arrow_back

The Last Codes

arrow_forward

Semua orang telah berkumpul di ruang rapat. Bima memandang ke sekitar kemudian mengangguk kecil. “Selamat pagi, semuanya.” Bima mengharapkan sahutan dengan memberi jeda sejenak, tapi nyatanya tidak ada.

“Terima kasih telah berhadir dalam rapat pada hari ini.” Bima berusaha tersenyum. “Dalam rapat kali ini, kita akan membahas pengembangan pekerjaan kita.”

Bima mulai berdiri. “Selama ini, kita PT Lentera telah mengedepankan program berita melebihi program lain. Perlu kita sadari juga, tidak semua orang memiliki televisi.”

“Sehingga, apa pendapat kalian jika kita membuka cabang koran atau surat kabar?” Bima kembali memandang para hadirin.

“Itu adalah saran yang bagus, Direktur.” Bima merasa senang karena pada akhirnya ada yang menyahut. “Bagus, karena aku juga sudah lama memikirkan ini.”

“Atas pendapat kalian, PT Lentera sebelumnya telah memiliki percetakan dan mereka akan membantu kita dalam menerbitkan koran. Perwakilan dari mereka telah berhadir di sini.” Bima memandang ke para hadirin dan salah satu dari mereka mengacungkan tangan.

“Apakah kalian sanggup?” tanya Bima sambil menunjuk. Mereka hanya diam sambil mengangguk.

Bima kembali duduk. “Kapan kira-kira kalian bisa mempublikasikannya?”

“Senin di pekan pertama bulan depan.” Mereka menyahut dengan percaya diri.

“Aku akan menjadi orang pertama yang berlangganan. Kalian tahu di mana rumahku bukan?” Mereka mengangguk. “Kalian bisa mengantarkannya ke sana.” Bima memandang peserta lain dan mendapat tepuk tangan kecil.

“Pembahasan pertama berakhir. Lanjut ke pembahasan selanjutnya, evaluasi bulanan.” Bima merapikan dokumen di meja. “Sebagaimana biasa, kita akan melakukan evaluasi tiap bulannya untuk melihat bagaimana perkembangan program yang ditayangkan. Jika menurutku berjalan dengan baik, maka tetap diteruskan dan tidak akan dibahas. Jika tidak, kita akan membahasnya dan aku berharap terutama kepada produser—atau pembawa acara jika mereka tidak ada—untuk memberikan pembelaan agar acaranya tetap bertahan.”

“Program pertama, kita mulai dari Polisi versus Maling.” Bima membuka dokumen teratas sambil memandang para hadirin. “Mereka tidak berhadir di sini?” tanya Bima. Mereka hanya diam dan menggeleng.

“Rupanya mereka memang memintanya.” Bima menyeringai. “Sebelumnya, memang sudah ada hal yang ingin kusampaikan dengan acara ini.” Bima menghela napas sejenak.

“Berdasar berbagai pertimbangan, terutama karena acara ini memakan banyak hal apalagi pada episode terakhir. Dengan berat hati, aku harus menyatakan bahwa acara Polisi versus Maling harus dibatalkan.”

“Jangan bersedih sekarang, kita masih punya harapan. Itu adalah program selanjutnya yang akan dibahas, Investigasi Malam.” Bima membuka sebuah berkas dan kembali memandang para hadirin tapi tidak ada yang menyahut.

Bima memeriksa daftar hadir, yang juga ada di depannya. “Alan dan Wijaya.” Bima melihat ada yang menengoknya setelah memanggil kedua nama itu dan dapat langsung menebak bahwa itu adalah mereka.

“Kalian bersama telah bekerja dengan bagus.” Bima berusaha memimpin tepuk tangan dan itu berhasil. Ruangan dipenuhi suara tepukan tangan untuk beberapa saat. “Aku akan menyarankan tempat baru. Ini akan rahasia untuk para penonton, jadi aku akan mengirimkan alamatnya melalui surel.”

Seperti itulah rapat terus berjalan sampai di akhir. “Demikianlah rapat kita pada hari ini. Sekali lagi, terima kasih telah berhadir.” Bima kembali memandang ke sekitar dan mengangguk kecil.

“CUT!”

Bima bertepuk tangan puas. “Berbeda dari biasanya, rapat pada hari ini disiarkan langsung. Tapi ternyata, akting kalian lebih luar biasa dari yang kubayangkan.” Bima menatapi kru kameramen yang mulai merapikan peralatan mereka dan keluar dari ruang rapat bersama para hadirin seolah sebagai ucapan perpisahan bagi mereka.

Bima melihat ada yang masih menetap dan mereka mulai mendekatinya. Itu adalah Alan bersama Wijaya. “Apa maksud Anda tempat baru?”

Bima mulai menjelaskan suatu alamat. Melihat pandangan Wijaya, Bima mengetahui dia berusaha mengingatnya. “Itu untuk syuting selanjutnya. Kalian bisa pergi ke sana malam ini?” Bima hanya memandangi mereka dengan diam. Mereka saling menatap satu sama lain.

“B-baiklah,” sahut Alan.

“Bagus!” ucapmu secara mengejutkan. “Tapi tetap, untuk formalitas, kalian harus membuat laporan dan dikirim ke surelku.” Alan mengangguk pelan.

“Silakan persiapkan diri kalian. Silakan pergi dan selamat bertugas.” Mereka pun keluar.

Setelah semuanya pergi, Bima bergerak menuju kantormu dan bekerja di sana untuk memantau semua pekerjaan sampai malam hari.

