arrow_back

The Last Codes

arrow_forward

“Sesaat lagi, Anda akan menyaksikan Investigasi Malam, hanya di Lentera TV.” Begitulah narasi yang menjadi pengantar tontonan selanjutnya. Iklan berupa program-program lainnya yang ditayangkan di saluran itu mengisi waktu jeda. Musik pembuka diputar, pertanda mulainya acara akan datang.

Layar menjadi lebih gelap sejenak. “Mengenang Alan dan Wijaya.” Itu yang tertulis di sana.

“Ini adalah rekaman terakhir mereka sebelum ditemukan tewas mengenaskan beberapa hari lalu sebelum siaran ini ditayangkan.” Efek suara mesin tik menjadi pengiring kalimat tersebut muncul di layar per kata. Setelah itu berakhir, layar kembali lebih cerah sedikit, meski pencahayaannya masih tidak cukup untuk menerangi keseluruhan ruang tamu.

“Selamat malam, Pemirsa. Berjumpa lagi dengan saya Alan, didampingi oleh kameramen Wijaya dalam acara Investigasi Malam. Malam ini, kami ditugaskan untuk menyelidiki sebuah rumah.” Acara itu dibuka dengan seseorang berbicara di dalam mobilnya. Berdasar perkenalan, dialah Alan yang duduk di kursi sopir dan di balik layar, ada Wijaya sang kameramen yang duduk di kursi penumpang.

“Rumah ini agak terpencil dan cukup jauh dari peradaban.” Kamera menyorot jalanan yang gelap gulita melalui kaca depan yang penyapunya dihidupkan sebentar, kemudian kembali kepada Alan. “Menariknya, informasi yang kami dapat sebelumnya mengatakan bahwa rumah yang akan kami datangi malam ini merupakan saksi bisu atas terjadinya pembunuhan yang menewaskan salah satu penghuninya. Tapi yang membuat aku bertanya-tanya adalah, memangnya ada penghuninya?” Dia tidak menjawab pertanyaannya sendiri sementara mobil terus melaju.

“Sambil menuju ke sana. Kita perlu beritahukan bahwa, episode ini mungkin jadi terakhir ya, Wijaya?” Pertanyaan itu disahut oleh anggukan kamera. “Jika ada yang ingin tahu sebabnya, kontrak kami memang sudah mendekati akhir dan tidak mencapai kesepakatan untuk lanjut.”

“Tapi, Wijaya, kamu masih ingat episode pertama kita?”

“Bekas panti asuhan itu?” sahut Wijaya sang kameramen yang akhirnya turut bicara.

“Baguslah kamu masih ingat. Wajar sih, apalagi tempat itu saat kita mengunjunginya pun sudah terlihat terbengkalai.” Tangan Alan bermain di roda setir. “Apa hal lain yang kamu ingat dari sana?”

“Aku masih tidak percaya kalau itu bangunan, bekas panti asuhan, kecuali memang pernah banyak orang di sana.” Alan terkadang memandang Wijaya dengan maksud mendengarkan pembicaraan Wijaya. “Tiga lantai itu rasanya terlalu luas untuk sebuah panti asuhan. Apalagi melihat dari dapurnya.”

“Lagipula, apa bukti kita bahwa itu sesungguhnya panti asuhan? Perosotan yang sudah berkarat itu?”

Alan hanya diam mengangguk seiring mereka telah tiba di tujuan. Di sana, Alan keluar dari mobil diikuti oleh Wijaya dari pintu yang berlawanan. Glitch sempat terjadi pada rekaman Wijaya tapi dapat dilihat bahwa Alan menyalakan senternya dan mulai menyorot rumah. “Astaga.” Terlihat Alan hanya berdiri tegak sambil memandangi rumah yang mereka kunjungi sekarang.

Wijaya sang kameramen yang tadinya masih di dekat mobil berjalan mendekat. “Baru sampai di depannya, aku sudah bisa melihat bekas darah yang nampaknya mengering di lantai depan pintu dan terus sampai turun tangga kecil. Bisa terlihat juga, seperti seseorang di seret di halaman ini.” Sorotan dari senter Alan dan kamera Wijaya menunjukkan hal yang sama.

