arrow_back

Sang Penyampai Pesan

arrow_forward

“Apa yang ingin kau capai dalam hidup ini?” Pertanyaan itu mengejutkanku, menyadarkan bahwa sekarang aku tidak sendiri.

“Oh, hai.” Dia menyapaku saat aku memandangnya. Seorang perempuan berambut pirang. “Kamu sudah sering ke sini?”

Dia menatapku untuk waktu yang lama, sementara aku tidak menjawab pertanyaannya. “Ah, kamu orang baru.”

“Siapa nama—”

“Itu mikrofon milikmu sendiri?” tanyaku sambil menunjuk barang yang dipegangnya sekaligus mengalihkan topik. “Kenapa bentuknya seperti jagung?”

“Dibuat secara kustom khusus untukku. Malam ini aku akan mengadakan konser dan mengundang seluruh yang dapat berhadir.”

“Di panggung ini?” Aku kembali bertanya.

“Ya! Sebentar lagi.”

“Kamu tahu panggung ini siapa yang membangunnya?” Aku hampir menggeleng sebelum dia kemudian menyebutkan sebuah nama. Wedyodiningrat, pertama mendengarnya.

Anehnya, aku merasa pernah menemui nama itu. “Maksudmu, pemimpin kantor waralaba itu?”

“Kamu mengenalnya?” tanyanya.

“Tidak juga. Hanya sebatas bertemu dengan beliau hari ini.”

“Serius, siapa nama—”

“Ngomong-ngomong, gaunmu bagus.” Aku memuji untuk mengganti topik pembicaraan.

“Terima kasih, temanku yang merancangnya. Sangat cantik seperti dirinya, layaknya semak bunga.”

“Pemilihan katamu … terdengar kurang tepat.”

“Kamu mungkin belum pernah melihatnya, jadi nanti bisa kau cari agar dapat memahami apa yang kumaksud.”

Tidak lama kemudian, seseorang remaja datang. Berpakaian dengan seragam yang mirip polisi. “Siapa dia?”

“Pernahkah kau mendengar legenda tempat ini?” Aku menggeleng. “Dinding panggung ini tidaklah biasa. Sebenarnya, ini adalah sebuah layar besar. Tapi banyak kesaksian bahwa tidak sedikit yang dapat menembus layar ini dan beralih ke dunia lain.”

“Aku Galileo, bertugas untuk menjaga agar hal ini setidaknya tidak terjadi di malam ini, untuk sebuah acara yang luar biasa penting yaitu konser dari idola kita!” Dia berucap sambil menunjuk gadis.

Aku mengangguk kemudian diam sambil melihat ke bawah panggung dan dikejutkan dengan binatang yang naik. “Biwara?”

Merpati yang semenjak aku berjalan menuju panggung berada di pundakku, turun dan seolah mengajak biwara itu bicara.

Sang penjaga berucap, “Tenanglah, biwara itu tidak berbahaya. Dia adalah peliharaan teman kami yang belum bisa datang ke sini karena harus membantu keluarganya dalam manajemen bisnis.”

“Sepertinya iya, karena merpatiku seperti bertemu teman lama. Dia terlihat begitu senang dengannya.”

“Merpatimu menanyakan bagaimana kabar penguin, dan biwaranya menjawab bahwa ia sekarang kembali ke Antartika.”

“Tunggu, bagaimana kamu bisa mengerti apa yang mereka bicarakan?”

“Aku tidak tahu juga.”

Apa yang kudengar dari pembicaraan Merpati dan Biwara selaras dengan yang Alice sampaikan.

“Aku harus mengenal tempat ini,” ucapku dengan suara pelan.

“Nampaknya kamu belum bisa memberitahukan nama, tapi tak apa. Perkenalkan, aku Alice, dan aku tidak tahu mengapa mereka terus memanggilku sebagai idola.”

“Suaramu dalam berbicara saja sudah bagus, apalagi menyanyi,” celotehku. Dia memalingkan wajahnya saat mendengar suara langkah seseorang.

“Siapa itu?” tanya seseorang dengan pakaian layaknya kontraktor menaiki panggung.

“Teman baru kita,” sahut Alice.

“Teman?” Aku heran.

“Tentu! Sekarang, kau adalah teman kami.” Aku tidak dapat menjelaskan perasaanku saat dia berucap seperti itu.

“Perkenalkan, ini Bagas. Dia adalah seorang buruh yang turut bekerja dalam pembangunan panggung ini.” Alice memperkenalkan kepadaku.

