arrow_back

Sandiwara Hikayat

arrow_forward

Waktu terus berlalu sampai gelaplah langit malam. Seharusnya malam itu tidak berbeda dari biasa, Sultan Amrullah berbaring bersama Nyai Ratu Amirah di kasur. Namun, Nyai Ratu Amirah membuat satu permintaan, berjalan di malam hari meski tujuan belum menentu.

“Ada apa gerangan sehingga engkau hendak berjalan di malam hari?” Amrullah bertanya.

“Apakah engkau melarangku?” tanya Amirah dengan wajah cemberut.

“Tidak, asalkan kita berjalan bersama.” Amirah mengangguk pelan, membuat Amrullah tersenyum kecil.

“Persiapkan diri engkau, wahai Amirah. Pakailah pakaian yang lebih tebal, aku takut engkau kedinginan di luar.”


Abdullah tersenyum kecil. “Baiklah. Siapkan diri engkau. Pakailah pakaian yang lebih tebal mengingat cuaca di luar bisa saja lebih dingin.”

Ringkas cerita, Amirah pun berjalan bersama Amrullah dengan memegang sebuah lentera dan mengangkatnya di depan badan. Amrullah kemudian bertanya, “Arah mana yang hendak engkau tuju, wahai Amirah?”

“Aku hendak menuju sungai, wahai Amrullah. Sungguh, diriku telah mendengar bahwa beberapa malam belakangan, sungai lebih indah untuk dipandang.”

“Andai engkau mengucapkannya lebih dahulu, pastilah aku mengetahui alasan dari engkau sehingga hendak berjalan di waktu ini.”

Akhirnya, mereka tiba di Sungai Kuin yang terdapat beberapa orang yang memandangi sungai, juga yang memancing. Pantulan sinar bulan purnama seolah bersinar di atas air tanpa ombak, ditambah kilauan dari sebuah kapal besar yang tertambat di dermaga pelabuhan.

Tidak lama setelah Amrullah dan Amirah duduk, seseorang dari kejauhan mendekati mereka perlahan sambil memandangi wajah mereka di dalam kegelapan. Rupanya itu Mangkubumi, “Sul—”

“Sst!” Amrullah mengisyaratkan diam dengan meletakkan telunjuk kanan di depan bibirnya.

“Apa yang Sultan lakukan di sini?”

Amrullah tidak menjawab pertanyaan itu, dan membalik pertanyaan kepada Mangkubumi seraya menunjuk kapal yang menarik perhatian. “Kapal milik siapa?”

“Itu kapal Belanda, Baginda.”

“Apa yang mereka lakukan?” tanya Amrullah.

“Mereka di sana melakukan hiburan.” Mangkubumi pun menjelaskan dengan rinci. Amrullah nampak agak terkejut.

“Ah, jadi itu yang mereka lakukan? Aku akan menuntaskan semuanya segera.”


Hari telah berganti dan pekerjaan terus berlanjut. Di keraton, Mangkubumi mendekati Sultan untuk mengabarkan bahwa perwakilan langsung dari Jenderal VOC telah datang.

“Apakah kalian memahami bahasa Melayu?” tanya Sultan. Keduanya mengangguk.

“Baiklah, siapa nama engkau?”

“Charles, Baginda Sultan.” Dari nada bicaranya, sudah terdengar dia memalsukan kesopanannya.

Pangeran Farhanullah kembali ke keraton. Dia membawa seorang gadis berambut pirang. Gadis itu terlihat malu-malu karena terus menunduk dan menaruh kedua tangannya di depan. “Aba, aku memenuhi janjiku.” Pangeran Farhanullah memandang gadis itu. “Namanya Bella. Aku bertemu dengannya di sungai, ketika dia mendayung saat senja. Perkenalan itu hanya sebentar, namun setelah pertemuan pertama kami menjadi lebih sering bertemu.”

“Anakku?” Charles terkejut. Dia tidak menyangka Bella akan ada di keraton juga.

“Bella adalah putri engkau?” tanya Sultan Amrullah sambil tersenyum. Charles memandang Bella yang sama-sama diam.

“Kenapa engkau ada di sini?” tanya Charles memandang Bella dengan sinis. Bella masih diam dengan terus menunduk.

“Jelaskan kedatangan engkau ke mari, Charles.” Pandangan Charles sontak beralih ke Sultan Amrullah setelah namanya dipanggil.

“Para pedagang di Batavia mengatakan bahwa Banjar memiliki intan yang bagus dan kami dari Belanda ingin melihatnya.”