“Wijaya, berhati-hatilah.” Cahaya senter Alan menghilang dari kamera.” Aliran listrik ke rumah ini telah diputus. Waspada dalam menginjak sesuatu.” Kamera beralih ke atas, arah Alan memberi sinyal. Itu menunjukkan kejujuran Alan dan memperlihatkan bahwa terdapat kabel yang secara harfiah terputus.

Alan kemudian menyinari pintu dengan senternya seiring berjalan mengarah kepadanya. Salah satu tangannya sudah berada di knop. “Pintunya tidak terkunci.” Bunyi berderit terdengar cukup keras ketika Alan membuka pintu perlahan.

Mereka memasuki rumah itu perlahan dengan senter Alan menyinari lantai, menunjukkan bekas darah yang masih dapat dilihat. Alan berhenti di tengah ruangan ketika dia mengarahkan senter ke dinding kemudian menatapinya cukup lama.

“Kalian bisa melihat ini?” Alan mendekati dinding itu. “Di sini sangat ketahuan pernah ada satu bingkai yang menggantung di sini.” Cahaya senter menyingkap adanya area persegi kecil yang lebih bersih dibanding luarnya.

“Oh, akhirnya aku sadar. Kalian bisa melihat ada dua foto yang digantung dengan bingkai di dinding saat ini. Satu, kedua anak mereka dan hanya mereka berdua. Satunya lagi, masih kedua anak mereka tapi dengan seseorang yang wajahnya dihapus. Tebakanku, foto yang hilang adalah mereka sekeluarga, dengan anggota penuh empat orang.”

“Ke mana anak mereka saat ini? Aku belum mendapat informasinya.” Alan memandang ke belakang kamera, menunjukkan dia berbicara pada Wijaya. Keheningan terjadi sejenak, tapi kamera agak bergerak. “Oh, kamu juga tidak tahu?”

Alan kembali memandangi gambar yang berisikan tiga orang, hanya saja lebih lama. “Tunggu. Apakah mereka mengenakan gelang?” Wajahnya semakin mendekatinya. “Wijaya, gunakan kameramu untuk memperbesar gambar ini agar lebih jelas dan kita bisa melihatnya sama-sama.”

“Orang yang wajahnya dihapus ini J, anak yang satu itu W, satunya F.” Alan menunjuk lengan mereka satu persatu. “Inisial-inisial ini belum pernah kudengar sebelumnya dalam informasi manapun. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya mereka menghilang sepenuhnya?”

“Meski hanya melihat ini, aku mulai mengurungkan niat untuk tiba di sini. Apalagi mereka t idak terlihat bahagia.” Tangan Alan telah turun dan dia mulai berjalan di rumah yang gelap itu. “Mari kita melihat ruangan.”

Mereka menemukan pintu yang mengarah ke kamar pertama. Tangan Alan meraih knopnya. “Knop pintu yang satu ini sangat unik. Kkamu bisa memutarnya untuk mengunci dan membuka. Tapi ini cukup tinggi dan terkunci.” Alan membuka pintunya dengan pelan.

Alan melihat dengan hati-hati dari luar kemudian memasuki ruangan itu perlahan. Dia memandangi isinya cukup lama.

“Ini aneh. Padahal di luar sangat berantakan. Kenapa ruangan ini begitu rapi?” Alan menatap Wijaya. “Maksudku, dilihat dari fiturnya, ini bisa saja kamar kedua anak. Melihat foto tadi, sepertinya itu baru saja dan menandakan bahwa mereka masih kecil, dalam usia bermain.” Alan membuka laci dan di dalamnya terdapat banyak mainan yang masih rapi dan hampir tidak berdebu. “Ini rasanya kurang masuk akal.”

Derap terdengar cukup keras dari luar ruangan. Kamera agak bergetar sebelum mengarah ke sumber suara dengan cepat. “Apa itu?” tanya Wijaya. Keheningan terjadi sejenak, sampai terdengar decit.

“Ah, itu hanya tikus,” sahut Alan sambil terlihat berusaha tenang.

C’TANG!

Suara berdecit yang semakin nyaring dan besi yang dipukulkan ke lantai memenuhi rumah itu.

