arrow_back

Sang Penyampai Pesan

arrow_forward

“Bangun!”

Teriakan sekaligus pukulan di meja membangunkanku secara paksa, memberi sakit kepala yang terasa bahkan sebelum mata sepenuhnya terbuka.

Di hadapanku, sang pemimpin dari kantor tempatku bekerja, sekaligus sang pemilik usaha sudah berdiri dengan wajah yang tidak begitu bahagia.

Sementara itu, sang merpati putih yang sekarang menjadi peliharaanku turut terkejut dan begitu heboh dengan sendirinya di dalam sangkar, terbang ke seluruh penjuru sampai menggoyangkan sangkar itu.

“Tenanglah.” Aku meminta agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.

“Mohon maaf, Pak.” Aku berdiri perlahan untuk menunduk. “Sebelumnya saya belum pernah terlambat bangun seperti ini. Saya akan segera mandi.”

“Nanti saja di rumahmu. Kita hari ini tidak bekerja.”

“Kenapa?” tanyaku kaget sekaligus bingung.

“Bangunan ini akan diratakan dengan tanah dan engkau bersama pekerja lainnya di kantor ini akan dipindahkan ke kantor utama di pusat kota.”

“Tapi, bukankah kantor ini adalah yang pertama di tempat ini? Lantas, kenapa engkau membiarkan orang lain mengambil alih?”

“Sayangnya, bukan aku yang memiliki kuasa sesungguhnya. Aku mohon maaf.” Beliau menunduk.

“Apakah engkau tidak menghargai apa yang telah engkau lakukan? Kita sama-sama sudah berada di tempat ini sejak lama!”

Beliau tidak mendengarkan dan kembali menuju pintu. “Rapikan barang-barangmu karena mereka tidak lama lagi akan datang.”


Aku tiba di kantor baruku dengan hanya jalan kaki. Tempat yang baru memang asing, tetapi rasanya berbeda dibanding daerah yang kudatangi untuk mengirim surat.

Memasuki kantor seraya membawa sangkar dengan burung merpati putih di dalamnya, aku bertanya dengan mereka yang menjaga di lobi.

“Apakah aku boleh membawanya masuk?“ Tidak ada jawaban dari mereka, menandai tiada yang peduli. ”Lantas apa, engkau hanya bisa memandangku saja? Tanpa melakukan apapun?“

Aku memilih lantai dua dan pergi ke sana, mengingat kantor kecil kami memang hanya dua lantai sedangkan aku dulu juga memilih untuk tinggal di sana. Aku menyusun tata letak ruangan baruku agar serupa dengan ruang lama. Jendela kaca seakan terganti dengan jendela kayu yang harus ditutup dan dibuka. ”Aku akan meminta jendela kaca, entah mereka akan memedulikannya.“

Aku meletakkan sang merpati putih beserta sangkarnya di meja kecil di sampingku kemudian mengajaknya untuk berbicara, meski tidak paham apa yang dia keluarkan melalui suara.

“Benar juga, aku belum memberimu nama.” Aku tersadar. “Tapi, bagaimana aku bisa memberimu nama? Sedangkan namaku sendiri aku tidak tahu siapa.”

“Lupakan itu. Kau tahu? Saatnya untuk bekerja!” Aku menyiapkan diri setelah melihat sebelum ruanganku di tata pun sudah ada surat yang siap untuk dikirimkan.


Pekerjaanku hari ini selesai lebih awal, namun aku tetap tertidur sebagaimana biasanya. Hanya saja, kali ini aku mendapat mimpi yang aneh.

Di tempat yang sama, sang merpati putih mengajakku berbicara. “Apa maksudmu tidak tahu namamu sendiri?” tanyanya dengan suara indah.

Daguku yang masih ditopang tanganku, membuatku memandang sang merpati putih sejenak. Dalam mimpi yang sama, aku seolah teringat kejadian lama.


Dering nan nyaring dari lonceng menandakan sebuah musibah berupa bencana sedang terjadi. Radio yang malam itu kubuka, memberikan informasi. “Sekarang, terjadi kebakaran di kantor pos….”

“Surat!”

Diriku langsung berlari menuju kantorku yang pertama, tersadar bahwa sayapku tiada. Aku hanya mengandalkan kedua kakiku untuk melaju. Setibanya di kantor, api sudah membakar sebagian sehingga aku semakin bergegas, meski di tempat sudah tiba barisan pemadam kebakaran

“Hei, Nak! Apa yang kamu lakukan?!“ Salah satu dari mereka meneriakiku.

