arrow_back

Sang Penyampai Pesan

arrow_forward

Gemerisik kertas terdengar di kala tangan kananku mencoret segaris tulisan di atasnya. Meski sebagai pekerja, aku menggunakan kesempatan ini untuk juga menyampaikan pesan kepada orang yang kusayang. Dengan sebuah amplop baru, aku masukkan surat yang telah selesai kutulis ke dalamnya. Menutupnya dengan rapi, aku menaruhnya ke dalam tas kecil yang kujadikan selempang.

Keluar dari kantor, aku menatap langit cerah hari ini. “Pagi yang indah,” aku berujar. Aku berlari kecil kemudian mengembangkan sayapku untuk terbang di angkasa. Surat-surat yang harus diantarkan, meski ke ujung dunia.

Perjalanan yang panjang tidak seberapa dengan menyaksikan ekspresi para penerima. Aku turun sebelum rumah penyambut pertama, dengan pelan mendaratkan kaki di jalanan dan menutup sayap dari kejauhan.

Tok tok. “Surat!” Aku ketuk pintu sambil berteriak memanggil.

Tidak lama setelahnya, terbukalah pintu dan keluar seorang anak laki-laki dengan ibunya di belakangnya tersenyum menyambut. Aku memandang sang ibu kemudian si anak yang begitu semangat mengulurkan kedua tangannya sambil menghentakkan kedua kakinya, berlari di tempat.

“Ini untukmu,” ucapku dengan nada lembut. Aku menyerahkan surat yang telah kukeluarkan dari dalam tas kecilku sebelumnya itu kepada sang anak.

Dia menyambutnya dengan gembira dan langsung berpaling tapi ibunya menghalangi dengan tangan. “Eits, ucapkan apa?” Dia menggunakan kedua tangannya untuk membalik hadapan sang anak agar menatapku.

“Terima kasih.” Dia berucap secara perlahan selayaknya baru mempelajari kalimat itu sambil memandangku.

“Sama-sama.” Kubalas dengan senyuman.

Setelahnya, sang ibu menurunkan tangannya dan tidak lagi menghalangi jalan, mempersilakan si anak untuk masuk kembali ke dalam rumah. Aku menunduk pelan, meminta untuk berpamitan. Dia membalas dengan anggukan, aku pun berpaling perlahan. Pintu kembali ditutup, aku memastikan.

Aku melangkahkan kaki dengan cepat seraya menjauh untuk lepas landas menuju tempat berikutnya. Sayap yang kembali terbang membawaku untuk mewujudkan mimpi mereka, mendapatkan surat dari orang tercinta. Begitulah keseharian, pekerjaan, aku melakukannya dalam rasa senang.

Senang lagi bahagia karena pesan telah tersampaikan kepada penerima. Entah berapa lama mereka menunggu, setidaknya aku sudah memberi rasa lega. Aku tidak menyangka juga sebelumnya akan bergulat dengan pekerjaan ini.


Surat terakhir untuk hari ini. Sang lembayung telah memberi warna jingga kemerahan kepada langit senja. Aku berusaha untuk tetap tegap meski cukup lelah setelah hampir seharian penuh bekerja.

Layaknya sebelum ini, aku turun dari jauh di jalanan yang sepi. Hanya saja, sebelum turun aku hanya melihat sang penerima dari kejauhan. Dia masuk ke rumahnya tapi aku terlalu malu dan segan untuk mengejar, tidak berkenan langkah kakiku terdengar.

“Apakah engkau sudah menunggu untuk kedatanganku?” Andai aku bisa mengucapkannya langsung di hadapan dirinya. Sebuah keinginan sekaligus harapan yang susah untuk kuwujudkan menjadi kenyataan.

Dengan kedua kaki yang menyentuh daratan, aku mendekati rumahnya yang baru saja pintunya ditutup. Rasa malu yang masih kuat membuatku begitu susah untuk mengetuk.

Dirinya berbeda, dari siapapun juga. Di depan rumah, masih ada sebuah kotak di atas tongkat, tempat pos biasanya diletakkan. Aku memutuskan untuk memasukkan surat yang kutulis di awal hari tadi ke dalam sana juga.