Bima memutuskan untuk pulang lebih dahulu hari ini dan berkunjung ke rumah lamamu. Selama perjalanan, Bima hanya berusaha membersihkan tenggorokanmu dengan berdeham sekian kali dan mengakibatkan suaramu lebih parau dari biasanya.

Tapi tetap saja, itu adalah malam yang sudah jauh larutnya dan Bima memarkir mobilnya jauh di pinggir jalan untuk memasuki jalan setapak yang hanya bisa dilalui satu mobil. “Aku tidak mau mobilku becek,” pikirnya. Sebelum turun dari mobil, Bima mengenakan masker untuk menutupi hidung dan mulut juga memakai jaket yang lebih tebal di malam yang cukup dingin itu.

Setelah turun, Bima berjalan hati-hati sambil menyalakan senter yang tadinya tersimpan di bagasi mobil. Bima terus berjalan dan keheranan akan adanya cahaya terang dari lampu mobil yang berada di sana. Bima berdiri tepat di tengah jalan dan membuat mereka berhenti.

“Kenapa kalian berada di sini?” Bima mendekati mereka dengan sangat menyadari betapa paraunya suaramu. Dari cahaya dalam mobil, Bima bisa melihat ada dua orang di dalam sana, mereka saling memandang.

“Kami baru saja menyelesaikan syuting,” jawab orang yang duduk di kursi penumpang.

“Syuting? Tidakkah itu pilihan yang sangat bodoh? Tempat ini sangat terpencil.”

“Tapi begitulah direktur kami,” sahutnya lagi. Bima mengangguk seolah memahami mereka.

“Oh ya, jalan di depan baru saja ditutup. Kalian bisa memutar balik dan lurus saja ke sana.” Tangan Bima menunjuk sebagai isyarat untuk memperjelas. Mereka langsung percaya padanya dan benar-benar memutar mobil mereka.

“Tunggu sebentar.” Mereka sudah menyalakan mesin tapi belum melaju. “Kalian menyebut direktur kalian sebelumnya. Siapa memangnya?” Tidak ada yang menyahut dari mereka.

“Kalian tidak tahu namanya?” Bima mulai tidak percaya dengan mereka. “Buktikan bahwa kalian baru saja syuting.”

Salah satu dari mereka berbisik kepada lainnya. Jendela mobil dibuka dan sebuah kamera diserahkan.

Saat mereka melihat Bima, Bima melihat mata mereka membelalak dan entah kenapa mereka berteriak tiba-tiba. Tangan Bima belum menyambut kamera sehingga itu terlempar keras dan tanpa sengaja mengenai kakinya. Bima melihat kamera itu hancur akibat hempasan kuat.

Bima berpaling untuk melihat ke belakang dan tidak ada siapapun di sana. Pandangannya kembali ke mereka yang malah tancap gas. Mobil itu melaju di tanah yang agak becek. Bima sangat ingin berteriak tapi paraunya suara tidak begitu membantu. Tidak lama kemudian terdengar suara jatuh yang keras.

Bergidik karena mendengar itu, Bima memutuskan untuk membatalkan niatnya mengunjungi rumah lama dan kembali ke mobil dan pulang menuju rumah yang sekarang.


“Hari ini adalah hari Minggu, tapi rasanya hampir tidak ada kata libur untuk pertelevisian!” Bima berseru memandang kalender dengan semangat dan mencoret hari itu dengan spidol merah seakan siap menghadapi hari seiring mempersiapkan diri untuk pergi ke kantor. Terhitung sebulan lebih sejak rapat bulan lalu.

Bima menaiki mobil sedan hitam miliknya dan mulai berkendara menuju Gedung Lentera. Setibanya di sana setelah memarkir mobil, Bima memasuki gedung. “Selamat pagi, Direktur.” Bima disapa oleh satpam sambil memberi hormat setelah membuka pintu.

“Selamat pagi, Aksa,” sahutnya dengan anggukan kecil setelah sekilas memandang tanda pengenal yang dia gantungkan di leher sambil terus berjalan.

Bima mulai menuju lift dan singgah di lantai dua. Bima memasuki ruangan para editor dan menyapa mereka, “Selamat pagi, semuanya.”

“Pagi, Direktur,” sahut mereka serentak sambil memandang Bima dan memalingkan tubuh bersama kursi untuk menghadapnya.

Bima melihat isi ruangan cukup lama dan menyadari ada kekosongan di sana. “Siapa yang seharusnya berada di bangku kosong itu?”

“Alan dan Wijaya.”

“Di mana mereka?” Mereka hanya diam. “Tidak ada dari kalian yang tahu?”

“Tunggu, ini sangat aneh.” Bima memandang ke luar sejenak. “Terakhir kali mereka lapor padaku untuk melakukan Investigasi Malam tapi tidak pernah kembali.” Suasana ruangan menjadi tiada pembicaraan. “Aku akan menemui mereka di sana.”

Bima mengurungkan niatnya menuju kantor dan kembali ke parkir. “Ada apa, Direktur? Kenapa Anda kembali?”

“Ada yang harus kulakukan, Aksa.” Bima menatapnya dan melihat wajahnya agak ketakutan.

Bima bergegas masuk ke mobil. Di dalamnya, Bima membuka ponsel cukup lama dan meletakkannya di dasbor. Sebuah alamat menjadi tujuan dan Bima menggunakan GPS agar mempermudah perjalanan.

Perjalanan berlangsung cukup lama, Bima menuju sebuah tempat yang begitu jauh dari peradaban dan terlihat terpencil. Sesampainya di sana, Bima melihat sebuah kamera tangan tergeletak di tengah jalan. Keadaannya cukup hancur, tapi rangkanya masih baru.

