arrow_back

The Last Codes

arrow_forward

“Pak Surya!” Segerombolan masa meneriaki namanya dan beberapa di antara mereka mengetuk pintu rumah dengan keras. Pria berusia empat puluhan tahun, sang penghuni rumah baru saja akan menyuap nasi yang sudah berada di genggaman tangan kanannya.

“Datangi saja,” ucap seorang wanita sebaya yang juga menghentikan gerak tangan di depan muka, bernama Nia sambil menatap suaminya.

Surya menyempatkan untuk mencelup tangan ke wadah air dan menyapunya di serbet sebelum berdiri untuk membukakan pintu. “Ada apa?” Dia bertanya seraya terkejut melihat keadaan yang semakin memanas.

“Mbah Slamet….” Suara gemetar terdengar dari lisan Ibunya Wira, mewakili seluruhnya yang berada di sana.

“Kenapa?” Surya masih bingung dari tadi dan terus bertambah seiring waktu.

“Ikut saja dengan kami.” Ibu Wira kembali mewakili.

Surya pun bergerak menuju rumah nomor 70, dengan jarak lima buah rumah darinya. Setibanya di sana, aroma busuk menyengat semerbak terbang ke luar ruangan dan menusuk hidung para penciumnya. Surya, sebagai pemimpin memberanikan membuka pintu sepenuhnya karena tadinya hanya terbuka kecil.

Mereka memasuki rumah itu secara perlahan, sampai terungkaplah akan adanya sesosok mayat pria tua. Genangan darah yang terlihat mengering seakan menjadi alas bagi mayat tersebut. Warga yang sudah melihat mayat itu sebelumnya masih ketakutan sehingga beberapa dari mereka ada yang pulang.

“Kakek kenapa?” tanya gadis kecil bernama Utami polos. Nampaknya dia begitu penasaran dan berhasil maju ke depan dengan menyelip di tengah kerumunan orang. Wira, ayahnya Utami yang masih berada di sana, di barisan paling depan, agak terkejut ketika melihat anaknya berada di tempat itu sehingga turut memutuskan untuk pulang juga seraya membawa Utami pergi menjauh.

Surya begitu memperhatikan rumah itu dengan penuh rasa bersalah, sebagai ketua RT yang gagal menjaga warganya sehingga terjadi kejadian yang tidak mengenakkan seperti sekarang. Dia memulai dengan menatap pintu dengan tajam, dan menyadari bahwa adanya tanda pembobolan.

“Terima kasih telah melaporkan ini kepada saya. Nanti, saya akan menghubungi pihak berwenang untuk menyelesaikan masalah ini. Dimohon untuk tenang dan tidak terlalu panik. Silakan pulang, jika kalian punya urusan sementara saya memikirkan cara untuk mengurus beliau.”

Para warga akhirnya membubarkan diri dari teras rumah Slamet. Berkat suasana yang semakin sunyi, Surya memutuskan untuk melihat-lihat terlebih dahulu ke dalam rumah Slamet karena sebenarnya, Surya tidak begitu mengenal Slamet.

Setibanya di dapur, Surya melihat kayu bakar menumpuk di sana dan beberapa dari mereka telah hangus dalam tungku. Ada juga sebuah bola yang terbuat dari plastik, agak kempes dan terlihat baru beberapa lama dibersihkan dari tanah becek yang ditandai bekasnya yang kering. Selain dari itu, tidak ada yang menarik perhatian Surya sehingga dia memutuskan untuk keluar dari rumah Slamet dan kembali ke rumahnya.

Di rumah, Nia bertanya kepada Surya, “Apa yang terjadi?”

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Surya bergegas untuk mencari ponselnya dan menekan tiga angka di papan tombol kemudian memanggilnya. “Telah ditemukan mayat di rumah nomor 70 RT 04 RW 01 Desa Sukaramah.” Padat dan jelas, informasi telah disampaikan oleh Surya kepada pihak berwenang sesuai saran dari para warga.

“Itu rumah Pak Slamet kan?” Kali ini pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan seiring Surya kembali duduk untuk melanjutkan sarapannya. Nia terdiam sejenak. “Padahal beliau baik banget.” Surya hanya memandangi makanannya dan memutuskan untuk tidak memakannya dengan alasan nafsu telah hilang.