Saat pintu kotak terbuka, aku sempat terkejut akan adanya sebuah kado kecil di dalamnya. Detak jantungku terasa berbeda, dia berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Tanganku gemetar saat mencoba memasukkan surat punyaku. “Mungkin kado itu dari keluarganya, dan tanganku yang gemetar hanya karena aku hanya lelah.” Aku mencoba berpikir positif.

Aku menutup kotak pos kembali perlahan, kemudian menjauh untuk meninggalkannya. Perasaan yang campur aduk menyelimuti hati seraya kembali melayang di angkasa.

Dalam perjalanan pulang, aku menemui seekor merpati putih yang terbang seakan berdampingan denganku. Aku memandangnya, namun ia fokus dalam perjalanannya.

Aku singgah sebelum kantorku dengan turun untuk melangkahkan kaki perlahan, dan merpati yang terbang bersamaku turun setelahku. Aku mengulurkan jari telunjuk kananku dan ia berkenan untuk hinggap. Hanya dari memandangnya, aku merasakan dia bernasib sama, terbang jauh dan akhirnya istirahat.

“Apakah engkau berkenan untuk menjadi temanku?” tanyaku sambil mengelus kepalanya dengan telunjuk kiriku.

Ia menyahut dengan ciak yang begitu semangat. Sayapnya terus mengepak seraya terus melompat dengan pelan. Tingkah lakunya membuatku tersenyum, mengingatkan penerima pertamaku pada hari ini yang membuatku menghela napas sejenak untuk menatap langit yang semakin gelap.

“Aku pernah mendengar bahwa burung merpati adalah penggambaran malaikat, dan mereka adalah makhluk yang setia. Aku berharap, jawabanmu barusan menjadi pertanda agar kita dapat menjadi teman sampai habis usia.”

Aku menaruhnya di pundak kananku seraya masuk ke dalam kantor untuk mencatat kehadiran, sebagai pemberitahuan kepada atasan. Untuk sementara, aku meletakkan sang burung merpati putih di atas mejaku.

“Kuharap kau dapat tenang di sini sebentar, karena aku akan mencari tempat tinggal yang pantas untukmu. Kumohon kamu tidak menggangu pekerjaanku, terutama mengambil penaku,” ucapku sambil menunjuk benda yang kumaksud. Aku mengangguk pelan kemudian mencari ke seluruh ruangan, namun ke gudang untuk mencari benda yang kuinginkan.

Aku berhasil menemukannya. Sebuah kandang kecil berwarna putih yang sedikit usang, dengan cat terkelupas. Isinya masih lengkap dengan batang kayu kecil yang berada di tengah kandang seakan tempat untuk bergantung maupun hinggap, juga tempat untuk makan dan minum. Aku membersihkannya perlahan sambil membawanya ke meja kerja.

Sang burung merpati putih diam menatapku, ia seolah sungguh menungguku. Aku tersenyum melihatnya, sebelum memperlihatkan sangkar itu kepadanya. Aku melihat ruang kerjaku untuk mencari tempat untuk menggantungnya.

“Huft, tidak ada.” Sampai aku menemukan sebuah meja kecil di samping kursiku. Ukurannya mencukupi dengan diameter alas sangkar sehingga aku langsung berjalan ke sana.

Sangkar pun kuletakkan di atas meja kecil itu. Dengan pintu sangkar yang kubuka, aku mengulurkan tangan agar dia mau naik ke jari telunjuk kananku lagi. Rupanya dia berkenan untuk ikut dan aku mengarahkannya ke dalam sangkar.

Dia langsung bertengger di atas batang kayu yang terlihat cukup rapuh. “Mungkin aku akan menggantinya lain kali. Aku harap itu bertahan, setidaknya untuk malam ini.”

Tidak menunggu waktu lama, ia memejamkan mata pertanda memulai istirahatnya. Aku berjalan menjauh untuk menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya.

“Malam begitu cepat tiba.“ Aku memandang langit melalui jendela kaca sambil menyentuhnya untuk melihat ke luar. ”Aku akan beristirahat di sini saja.“ Aku menutup tirai dari jendela.

Aku duduk di kursiku kemudian bersandar seraya mendongak sejenak. Aku menaruh kedua lenganku di atas meja secara menyilang setelah merapikan semua benda ke tempat yang lebih aman, kemudian meletakkan kepalaku di atasnya untuk menjadikannya sebagai bantalan. Aku memejamkan mataku secara perlahan.

Komentar