Bima turun dari mobil dan memeriksa kamera itu. Bima melihat isinya dan mengetahui bahwa itu adalah milik Wijaya. Bima mulai merasa keheranan, karena tidak terlihat adanya tanda-tanda mereka selain jejak ban mobil yang bukan miliknya.

Bima membersihkan kamera itu dan memasukkannya ke dalam tas jinjing sebelum meletakkannya lebih dahulu ke dalam mobilmu dan mulai berjalan menelusuri jalan. Alih-alih melihat Alan dan Wijaya, Bima menemukan mobil van dengan logo yang Bima kenal.

“TV Kampungan? Apa yang kalian lakukan di sini?”

“Berhentilah menyebut kami TV Kampungan. Apakah Anda tidak bisa membaca tulisan di mobil kami? K-A-M-P-O-E-N-G. Kampung! Bukan Kampungan.”

“Kalian tidak menjawab pertanyaanku.”

Mereka terlihat begitu kesal tapi menahan kemarahan dengan menghela napas sejenak. “Kami mencurigai jejak mobil di sini. Ketika diselidiki, kami menemukan sesuatu.” Kalian bersama-sama bergerak menuju jurang dan menemui sebuah mobil terjatuh di dalam sana dengan keadaan yang sangat buruk. Kedua penumpang mobil itu bahkan keluar dari mobil.

Tapi Bima mengingat sesuatu, dan mengenal seseorang dari kedua penumpang. Bima melihat dia mengenakan pakaian yang sama dengan yang Bima lihat di video tersimpan di kamera Wijaya sebelumnya. “Alan?” gumamnya.

“Kami menemukan itu barusan dan sudah menghubungi polisi. Mereka mungkin akan datang segera.” Mereka berpaling. “Tugas kami telah selesai di sini. Ayo pulang teman-teman.” Beberapa kru kamera mengiringi dan turut memasuki van.

Bima mengeluarkan ponsel dari sakunya dan membuka kamera untuk membuat rekaman yang mengambil gambar mobil yang berada di dalam jurang itu. Setelah cukup puas, Bima kembali ke mobilnya yang berada cukup jauh dari sana. Saat berjalan, Bima menyempatkan mengirim video itu kepada Cabang Berita melalui surel dan menulis isinya. “Alan dan Wijaya telah ditemukan. Jadikan ini sebagai berita.”

Setelah memastikan surel itu terkirim, Bima memasuki mobil dan berkendara kembali ke kantor secara mengebut sehingga tiba dengan cepat. Bima bergegas menuju Seksi Berita untuk menanyakan kelanjutan informasi yang dia kirim.

“Kalian sudah menayangkan video yang kukirim?” Tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

“Belum?” Bima hampir tidak bisa berkata-kata. “Kenapa?! Kalian tidak bisa membuat naskahnya? Digunakan ke mana selama ini pelajaran kalian?”

“Saluran TV sebelah akan mengambilnya!” Bima membuka ponsel dan mengakses TV daring. Bima kemudian menunjukkan video dari Kampoeng TV yang menayangkan berita penemuan mayat itu.

“Lihat?! Saluran Kampungan itu lebih dulu mengabarkannya! Mereka bahkan memasukkannya ke dalam program berita pagi.” Bima begitu kesal sampai membanting ponselnya ke lantai dengan cukup keras sampai membuat layar mati kemudian menendangnya.

Bima melihat seseorang perempuan yang berpakaian rapi ada di sana. “Hei, Bima.” Bima memanggilnya dan dia pun memandang. “Siapa namamu?”

“Rika,” jawabnya.

“Bawakan berita ini.” Bima memberikan perintah.

“Tapi saya bukan presenter.” Bima menganggap dia mencoba menghindar.

“Aku tidak mau tahu!” Bima menaikkan nada bicaranya dan membuatnya terkejut. “Produser di sini sudah tahu caranya, cari tahu sendiri dan yang paling penting siarkan berita ini segera!” Bima meluapkan kemarahannya sejadi-jadinya.

Rika mulai gemetar. “Izinkan saya menonton videonya sebentar.”

“Aku akan memperhatikan.” Bima benar-benar mengawasi dari belakang layar. Berdiri memandangi Rika dengan tangan dilipat di depan dada.

“Acara akan dimulai dalam tiga, dua, satu.” Produser memberi arahan.

“Sesaat lagi, Anda akan menyaksikan Berita Hangat dan Singkat.” Narasi berupa rekaman diputar.

“Selamat sore, pemirsa.” Rika menyapa. “Kami baru saja mendapatkan informasi dari reporter di lapangan. Rekan kami, A dan W ditemukan tewas mengenaskan di dalam jurang.” Dia terus menyampaikan kabar sampai akhir.

Setelahnya, Bima menyuruhnya mendekat. “Rika, Bima boleh pulang sekarang. Tapi besok, datanglah lebih awal. Lebih baik Bima sekalian yang membawakan Lentera Pagi.” Dia terlihat begitu senang dan bergegas pulang sehingga membuat Bima hanya bisa tersenyum.

Bima mulai bergerak lagi sampai akhirnya tiba di lantai dua dan kembali memasuki ruangan para editor.

“Kalian mendapatkan informasi itu bukan?” Tidak ada yang menyahut pertanyaannya. “Aku anggap itu ya, karena aku menemukan kamera Wijaya yang keadaannya cukup buruk.” Mereka cukup terkejut mendengar itu.

