dengan bisikan pula.

Sultan Amrullah berdeham sekali. “Mau yang mana?” tanya Sultan Amrullah dengan suara jelas.

“Berapakah harga yang itu?” Nyai Ratu Amirah menunjuk gelang yang dia pandang dari tadi.

“Seratus dua puluh,” jawab pedagang gelang singkat.

Sultan Amrullah terdiam seiring memandang ke atas, mencoba mengingat uang yang dia bawa. “Duitku tidak cukup,” ucap Sultan. “Bisakah lebih murah, misalnya seratus pas?”

“Tidak bisa.” Pedagang gelang menyahut tegas. Dia kemudian memandang tangan Sultan Amrullah. “Bagaimana kalau ditukar dengan cincin itu?”

Mendengar pertanyaan itu, Nyai Ratu Amirah langsung memandang Sultan Amrullah, menunggu jawaban. “Tidak akan!” seru Sultan. “Seseorang yang aku sayangi telah memberiku ini. Semahal apapun engkau ingin menukarnya, aku tidak akan menjualnya.” Nyai Ratu Amirah tersipu malu, tertunduk dengan senyuman.

“Baiklah. Aku juga tidak menjualnya,” ucap pedagang gelang.

Sultan Amrullah hanya diam seraya tersenyum kecil dalam tunduk, kemudian pergi bersama Amirah dan berujar, “Kita mungkin akan membelinya di lain kesempatan.”


Sehari setelah percobaan pertama dalam membeli gelang belum membuahkan hasil, Sultan Amrullah berkeinginan untuk mencoba lagi dan kembali mengajak Nyai Ratu Amirah agar ikut. Mengira Sultan hanya mengajak salat subuh berjamaah lagi di masjid, Nyai Ratu Amirah menjawab dengan nada sedih, “Aku uzur.”

“Bersabarlah,” ucap Sultan Amrullah dengan nada rendah. “Aku akan mengusahakan agar Dayang Faridah berkenan dan dapat menemani engkau hari ini.” Nyai Ratu Amirah menyahutnya dengan anggukan.

Ringkas kisah, pergilah Sultan Amrullah menuju masjid dengan dirinya sendiri. Seusai salat, Sultan pun kembali menuju pasar subuh yang sebenarnya hampir setiap hari buka. Hari ini terlihat berbeda, karena kesibukan di sana berkurang dibanding saat pertama kali Sultan tiba di pasar.

Tanpa pikir panjang, Sultan langsung berjalan menuju tempat pedagang perhiasan yang berdiri di tempat yang sama. Dengan posisi barang yang dijajakan tidak begitu berubah, Sultan Amrullah dapat mengingat gelang yang ditunjuk oleh Nyai Ratu Amirah.

Pagi itu, pedagang memandangi Sultan Amrullah. “Baginda Sultan?”

Sultan Amrullah pura-pura tidak tahu sehingga sontak melihat ke belakang dan bertanya, “Mana?”

“Bukan engkau?”

“Sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Sultan Amrullah dengan penggambaran yang begitu mirip dengan engkau telah berkunjung ke sini bersama Nyai Ratu Amirah.”

“Apa yang dia lakukan di sini?”

“Beliau berkehendak untuk membeli gelang ini.” Gelang yang telah diincar sejak sehari sebelumnya.

“Itu gelang yang bagus. Jika gelang itu masih ada di sana, berarti dia tidak jadi membelinya?”

“Beliau berujar bahwa duit yang beliau bawa dirasa tidak cukup dan belum berkenan menerima penawaran dariku.”

“Memangnya berapa harganya?”

“Engkau memang Baginda Sultan rupanya.” Ucapan dari pedagang sebelah mengejutkan. “Belilah punya kami.” Dia sepertinya hanya berniat untuk menawari. Pedagang gelang di hadapan sultan menjadi terdiam.

Karena sudah ketahuan, Sultan melanjutkan penawarannya. “Seratus dua puluh bukan?”

“Sebelumnya itu hanya perasaanku bahwa duitnya kurang, sampai aku menghitung ulang untuk terakhir kalinya dan lebih yakin bahwa duit yang kubawa sebenarnya pas. Aku meminta engkau untuk menghitungnya ulang karena aku masih takut perhitunganku belum tepat sehingga dapat kembali untuk menambahkannya jika kurang.”

Sultan Amrullah mengeluarkan pundi dari sakunya, namun tangan Sultan dihalangi pedagang. “Baginda tidak perlu membayarnya.”

“Kenapa?” Sultan bertanya dengan nada terkejut dan seolah kesal. “Terima saja. Bukankah pedagang biasanya hanya mengubah harga barang jika harga bahan yang berubah, tidak karena orang yang membelinya? Lagipula, engkau bisa saja menaikkan harganya jika tahu bahwa diriku adalah Sultan, bukan malah membuat diriku tidak usah membayarnya.”

“Seratus dua puluh adalah harga yang pantas untuk gelang ini dan aku mengakuinya.” Sultan menyerahkan pundi miliknya dan meletakkan di atas meja sang pedagang.

Pedagang gelang mulai ragu untuk menyambut. Dia terus memandangi Sultan dan membuka pundi yang Sultan serahkan untuk menghitung uang di dalamnya. “Pas,” ucap sang pedagang dan Sultan Amrullah secara bersamaan, yang rupanya turut menghitung. Pedagang gelang pun menyerahkan gelang yang diinginkan.

“Saya beli gelang ini seharga seratus dua puluh dibayar tunai.” Sultan Amrullah mengucapkannya saat menyambut gelang itu.

“Saya jual.” Dengan akad jual beli tersebut, perdagangan telah menjadi sah. Sultan Amrullah menyimpan gelang itu dengan hati-hati selama perjalanannya pulang.

Setibanya di keraton, Sultan Amrullah menunjukkan gelang itu kepada Mangkubumi sebelum memasukkannya ke dalam laci. “Mangkubumi, mohon jagakan ini. Aku tidak mau engkau apalagi orang lain mengambil gelang ini. Aku akan memberikannya kepada Nyai Ratu di waktu yang tepat.”

“Jadi, selawas ini, Baginda hendak membeli itu?” Mangkubumi mengangguk karena kini paham apa kehendak Sultan Amrullah.

Komentar