“Lantas, engkau tidak mengetahui putri engkau ada di sini?” Charles terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu.

“Aku hanya terkejut, Baginda Sultan. Tidak kusangka dia ada di sini, karena aku telah mencarinya.” Sultan hanya tersenyum kecil.

“Nanti kita akan bicara, tapi hanya berdua. Sebelum waktu itu tiba, aku akan memperbolehkan engkau berdagang di Pasar Terapung juga Pasar Subuh selama mematuhi peraturan yang berlaku di sini.” Sultan memberi ancaman tersirat dalam pembicarannya.

“Terima kasih, Baginda Sultan.” Charles menunduk kecil.

“Mari pulang,” ajak Charles pada Bella. “Kita harus bicara.” Singkat cerita, Charles dan Bella pun pulang.

“Aku tidak menyangka hal itu akan terjadi.”


Berbeda dengan pesisir, rupanya mereka terlebih dahulu berada di pedalaman. Betapa tersiksa warga perkampungan yang dipaksa bekerja untuk mereka. Sekali protes, tanpa ragu para kolonial akan menembak mati langsung di tempat.

Saat para kolonial lengah, seseorang kabur dari desa. Dia terus berlari dan berjalan ketika lelah, menuju keraton yang jauh dari sana. Entah bagaimana, dia berhasil tiba. Dengan napas begitu berat, tubuh yang penuh dengan debu jalanan, menghadap Sultan. Dia menceritakan dengan rinci, apa yang di derita kampungnya sehingga memilih untuk bertemu dengan Sultan langsung tanpa melalui perantara Lalawangan.

Dengan kolonial yang tidak mematuhi peraturan daerah dengan mengubah harga sekehendak mereka, dan dengan cerita tambahan dari orang desa, peperangan pun dinyatakan dan mengambil tempat di pelabuhan.

Sultan Amrullah mengganti pakaian kehormatannya dengan pakaian panglima, sebuah zirah besi yang cukup berat namun seharusnya cukup untuk menjadi pengaman. Sultan Amrullah mengambil gelang dari laci sambil menatap Mangkubumi dengan diam, kemudian menaruhnya di saku.

Setibanya di pelabuhan, Sultan Amrullah pun berteriak, “Ini tanah kami! Engkau tidak berhak menduduki tanah ini, apalagi mengubah harga perdagangan seenaknya.”

Peperangan menjadi tidak terelakkan. Pedang beradu di pelabuhan, pasar subuh terpaksa dibubarkan. Lemparan bambu runcing dari kejauhan. Berakhir dengan Sultan Amrullah tertembak peluru dari senapan laras panjang milik Charles.

Nyai Ratu Amirah berhasil keluar dari perlindungan dan berlari menuju Sultan Amrullah yang terbaring lesu. Dengan tubuh yang mulai terkulai lemas, Sultan Amrullah merogoh sakunya dan meletakkannya ke dalam genggaman Nyai Ratu Amirah. Itu adalah gelang yang dia beli sebelumnya di pasar subuh.

Sampai akhirnya Sultan Amrullah tidak menyahut lagi. Para pasukan dari pihak kesultanan memaksa dan menarik Nyai Ratu Amirah agar kembali ke perlindungan, meninggalkan jasad Sultan Amrullah yang juga dipindah.

Dengan kekalahan, kekosongan kekuasaan pun terjadi. Pangeran Takbirullah langsung menemui Pangeran Tahir Lillah. “Wahai Tahir Lillah, sungguh, ini adalah saat yang tepat untuk engkau agar menjadi Sultan dan memimpin kami.”

“Sebelum adikku, Farhanullah memihak Belanda karena gadis yang dia sukai, aku harus mencarinya terlebih dahulu dan mencegah itu terjadi.”

Sayangnya, Pangeran Takbirullah gagal dan ikut Farhanullah menjadi sandera. Ditambah korban yang terus berjatuhan melalui penyiksaan di perkampungan yang dalam, dengan berat hati Pangeran Tahir Lillah terpaksa menyerahkan daerah atas persetujuan dari Nyai Ratu Amirah yang jatuh sakit akibat kehilangan suaminya.

Akhir kisah, pihak kolonial Belanda pun menguasai daerah ini terutama dalam bagian perdagangan, dan warga tidak merasakan kebahagiaan sebagaimana hidup di bawah kepemimpinan Sultan. Rupanya, masih ada sekelompok orang yang tidak mau menyerah dan terus melawan kolonial Belanda sehingga mereka pergi. Di bawah bantuan kerajaan dari luar samudera, akhirnya mereka menang dan dapat merdeka.

Komentar