“Aku harap kalian bisa mengambil dan menyunting rekaman di dalamnya.” Bima membuka tas yang Bima jinjing dari tadi dan mengeluarkan sebuah kamera tangan yang keadaannya sudah cukup buruk. “Adapun mereka, sayangnya aku tidak menemukan mereka di dekat situ.”

“Tapi, bukannya lebih terhormat jika kita tidak menayangkan ini?” Salah seorang dari mereka menyahut. Bima tertawa.

“Bima tidak ingin digaji?” Dia terdiam, ketakutan. Bima kemudian tersenyum kecil sebentar.

“Selamat bekerja, teman-teman. Semoga berhasil.” Bima menutup pintunya dengan cukup keras dari luar.

Bima berpapasan dengan staf yang sedang berjalan dan Bima menghentikannya karena merasa malas untuk pergi ke ruangannya untuk mengambil radio dan hanya meminjam miliknya sebentar. Dengannya, Bima memanggil para produser untuk segera menuju ruang rapat untuk membicarakan beberapa hal.

Bima tiba di ruang rapat lebih dulu sambil menunggu. Setelah Bima menganggap seluruh produser telah berhadir, Bima memulai pembahasan saat itu. “Sebagaimana yang kita ketahui bersama, kita telah kehilangan dua rekan kita, Alan dan Wijaya.” Yang lain hanya menunduk diam.

“Aku turut berduka cita. Tapi karena kita berbasis bisnis, ada hal yang ingin kutanyakan.” Bima mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius.

“Di sini sudah ada produser Berita Hangat dan Singkat?” Salah satu dari yang berhadir mengangkat tangan.

“Aku ingin bertanya dengan program berita lainnya, apakah kalian menerima surelku juga?” Bima memandang sekeliling. Ada beberapa yang menatapmu sebentar kemudian mengangguk pelan.

“Kenapa kalian tidak langsung menyiarkannya?!” Bima sangat marah atas hal itu.

“Tapi, kami harus konfirmasi dulu, paling tidak mencari narasumber lain?”

“Berarti Bima tidak percaya dengan direktur kalian sendiri?” Bima begitu kesal, tapi mereka juga tidak memberi jawaban. “Rapat hari ini selesai. Adapun rapat bulanan yang biasanya kita adakan, yakni evaluasi program kita selama bulan yang lalu, ditunda besok saja. Kalian, silakan kembali ke tugasnya masing-masing.”

Semua mulai berdiri, sampai Bima mengucap, “Kecuali Bincang Malam.”

Seorang laki-laki kembali duduk. “Produsernya sedang tidak ada berhadir sekarang, tapi saya sebagai pembawa acaranya mewakili.”

“Bagus. Siapa namamu?” tanya Bima.

“Arbi,” sahutnya.

“Arbi, umumkan secara mendadak bahwa aku akan datang ke acaramu malam ini.”

Bima bisa melihatnya hampir tidak bisa berkata-kata. “T-tentu! Aku akan membicarakannya dengan produser.” Bima tersenyum kemudianmemberi isyarat untuk memperbolehkannya pergi.

Setelah semuanya keluar, barulah Bima dapat menuju ruanganmu di lantai sepuluh. Bima cukup kelelahan dengan hari ini sehingga memutuskan bersantai di sana sampai sore.


Ketika memandang langit dari jendela, Bima menyadari matahari mulai terbenam dan hari menjadi gelap. Lampu gedung pun dinyalakan sehingga keseluruhan ruangan menjadi terang. “Ah, benar. Nanti aku harus menghadiri Bincang Malam.” Bima masih ingat itu. “Aku akan mengatur alarm di komputer ini.”

Tapi, Bima mulai mengantuk. Tubuhnya begitu kelelahan dan tanpa sengaja tertidur. Bima pada akhirnya dibangunkan oleh alarm dengan penanda yang mengingatkannya akan acara itu.

Bima bergegas membasuh muka dan berkumur-kumur dengan air botol di atas meja kemudian memuntahkannya ke tong sampah sambil bergegas untuk turun ke lantai enam menggunakan lift dan pergi ke salah satu studio perekaman yang berada di sana. Bima lega karena tiba di sana tepat sebelum acara dimulai.

Bima memasuki studio dari belakang panggung dan menemui seseorang di sana. “Halo, Arbi.” Bima menyapanya sambil mengulurkan tangan.

“Selamat malam, Direktur,” jawab Arbi dengan suara yang agak gemetar dan menjabatmu.

Tidak berapa lama, terdengar “Acara akan dimulai dalam tiga, dua, satu.”

“Saya harus pergi.” Arbi melepas jabatan tangan itu, meninggalkan Bma. Meski bingung, pada akhirnya Bima merasa bersyukur atas adanya monitor di belakang panggung sehingga Bima bisa menyaksikan hasilnya secara langsung.

House band mulai memainkan musik pembuka. Seorang narator mengumumkan kepada seluruh pemirsa. “Disiarkan langsung dari Studio 6. Kita sambut, Arbi!”

Arbi keluar dari belakang panggung dan disambut dengan sorakan dan tepuk tangan meriah dari penonton. “Terima kasih semuanya dan selamat datang di Bincang Malam.” Sambutan semakin keras untuk beberapa saat.

“Halo, Hadinata.” Arbi menyapa sang narator yang berdiri di atas meja pidato.

“Halo, Arbi.” Hadinata menjawab ketika kamera diarahkan kepadanya.

“Bagaimana perasaanmu tentang siaran langsung ini?”

“Senang sekali. Bagaimana denganmu?”