Langit malam tiba-tiba menjadi cerah dengan cahaya terang menyilaukan datang dari angkasa mendekat ke arah kami. Aku dapat merasakan Galileo bergerak dari posisinya dan melihat sekilas dia berada di depanku dengan tangan memegang senjata seraya menyodori sebuah benda terbang yang tak dikenal itu.

“Tahan! Jangan serang sebelum kita yang diserang!” perintah Alice.

Seseorang turun dari sana. Di daratan, dua orang menyambutnya. “Cahayamu sungguh menyilaukan, tapi setidaknya engkau datang.”

“Aku harus menjemput sang putri mahkota dari masa lalu agar dapat bertemu denganmu lagi di masa sekarang.”

Meski mendengar ucapan mereka, aku tidak dapat memahami apa yang mereka bicarakan. Tapi aku yakin, mereka datang ke sini untuk turut menyaksikan acara malam ini.

“Sebentar lagi acaranya akan mulai. Kalian, duduklah di kursi terdepan. Tempat teristimewa hanya untuk kalian.” Aku pun turut duduk.


Konser telah selesai dan semua warga yang turut menonton juga sudah pulang. Wedyodiningrat yang aku kira sibuk turut hadir dan menetap bersama kami. “Mari kita lakukan perayaan!”

Wedyodiningrat menepuk tangan ke atas sebagai isyarat untuk memanggil. Tidak lama setelahnya, orang-orang yang seperti teman mereka mendekat.

“Terima kasih bantuannya. Engkau benar-benar pahlawan kami.” Seseorang dengan pakaian memancing mengucapkan kepada seorang gadis dengan jaket merah.

Semakin mendekat, aku dapat melihat apa yang mereka bawa. Beberapa ekor ikan segar dalam ember. “Nanti kita bersihkan dan masak sesuai apa yang kita inginkan.”

Melihat keramaian di depan panggung, aku melihat satpam kompleks yang sedang ronda turut singgah. “Sepertinya kalian akan makan-makan. Aku akan memberikan cuci mulut.” Satpam itu menyerahkan beberapa buah manggis.

Semakin banyak orang yang berdatangan. Seorang gadis datang mendekati Alice. “Ini untukmu.” Dia menyerahkannya secara langsung, tidak melalui diriku meski aku tidak akan tahu isi dari sebuah kotak yang dibawanya apalagi terikat dengan pita.

Keajaiban terjadi. Dari kotak kecil itu, Alice mengeluarkan sebuah benda yang seharusnya tidak muat dari dalamnya. “Sebuah gitar?” tanyaku keheranan.

“Ini hadiah dari teman kita sang penulis lagu. Dari surat yang ada bersama gitar ini, dia mengharapkan diriku agar dapat memainkannya di lain konser.” Alice berucap.

Waktu semakin berjalan menuju tengah malam dengan bulan purnama malam ini semakin menaik. Rasa kantuk mulai menyelimuti diriku tapi aku tetap bertahan karena kali ini akan memiliki teman sehingga aku ingin bersenang-senang dengan mereka.

“Semuanya sudah terkumpul di sini.” Wedyodiningrat beralih menjadi pemimpin acara perayaan selesainya konser Alice. “Mari kita lihat kehadiran dulu.”

“Selain yang sudah ada, kit kehadiran seorang perawat dengan pakaian menyerupai macan. Kita juga diberikan minuman kesehatan yang diracik secara handal oleh peramu terkenal. Bahkan, kita kehadiran Mbak Kunti mengingat sekarang sudah malam.“

Mendengar Mbak Kunti, aku sontak berpaling untuk mencari keberadaannya. Dia tepat di belakangku dengan paku besar menembus kepalanya. ”Tenanglah. Sama seperti Merpati, Biwara, dan teman-teman kita. Semuanya aman di sini karena dijaga.“

Alice menenangkanku. Aku memandang seluruh orang yang berhadir di perayaan ini. ”Tempat ini seperti keluarga besar.“

”Tapi terkadang, tidak setiap kali semuanya bisa berkumpul seperti sekarang.“ Seorang gadis dengan jas almamater muncul.

”Ini perancang busana yang kubicarakan sebelumnya.“ Alice mempersiapkan.

“Aku rasa kita semua bernasib sama. Sekarang, mari sayangi diri masing-masing dan lanjutkan hidup kita!”

“Ya!” teriak mereka serempak. Aku hanya dapat tersenyum melihatnya.

Masing-masing dari mereka mengambil kaleng minuman yang dibicarakan sebelumnya. Alice menyerahkan kalengnya kepadaku.

“Bersulang untuk kita, sebuah keluarga yang berbagi dalam suka dan duka.”

Komentar