“Dia terperangkap.” Mata Alan masih menatap ke arah sumber suara. “Tapi mari kita keluar dari ruangan ini, karena sudah cukup.”

Mereka kembali ke luar dan terus menjelajah sampai menemukan ruangan kedua dengan pintu yang telah dirusak. Dari sana, Alan dapat mengintip isinya dan lebih berani memasuki ruangan itu sampai melihat sesuatu yang lebih buruk.

“Aku tidak bermaksud buruk, tapi seharusnya ruangan tadi berantakan seperti ini.” Alan menjelaskan bahwa lemari yang sepertinya berisi pakaian jatuh ke lantai dan mengakibatkan pakaian di dalamnya berhamburan ke luar. Dia juga memperlihatkan kepada kamera, kasur dengan bekas genangan darah juga kaki dan tubuh ranjang yang terbuat dari kayu penahan kasur itu patah, dan berasumsi bahwa kekerasan terjadi di sana.

Alan tidak lama berada di sana karena dia meneruskan penyelidikannya dan sudah mendekati dapur. “Aroma tidak sedap mulai tercium dari sini,” komentarnya.

Setibanya di sana, senternya dengan cepat bergerak menelusuri ruangan itu. Kamera yang tanpa sengaja cukup dekat dengan wajah Alan memperlihatkan wajah jijiknya. “Banyak sekali perangkap tikus di sini. Dan itu yang baru saja tertangkap.” Alan menunjuknya dengan cahaya senter.

Dia kemudian mendekati meja. “Kenapa mereka meninggalkan mesin pemanggang roti yang menyala dan bahkan masih tercolok ke soket listrik? Untung alirannya sudah terputus. Jika tidak, ini berisiko memicu kebakaran dan bahkan mungkin akan meledak jika tidak pernah dibersihkan.”

Setelahnya, dia membuka kulkas yang mengakibatkannya batuk-batuk dan langsung menutup lagi pintunya sehingga suaranya tertangkap kamera. Kamera itu agak bergetar dan glitch kembali terjadi sebelum menyorot Alan yang mengipas udara di depan hidungnya. “Baunya busuk sekali. Wajar saja ada tikus di rumah ini.”

Alan menjauh dan kembali melihat meja. “Tunggu. Tidak ada pisau dapur di sini, padahal tempatnya ada.” Alan terdiam sejenak. “Ah, aku sangat tidak ingin membayangkan ini.” Nada bicara Alan mulai terdengar berbeda, suaranya bergetar seperti merasakan siksaan hanya dengan melihat.

“Semuanya berawal di dapur. Korban kemudian kabur ke kamar dan dikejar sampai ke sana. Pintu yang tadinya dikunci, dibuka dengan tendangan. Korban melempari baju sebagai perlawanan, dan menjatuhkan lemari untuk menghalangi pelaku, tapi pelaku tetap berhasil menangkapnya dan korban dibanting ke kasur, ditusuk di sini sampai tewas kemudian diseret ke luar.” Alan terdiam lagi.

“Kedua anak itu pasti juga merasakan kekerasan. Mereka mungkin dipaksa untuk merapikan mainan mereka dan memastikannya bersih.”Alan terus menatap ke belakang kamera kemudian berjalan pelan keluar dengan kepala agak menunduk. “Ada ya, orang yang dengan tega membunuh pasangan dan anaknya.” Energi dari Alan sudah terdengar melemah. “Aku rasa investigasi kita malam ini sudah cukup. Wijaya, ayo kita pulang.”

“Kita tidak memeriksa kamar mandi?” tanya Wijaya.

“Tidak perlu,” sahut Alan.

Kamera terus mengikuti Alan yang berjalan ke luar. Di halaman rumah, Alan berpaling menghadap kamera. “Sebelumnya, terima kasih kepada pemirsa yang telah mendampingi dari awal acara. Sampai jumpa.” Rekaman berakhir dengan Alan masuk ke mobil kemudian daftar kredit acara ditampilkan sejenak setelahnya. Siaran berhenti bertepatan dengan usainya acara barusan. Televisi hanya menyediakan layar biru sekarang.

Komentar