“Luar biasa.” Nada bicara Arbi membuat penonton kembali bersorak dan tepuk tangan. Bima pun beranggapan bahwa mereka senang dengan hal ini. “Ini pertama kalinya kita menyiarkan acara ini secara langsung setelah biasanya hanya melalui perekaman.”

“Aku tahu kalian sudah mengantuk,” tawa kecil terdengar, “tapi jaga mata kalian karena kalian tidak akan mau ketinggalan acara malam ini.”

“Kita mulai.” Arbi menunjuk house band. Title card pun ditayangkan. Sorakan dan tepuk tangan terus mengiringi sampai layar televisi yang Bima tonton menampilkan Arbi yang sudah duduk di kursinya.

“Hadinata, malam ini kita kedatangan tamu istimewa.” Bima tersenyum mendengar itu.

“Benarkah, siapa dia?”

Arbi mulai berdiri. “Kita sambut bersama, Direktur PT Lentera dan Pengarah Produksi Lentera TV.”

Bima berjalan dari belakang panggung dan langsung melambai ke arah penonton. Bima hampir tidak bisa melihat mereka karena silaunya pencahayaan yang tepat mengarah ke matamu tapi Bima masih bisa mendengar sambutan mereka yang cukup meriah.

Arbi mengisyaratkan Bima agar duduk di sofa yang dikhususkan untuk tamu dan Bima pun duduk di sana. “Terima kasih telah berkenan untuk hadir di sini.” Alan kembali menjulurkan tanganmu dan kalian berjabat sebentar.

“Terima kasih kembali, Arbi.”

“Halo, Hadinata.” Bima menengok ke arahnya.

“Selamat malam, Direktur.” Hadinata menjawab sambil mengangguk pelan.

“Sebelumnya, aku merasa belum melakukan ini. Jadi, aku ingin berterima kasih kepada Anda untuk menjadikan saya pembawa acara ini.”

Bima agak terkejut dengannya. “Tidak, seharusnya aku yang berterima kasih karena karya tulismu tentang tikus itu. Dari kecil, aku sudah suka membaca itu.” Penonton tersentuh dan Arbi hanya diam.

“Bagaimana kamu bisa menulis itu?” Bima menunjukkan ekspresi penasaran.

“Saya belum pernah mengungkapkan ini sebelumnya. Ibu saya adalah peneliti. Bahan penelitiannya saya gunakan dan dia sangat mendukung.”

“Tunggu, siapa nama ibumu? Aku lupa.” Bima memegang dahi berusaha mengingat. “Ri-ya? Ri-a?” Bima memandang Arbi. “Apakah itu alasanmu memilih nama pena Er-Be.”

“Ah, ya. Cara menyebut nama ibu saya itu Ri-ya. Kalau hanya tulisan Ria sepertinya memang membingungkan.” Arbi tersenyum kecil. “Tapi apakah saya memilih nama pena karena ibu saya? Tidak. Eja Er-Be itu dengan bahasa Inggris. Ar-bi bukan? Jadi, memang itu nama saya.”

“Oh.” Para penonton menertawakan reaksimu. “Bima menjalankan acara komedi ini dengan baik rupanya.” Mereka terus tertawa.

Bima melihat Arbi mulai tidak nyaman kemudian memandang penonton di studio. “Apakah kalian menonton ESC?” Pertanyaan itu dijawab dengan sorakan. “Itu sangat seru, bukan?” Suasana semakin meriah. “Sayangnya, itu harus berakhir.” Penonton terdengar sedih dan kecewa.

“Ya, aku juga. Tapi Direktur, bagaimana Anda bisa mendapat ide itu?” Arbi menanyakannya kepadamu.

“Aku hanya melihat mereka di televisi dan orang-orang membicarakan permainan itu, tapi belum ada yang menjadikannya sungguhan. Kita bisa menjadi yang pertama di sini.” Penonton bertepuk tangan karena hal itu.

“Apakah kita akan bertemu dengan mereka lagi?” tanya Arbi lagi.

“Entah kenapa, aku berpikir mereka yang akan menemui kita.” Penonton kembali tertawa.

Pandangan Arbi mengarah ke depan dan Bima mengikutinya. Dia melihat layar prompter dan isyarat tangan produser yang mengatakan bahwa durasi segmen akan habis. “Apa? Bentar lagi iklan? Padahal baru dikit lo ngomongnya.” Bima merasa Arbi benar-benar marah.

“Sebelum segmen ini berakhir, ada yang ingin disampaikan?”

“Ya, ada dua. Baik dan buruk.”

“Wah, ada yang buruk.” Arbi agak terkejut. “Yang baik saja lebih dulu.”

“Terima kasih kepada seluruh penonton baik yang berada di sini maupun yang di rumah karena telah mendampingi kami sampai sekarang.” Bima diam setelahnya.

“Itu saja?” Terdengar tawa kecil dari arah penonton. “Aku sebenarnya agak ragu, tapi mari kita dengarkan yang buruk juga.”

“Ini lebih ke kabar duka sebenarnya.” Bima mengusap hidungnya.

“Salah satu pembawa acara kita, Alan dan kameramen yang bersamanya, Wijaya tiada.” Suasana mendadak hening. “Oleh karena itu, Investigasi Malam nanti, adalah episode terakhir. Aku berharap kalian menontonnya juga sebagai penghormatan kepada mereka.”

“Jangan sedih, apalagi ini acara komedi.” Bima sebenarnya berniat satir tapi Bima melihat ekspresi tidak nyaman di wajah Arbi semakin nampak.

“Direktur kita, semuanya.” Sorakan dan tepuk tangan dari penonton semakin meriah. “Setelah yang satu ini, kita akan kedatangan bintang tamu lainnya. Jangan ke mana-mana.”