Aku tidak memedulikannya dan terus bergegas memasuki kantorku, langsung mengarah ke ruanganku untuk mengambil sebuah karung yang berwarna seperti goni bersama seluruh surat yang berisi surat di dalamnya.

Setelah merasa cukup karena telah mengambil barang terpenting, aku kemudian menuju keluar. Api yang terus membakar memang membuat kantor ini terasa panas dan sebagian dari atap menunjukkan tanda-tanda hampir rubuh. Dua anggota pemadam kebakaran dengan seragam mereka bergegas menujuku dan menarik kedua lenganku. Salah satu dari mereka mengambil karung dari tanganku namun aku menolak mereka.

Kenapa kamu tidak mendengarkan?! Suara yang sama seperti orang yang meneriakiku mendekat kepadaku yang didudukkan di seberang tempat kejadian perkara.

“Surat….“ Aku mendengar betapa lemahnya suaraku sendiri.

”Percayalah kepada kami untuk menyelamatkannya.“

”Kurasa harus aku yang melakukannya.“

”Memangnya kenapa?” celoteh seorang pemadam lainnya di sana.

“Apakah Anda tidak mengerti perasaan yang dicurahkan dalam setiap kalimat yang ditulis?” tanyaku kesal.

Kekesalanku membuat karung itu terbalik dan tanpa sengaja salah satu surat keluar. Aku mengambilnya dengan niat untuk menaruh kembali, sampai menyadari setelah melihat nama di seragam pemadam yang menasihati.

“Ini untuk Anda.” Tangan kananku menyerahkan surat itu dan beliau menyambutnya. Aku memberi isyarat agar beliau duduk di sampingku. “Siapa tahu Anda ingin membacanya sekarang.”

Beliau berkenan untuk duduk mengingat api sudah mulai dikuasai, nyala yang perlahan mulai padam dan hanya mengeluarkan asap putih.

Beliau melepas sarung tangan untuk membuka amplop itu dan mengeluarkan kertas dari dalamnya. Ekspresi beliau berubah saat mulai membaca isinya.

“Itu dari keluarga Anda?” tanyaku.

”Dari anak saya. Tulisannya memang tidak begitu rapi, sebagaimana anak lain seumurannya, tapi aku sangat senang membacanya.“

”Kami sudah terpisah sekian lama karena banyak hal dan salah satunya bekerja. Berbeda dengan anggota lain yang suka rela, aku ditempatkan di sini sehingga harus menerima.”

Aku menatap kepada yang pemadam penceloteh sebelumnya. ”Dapatkah Anda memahami ini sekarang?“

”Bisakah Anda membayangkan, andai surat tersebut terbakar? Pesan yang ingin disampaikan bisa gagal. Aku ingin menjamin sampainya pesan itu.“

”Maafkan aku,“ ucap yang berceloteh sebelumnya.

”Terima kasih,“ ucap yang menasihatiku.

”Omong-omong, siapa namamu?“

Mendengar pertanyaan itu, aku tersadar kemudian mencari sesuatu yang seharusnya berada bersamaku.

”Kartu identitas!“

Tidak lama setelahnya, anggota pemadam kebakaran yang memasuki kantor mendekatiku. ”Kami menemukannya dan merasa ini penting. Sayangnya, sebagian dari kartu ini sudah terbakar.“ Mereka menyerahkan kepadaku apa yang kucari.

”Namaku. Aku tidak tahu.”


“Aku tidak yakin itu hanya mimpi. Bukankah itu perpindahanku pertama kali sebelum bekerja di tempat kedua dan sekarang di sini?”

Aku terbangun di malam hari, mengetahuinya dari jendela yang masih terbuka untuk menatap langit cerah diterangi bulan purnama dan dihiasi bintang-bintang penuh rupa. Aku menuju luar kantor untuk menatap ke atas, dengan menjadikan kedua tanganku sebagai topangan bagi punggung.

Aku mengajak sang merpati putih agar dapat menemaniku, sambil mengenal lingkungan baru. Aku kemudian melihat sebuah tempat yang tidak jauh dari kantor baruku. Berdirilah sebuah bangunan yang cukup besar. “Panggung?” tanyaku heran.

“Jadi, Merpati, apakah engkau pernah ke tempat ini?” Ia menjawabnya dengan ciak, membenarkan pertanyaanku melalui isyarat. “Pernah rupanya. Aku terlalu baru untuk mengenal tempat ini. Tapi, Merpati, bisakah kita menggunakannya untuk menyanyi bersama?”

Komentar