Karena itu, Surya kembali ke luar rumah dan berjalan menuju pos ronda. Di sana, di pagi hari itu, masih terdapat empat orang yang diduga terus memainkan dan menghempaskan kartu domino ke lantai dari malam tadi. “Oh, jadi ini yang kalian lakukan?” Surya tentu saja marah dan kejutan darinya membuat orang-orang di sana gelabakan.

“Kalian sudah tahu kabar?” tanya Surya dengan marahnya. Tidak ada jawaban dari mereka. “Tuh kan!”

“Sekarang, kalian tinggalkan tempat ini dan bantu aku, atau kalian juga akan kulaporkan ke polisi karena perjudian.” Mereka pucat mendengar kata itu dan bergegas untuk mengikuti Surya.

Surya membawa mereka ke rumah Slamet dan mereka memang terkejut melihat jasadnya. Surya memberi tugas kepada mereka berupa pengurusan jenazah sehingga Slamet dimakamkan pada hari itu pula. Hanya satu orang yang meninggal, tapi itu sudah membuat suasana berubah di RT 04 Desa Sukaramah.


Kabar itu, disebarkan oleh Nia dalam arisannya. Dia membicarakan sambil tangan kanannya mengambil cemilan dalam stoples yang terbuka. “Kalian udah denger Mbah Slamet?”

Yang lain melakukan hal sama, hanya mengangguk sebagai jawaban. “Beliau punya anak gak sih?”

“Gak.”

“Terus selama ini dia sendirian?”

“Iya.” Nia terdiam mendengar informasi itu.


Kabar itu terus tersebar, sampai ke SD Sukaramah dan menjadi pembicaraan hangat baik itu di antara para guru bahkan siswa. Mereka membicarakan Slamet dan menamainya sebagai ‘Kakek’ sebelum membahas pengalaman mereka dengannya.

“Kakek itu beneran baik.” Utami berbicara dengan polosnya.

“Baik apanya?” sahut bocah lelaki yang mendengar dengan nada kesal. “Dia udah ngambil bola kami.”

“Itu salah kalian. Bukannya minta maaf malah kabur. Ya wajar kalau beliau nyimpan. Siapa tau bakal dibalikin nanti sore.”

Rupanya sebelumnya, Utami menyaksikan kejadian itu. Para bocah lelaki sedang bermain di lapangan dekat sawah. Slamet hanya melakukan kebiasaannya, pergi ke hutan di sore hari untuk mengambil kayu kering yang akan dibakar dalam tungku apinya nanti.

Hanya saja, hari itu kejadian yang tidak mengenakkan terjadi. Slamet sedang memanggul kayu, pulang. Tanpa diduga, sebuah bola menghantam kepalanya. Membuatnya goyah sampai tumpukan kayu terlepas dari panggulannya. Dia memandang ke arah sumber bola itu ditendang. Para bocah lelaki yang tadi bermain berhamburan kabur.

“Maafkan mereka.” Utami menyaksikan keduanya dari kejauhan, berlari pelan menuju Slamet yang kembali mengumpulkan kayu yang beberapa dari mereka terkena becek. Slamet hanya tersenyum.

“Mereka sebenarnya main setiap sore bukan?” Utami menjawabnya dengan anggukan. “Kakek akan membawa bola ini dan membersihkannya. Besok sore, kakek akan ke sini lebih awal untuk mengembalikannya kepada mereka.”

“Kamu yang hanya melihatnya, juga bersenang-senang. Seperti itu juga aku.”


“Dulu, penjajah sampai ke kampung kita. Mereka masuk melalui sini.” Utami hanya bisa mengingat ucapan Slamet ketika dia sedang berjalan sendiri di sore hari di pelabuhan. Dia awalnya berencana bermain untuk melupakan yang terjadi, tapi malah kesedihan yang bertambah ditambah suasana berupa angin sepoi-sepoi.

Dia terus berjalan di pelabuhan dan melihat sesuatu yang buruk sehingga berteriak begitu keras. Teriakan itu memanggil semua warga yang tinggal di dekat pelabuhan, keluar dari rumahnya dengan gelabakan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di pelabuhan itu, mereka menemukan sesosok jasad tergantung di gantungan daging yang besarnya seperti jangkar.

“Pak Surya?”

Komentar