Arbi kembali menjabat tanganmu dan mengucapkan sesuatu yang tidak begitu Bima dapat dengar saking kerasnya reaksi penonton. Bima berdiri dari sofa. Alih-alih ke belakang panggung, Bima menuju bagian staff di depan bangku penonton dan duduk bersama mereka.

“Segmen berikutnya akan dimulai dalam lima menit.”

Arbi mendekati produser. “Kenapa segmen ini sangat singkat?”

“Pengiklan memaksa iklan mereka ditayangkan lebih awal.”

“Bagaimana dengan tamu kita selanjutnya?”

“Dia belum datang.”

Arbi berpikir sejenak. “Bagaimana kalau segmen berikutnya kita mengheningkan cipta sejenak.” Dia memandangmu.

Bima masih kesal, tapi seolah mencoba profesional. “Tentu, itu terserah kepadamu. Ini acaramu, kau dan produser di sini lebih berhak mengatur.”

Setelah mereka berdiskusi, Arbi mulai bergerak menuju tangga di antara bangku penonton.

“Segmen akan dimulai dalam tiga, dua, satu.”

Bima berjalan menuju belakang panggung dan berhenti kemudian berpaling untuk melihat Arbi. Dia mulai berdiri. Cahaya ruangan di atur cukup gelap dan hanya menyorot Arbi.

“Sungguh mengejutkan, kita baru saja mendapatkan kabar duka barusan.” Nada suara Arbi Bima dengar agak gemetar. “Alan dan Wijaya adalah teman baik.” Bima hanya tersenyum kecil sambil meneruskan perjalanan.

Sampai acara selesai, Bima menunggu di luar studio tanpa mengetahui apa yang terjadi di luar sana. Arbi turut ke luar dan bertemu denganmu. “Arbi, Bima mengarang semua itu bukan? Bima bahkan belum pernah bertemu dengan mereka.”

Arbi hanya mengangguk, Bima pun tertawa puas. Dia kemudian celingak-celinguk. “Semua orang sepertinya sudah pulang. Saya ingin pulang juga.” Arbi berucap dengan lesu. “Sampai ketemu besok, Direktur.”

“Sampai jumpa, Arbi.” Bima tersenyum bangga.

Bima kembali ke kantor dengan tenaga yang sudah mulai berkurang. Dalam perjalanan, Bima melihat juga banyak staf yang pulang lebih awal, tapi Bima memutuskan untuk lembur malam ini.

Setibanya di sana, Bima membuka laci meja dan mengambil sebungkus camilan dan membukanya. Sambil makan, Bima memandangi hasil penyuntingan para editor yang telah mereka laporkan padamu melalui komputer yang terletak di atas mejanya.

Mereka sudah menyelesaikan penyuntingan rekaman Investigasi Malam dan mengatakan bahwa itu sudah siap untuk ditayangkan malam ini. Bima mulai melihat isi video yang mereka laporkan, tapi Bima lebih fokus ke makanannya.

Bungkus cemilan itu sepertinya telah kosong yang menunjukkan bahwa isinya Bima makan sepenuhnya. Masih tidak puas, Bima membalik bungkus itu untuk memastikan benar-benar kosong. Bima kemudian meremasnya dan melempar ke tong sampah yang cukup jauh dari kursinya dengan tenaga cukup keras.

Bima masih memandang komputer, tapi merasa begitu kelelahan sampai tertidur. Bima dibangunkan oleh seorang wanita memasuki ruang kerjamu. “Selamat malam, Direktur.” Dia menyapa dengan sopan. Bima menghentikan putaran video di layar, yang sudah separuh jalan.

“Malam?” Bima belum mengenalinya dan memandanginya dengan agak memicing. Nada dan ekspresi bicara Bima menunjukkannya, dia pun menyadarinya.

“Saya, Mayasari. Pemagang baru di sini.” Dia kemudian memperkenalkan diri.

“Ah iya, itu kamu.” Nama itu masih Bima ingat. “Ada apa?”

“Saya merasa sudah cukup kerja lembur dan ingin pulang karena ini sudah cukup larut malam.”

Bima kemudian memandang jam dingin yang tergantung cukup tinggi dan memperhatikan bahwa jarum pendeknya sangat dekat dengan angka dua belas. “Kamu benar juga.” Bima mematikan komputer itu. “Aku ingin pulang juga.”

Kalian menuruni tangga bersama, tapi Mayasari keluar dari gedung terlebih dahulu. Jalanan sangat sepi, bahkan Aksa si satpam yang menyapamu pagi tadi sudah tidak ada sekarang. Bima pun mulai melihat bayangan gelap dari kaca gedung yang seakan menjadi cermin pada malam itu.

Bima merasa bahaya akan segera terjadi. “Ponselku!”

Bima mulai merogoh saku tapi belum menemukannya. Bima mulai membuka koper yang Bima bawa, juga tidak ada. Sampai Bima ingat, “Ah, benar juga, aku menghancurkannya.”

“Mayasari!” Bima berteriak.

“Tidak!”

Bima mulai menyaksikan Mayasari dikejar dan dia berhasil tertangkap. Satu sayatan pisau yang terdapat pada alat serba guna membelah lehernya dan membuat pembuluh darah terbuka sehingga mengucur deras dari sana.

Tidak cukup, Mayasari terus ditusuk berkali-kali di sekujur tubuhnya dengan senjata yang sama. Bima mulai berusaha menahannya, tapi dia lebih kuat dan terus menjatuhkan Mayasari. Orang itu kemudian membuat Bima tidak sadar.

Bima tersadar, dan sekarang berada di mobil orang itu. Dia berkendara dengan ugal-ugalan, menabrak tong sampah dan merusak pagar rumah seseorang.


Seseorang terbaring di sofanya. Menonton sebuah acara malam yang menyelidiki bangunan terbengkalai dan mengetahui kisah di baliknya melalui apa yang tersisa di sana. Orang itu, selama siaran, dia tidak tahan menontonnya. Dia menenggak separuh isi bir yang baru saja dibuka tutupnya menggunakan pisau yang kemudian dilemparnya entah ke mana. Kepalanya yang mulai pusing membawanya untuk berbaring dan tangannya mulai melepas bir yang digenggamnya.


Cahaya biru menerangi ruang tamu yang diselimuti kegelapan. Bima membuka matanya perlahan karenanya dan menyadari terbaring di sofa, masih mengenakan piama dengan televisi menyala. Bima bangun secara lambat dan merintih karena merasakan sakit kepala yang memancing insting untuk memegangnya.

“Seorang wanita ditemukan tewas dengan keadaan mengenaskan tergeletak di trotoar jalan, tidak jauh dari Gedung PT Lentera. Diduga wanita yang dibunuh tadi malam tersebut merupakan korban lainnya dari pembunuh berantai yang masih menjadi buron sampai sekarang. Berita tersebut sekaligus menutup perjumpaan kita kali ini. Kejahatan mengintai, terus waspada. Sampai jumpa.”

Bima mulai menyadari bahwa itu adalah saluran Lentera TV dengan slogannya “Menerangi Malam dan Hari” baru saja menayangkan program berita bernama Lentera Pagi, dibawakan oleh Rika dan Bima mengetahuinya dari membaca teks yang berjalan di bagian bawah layar.

Sekarang, Bima mulai duduk dan mengusap kedua mata dengan tangan kemudian menurunkan kaki sebelah kiri dari sofa. Terasa basah sehingga membuatmu memandang ke bawah juga menurunkan kaki satunya dan tanpa sengaja menendang sesuatu. Itu adalah botol bir tumpah yang terus bergulir sampai berhenti karena menabrak salah satu kaki meja. Ruang tamu begitu berantakan dengan banyak sampah kecil di lantai.

Bima mendengar suara debuk di pintu. Meski hanya sekali, itu tetap menarik dan membawamu untuk berdiri perlahan dan pergi ke depan rumah untuk membukanya, ingin melihat apa yang baru saja terjadi.

Belum sempat membuka pintu, Bima mendengar sesuatu. “Koran, koran!” teriak seorang pria di luar beriringan dengan bunyi lonceng sepeda yang terus menjauh.

Bima yang sudah paham, membuka pintu dan pandangannya langsung fokus ke arah bawah. Itu adalah Lentera Pos yang sepertinya sudah menjadi langgananmu. Tajuk utama pada hari itu sama saja seperti berita yang baru Bima simak tadi. Bima mulai menebak apakah Lentera TV dan Lentera Pos di bawah perusahaan yang sama. Hari itu laksana biasa, sampai Bima memandang ke depan.

Matahari baru saja terbit dan Bima tidak menyangka apa yang dilihat. Halaman rumahnya sangat kacau. Tong sampah yang hancur menyisakan sampah berserakan di jalanan. Pagar kayu putih patah dan yang paling parah, mobil sedan hitam milikmu mengalami ringsek di bagian bumper depan.

Bima terus memandang ke sekitar, masih berusaha memahami apa yang terjadi. “Topan?” tebakmu. Bima yang masih mengumpulkan energi karena baru saja bangun tidur, memutuskan untuk membiarkan sampah itu dan mungkin memperbaiki pagar dan mobil nanti.

Kembali ke dalam rumah, Bima melempar koran itu ke ruang tamu dan jatuh tepat di atas meja. Setelahnya mulai memandangi dinding yang terdapat kalender bersebelahan dengan jam di sana. Hari-hari yang lewat telah dicoret dengan tanda silang menggunakan spidol merah, Bima masih mengingatnya.

Berdasar itu, Bima tahu bahwa hari ini adalah hari Senin, dan Bima memiliki rencana yang tertulis di sana. “Rapat di Kantor.” Ingatanmu terus menyatu perlahan, dimulai dari lokasi kantor yang cukup jauh dari rumah sehingga harus ditempuh dengan mobil. Jarum panjang jam terus bergerak mendekati angka dua belas membuatmu ingin bergegas.

Setelah mandi dan mengenakan kemeja, Bima siap menuju kantor. Sarapan yang Bima buat hanyalah roti panggang menggunakan mesin agar lekas selesai. Matang hanya menghitung menit, Bima bergegas menuju mobil dengan mengambil koper yang sepertinya Bima siapkan malam sebelumnya juga.

Bima memandang langit, menyadari bahwa pagi semakin cerah dan aktivitas jalanan mulai terlihat. Tukang sampah dengan seragam hijau datang menyapanya dan bertanya, “Apa yang terjadi?” Dia nampaknya juga terkejut melihat betapa berantakannya jalanan. Bima hanya diam dan mengangkat bahu.

Bima memeriksa seberapa parah kerusakan bumper. “Masih dapat digunakan.” Bima memasuki mobil dan memutarnya di halaman. Petugas kebersihan yang tadi sudah mulai memetik sampah, menepi saat Bima berkendara keluar dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Beberapa waktu berlalu, terbukti dengan jarum jam tangan yang sudah jauh melewati angka dua belas. Jalanan masih belum ramai sehingga Bima mempertahankan laju mobilnya. Sampai dikejutkan oleh dentuman yang cukup keras terdengar sehingga bergidik. Dari kaca spion mobil, terlihat bahwa ledakan itu jauh dan asap hitam mengepul membumbung tinggi.

Terdengar suara sirine sayup-sayup dari belakang, yang Bima kira itu adalah pemadam kebakaran, sampai melihat melalui kaca spion interior untuk meyakinkan. Heran, rentetan mobil polisi menuju ke arahnya. Pandangan Bima kembali ke depan dan terkejut akan adanya barier juga mobil polisi dengan aparat yang sudah siap menunggu.

“Keluar dari mobil segera!” Mereka menodongkan pistol ke arah Bima.

Bima sangat kebingungan saat itu, tapi memutuskan untuk melepas sabuk pengaman dan keluar. Salah satu dari mereka berdiri di depan pintu. Baju ditarik, pintu ditutup, kepala Bima dihantam keras ke mobil sendiri seiring mereka memborgol kedua tangannya di belakang.

“Anda ditangkap atas berbagai pembunuhan, termasuk kepada petugas kebersihan juga percobaan pembunuhan kepada anggota kami yang baru saja menuju rumah Anda untuk penahanan.” Bima digiring menuju salah satu mobil polisi. Bima hanya diam selama perjalanan sambil mendengarkan deru mesin mobil dan dibawa entah ke mana.

Rupanya, Bima dibawa ke kantor polisi dan langsung diarahkan ke ruang interogasi. Bima didudukkan secara paksa. Ada dua orang yang menemaninya di sana. Dari postur tubuh dan pakaian yang dikenakan, Bima dapat mengetahui bahwa mereka kedua orang yang sama dengan di mobil tadi.

Bima memperhatikan nama mereka dan mengaitkannya dengan posisi duduk sebelumnya. Sang sopir bernama Dani dan yang berada di kursi penumpang adalah Farrel. Dani membuka dokumen yang dibawanya.

“Aku sangat bingung, apakah kamu ini stres sungguhan, terlalu jenius atau memang bodoh. Kamu meledakkan rumahmu sendiri?” Dani bertanya. “Pemadam kebakaran mungkin baru saja tiba dan mungkin mereka akan menemukan banyak tikus panggang, tapi aku dapat menebak bagaimana Bima melakukannya.”

“Bagaimana?” sahut Farrel di sampingnya.

“Dia meninggalkan mesin pemanggang roti yang tidak pernah dibersihkan itu masih menyala dan tidak dilepas dari colokan listrik.” Dani mulai menyeringai. “Kamu hanya melakukan hal yang sama dan itu mempermudah kami menemukanmu.”

Keheningan terjadi sejenak. “Apakah kita perlu tanyakan itu juga?” Farrel memandang Dani.

“Terserah. Selama ini dia hanya berdalih.” Bima mulai mengingatnya. Wajar saja Dani sangat kesal terhadapmu karena pengalaman buruk yang mempertemukan kalian.

“Wah, kamu baru ingat aku rupanya.” Dani berucap dengan nada kasar setelah melihat ekspresi Bima yang mulai sadar. “Kamu memang gangguan jiwa.” Dia mulai memalingkan wajah saking kesalnya.

“Di mana kamu malam tadi?” Farrel mulai bertanya.

“Aku di kantor, lembur.” Keheningan terjadi sejenak. “Mayasari! Seingatku dia juga ada di sana sampai aku pulang.” Satu nama Bima sebutkan sambil memiringkan kepala kemudian menunduk untuk berusaha mengingat.

“Kamu membunuhnya saat itu bukan?” Kekesalan Dani akhirnya berubah menjadi kemarahan sampai dia memukul meja dan menunjuk wajahmu yang membuat Bima terdiam. “Berengsek! Sudah berapa orang yang kau bunuh sampai sekarang, hah!? Bima tadi sebenarnya ingin kabur bukan? Sebelum kabur pun, sempat-sempatnya bunuh orang lagi.”

Dani menenangkan diri sejenak. “Oh ya, kau tahu? Kami akan membawamu ke suatu tempat lain dan ini adalah kejutan yang mungkin akan Bima sukai.” Bima kemudian ditarik dan kembali dimasukkan ke dalam mobil untuk perjalanan lainnya. Cukup lama untuk berhenti, tapi akhirnya sampai.

Keluar dari mobil, Bima langsung digiring menuju lapangan luas. Borgol di tangannya dilepas, diganti dengan ikatan tali yang menjerat kedua tangannya lagi. Hanya saja, kali ini di belakang tiang yang terpancang di tengah sana.

“Akhirnya kami menangkapmu juga, dasar bajingan.” Dani memegang dagu Bima sehingga wajahnya agak mendongak. “Aku yakin kamu sebenarnya tahu bahwa bukti yang kuat telah membuat pengadilan menjatuhimu hukuman mati dan hari ini, kami akan membantu mengeksekusi.” Dani kemudian menurunkan tangannya dari kepala Bima seiring berjalan menuju kejauhan.

Mata Bima memicing mengikuti langkah Dani. Dia menuju tempat beberapa orang berpakaian serba hitam berdiri memandang dengan senapan yang ditodongkan ke arah Bima.

“Ada kata-kata terakhir?” Dani berteriak ketika sampai di sana, terdengar jelas memenuhi area sunyi itu.

“Membunuh itu menyenangkan, bukan?!” balas Bima dengan menunjukkan seringai di wajah, meyakinkan algojo untuk menembaknya tepat di jantung segera.

Komentar